Minggu, 01 September 2013

Abi Thantawi Jauhar

Abi Thantawi Jauhar
(1955 - 2012 M)
Pimpinan Dayah Baitusshabri Lam Ateuk Aceh Besar
Riwayat hidup
Berdasarkan keterangan pada Kartu Tanda Penduduk beliau, Abi Thantawi tercatat lahir di Sawang Aceh Selatan pada tanggal 1 Juli 1955. Pada masa kanak-kanaknya, sebagaimana biasanya anak Aceh, beliau belajar al-Qur’an dan dasar-dasar akidah pada ulama yang ada di kampung beliau, disamping mengikuti pendidikan dasar umum di rumah sekolah. Menginjak remaja, beliau memasuki pesantren/dayah Darussalam Labuhanhaji yang letaknya berselang hanya beberapa kecamatan dari kecamatan kelahiran orangtua dan keluarganya. Tidak lama di sini (tidak sampai satu tahun), beliau masuk dayah Darul Mu’arrif Lam Ateuk Aceh Besar dibawah pimpinan Abu Ahmad Perti seorang ulama terkenal di Aceh. Di dayah ini beliau belajar ilmu agama dalam berbagai disiplin ilmu, seperti bahasa Arab, balagah, ushul fiqh, fiqih, tauhid, tasauf dan sebagainya. Setelah lama beliau di sini, beliau dipercaya menjadi guru sekaligus menjadi wakil pimpinan dayah dengan mengajar berbagai disiplin ilmu agama seperti kitab Ghayatul Wushul dalam bidang ushul fiqh, al-Syarah al-Mahalli dalam bidang fiqih, Syarah al-Jauhar al-Maknun dalam bidang balaghah dan lain-lain.
Setelah guru beliau almarhum Abu Ahmad Perti berpulang kerahmatullah pada tahun 2000 M, Abi Thantawi dipercaya sebagai pimpinan dayah Darul Mu’arrif menggantikan kedudukan gurunya. Namun jabatan ini hanya sekitar dua tahun lebih, karena beliau harus memimpin dayah beliau sendiri, Dayah Baitusshabri (dayah ini berjalan sebagaimana mestinya sekitar tahun 2005 M), yang beliau kelola sampai akhir hayatnya, yang letaknya masih satu kecamatan dengan dayah Darul Mu’arrif .
Tentang Pesantren

Pesantren Baitussabri berdiri pada tanggal 25 Mei 2005 yang beralamat di Jalan Blang Bintang Lama Km. 8,5 Depan Unaya Desa Lambro Dayah Kecamatan Kuta Baro Kabupaten Aceh Besar, di dirikan oleh tokoh-tokoh masyarakat dan seluruh kepala desa kemukiman ateuk guna mendukung pelaksanaan syari’at islam dan mendidik generasi muda calon pemimpin masa depan juga untuk pemamfaatan kembali mesjid lama/mesjid tuha yang tidak di pakai lagi untuk shalat jum’at oleh masyarakat, berdiri di atas tanah seluas 3 hektare yang di sebagian adalah tanah wakaf masyarakat.

Sabtu, 24 Agustus 2013

Perjalanan | Biografi Bilal Bin Rabah | Muazin Zaman Rasulullah SAW

Perjalanan | Biografi Bilal Bin Rabah - Bilal bin rabah terkenal karena suaranya yang tiada bandingan ketika mengumandangkan azan. Dia sebenarnya hanya seorang hamba atau budah habsyah, akan tetapi karena keimanannya yang kuat laksana karang tak lekang oleh badai, maka keberadaan dia sungguh dalam ketinggian derajat disisi Allah. Lantas, bagaimana sejarah dan lika liku perjalanan hidupnya, Mari kita simak biografi bilal bin Rabah.

Bilal Bin Rabah Al-Habasyi lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Karena ibunya itu, sebagian orang memanggil Bilal dengan sebutan ibnus-Sauda’ (putra wanita hitam). Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura (Makah) sebagai seorang budak milik keluarga bani Abdud-dar. Saat ayah mereka meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir Quraisy.
Biografi Bilal Bin Rabah
Ketika Makah diterangi cahaya agama baru dan Rasul yang agung Shalallahu ‘alaihi wasallam mulai mengumandangkan seruan kalimat tauhid, Bilal adalah termasuk orang-orang pertama yang memeluk Islam. Saat Bilal masuk Islam, di bumi ini hanya ada beberapa orang yang telah mendahuluinya memeluk agama baru itu, seperti Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, ‘Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-Rumi, dan al-Miqdad bin al-Aswad.

Bilal merasakan penganiayaan orang-orang musyrik yang lebih berat dari siapa pun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera tubuhnya. Namun ia, sebagaimana kaum muslimin yang lemah lainnya, tetap sabar menghadapi ujian di jalan Allah itu dengan kesabaran yang jarang sanggup ditunjukkan oleh siapa pun.

Orang-orang Islam seperti Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib masih memiliki keluarga dan suku yang membela mereka. Akan tetapi, orang-orang yang tertindas (mustadh’afun) dari kalangan hamba sahaya dan budak itu, tidak memiliki siapa pun, sehingga orang-orang Quraisy menyiksanya tanpa belas kasihan. Quraisy ingin menjadikan penyiksaan atas mereka sebagai contoh dan pelajaran bagi setiap orang yang ingin mengikuti ajaran Muhammad.

Kaum yang tertindas itu disiksa oleh orang-orang kafir Quraisy yang berhati sangat kejam dan tak mengenal kasih sayang, seperti Abu Jahal yang telah menodai dirinya dengan membunuh Sumayyah. Ia sempat menghina dan mencaci-maki, kemudian menghunjamkan tombaknya pada perut Sumayyah hingga menembus punggung, dan gugurlah syuhada pertama dalam sejarah Islam.

Sementara itu, saudara-saudara seperjuangan Sumayyah, terutama Bilal bin Rabah, terus disiksa oleh Quraisy tanpa henti. Biasanya, apabila matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang pasir Mekah berubah menjadi perapian yang begitu menyengat, orang-orang Quraisy itu mulai membuka pakaian orang-orang Islam yang tertindas itu, lalu memakaikan baju besi pada mereka dan membiarkan mereka terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik. Tidak cukup sampai di sana, orang-orang Quraisy itu mencambuk tubuh mereka sambil memaksa mereka mencaci maki Muhammad.

Adakalanya, saat siksaan terasa begitu berat dan kekuatan tubuh orang-orang Islam yang tertindas itu semakin lemah untuk menahannya, mereka mengikuti kemauan orang-orang Quraisy yang menyiksa mereka secara lahir, sementara hatinya tetap pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali Bilal, semoga Allah meridhainya. Baginya, penderitaan itu masih terasa terlalu ringan jika dibandingkan dengan kecintaannya kepada Allah dan perjuangan di jalan-Nya.

Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad … (Allah Maha Esa).” Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang panas, Bilal pun hanya berkata, “Ahad, Ahad ….“ Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad….”

Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan!” Bilal menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras.

Apabila merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin Khalaf, mengikat leher Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang Abthah1 Mekah. Sementara itu, Bilal menikmati siksaan yang diterimanya karena membela ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan agungnya, “Ahad…, Ahad…, Ahad…, Ahad….” Ia terus mengulang-ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.

Suatu ketika, Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu mengajukan penawaran kepada Umayyah bin Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda. Ia mengira Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah emas2. Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, “Sebenarnya, kalau engkau menawar sampai satu uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk menjualnya.” Abu Bakar membalas, “Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk membelinya.”

Ketika Abu Bakar memberi tahu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia telah membeli sekaligus menyelamatkan Bilal dari cengkeraman para penyiksanya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Bakar, “Kalau begitu, biarkan aku bersekutu denganmu untuk membayarnya, wahai Abu Bakar.” Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah.”

Bilal bin Rabah tinggal di Madinah dengan tenang dan jauh dari jangkauan orang-orang Quraisy yang kerap menyiksanya. Kini, ia mencurahkan segenap perhatiannya untuk menyertai Nabi sekaligus kekasihnya, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Bilal selalu mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ke mana pun beliau pergi. Selalu bersamanya saat shalat maupun ketika pergi untuk berjihad. Kebersamaannya dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ibarat bayangan yang tidak pernah lepas dari pemiliknya.

Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam selesai membangun Masjid Nabawi di Madinah dan menetapkan adzan, maka Bilal ditunjuk sebagai orang pertama yang mengumandangkan adzan (muadzin) dalam sejarah Islam.

Biografi Bilal Bin Rabah
Biasanya, setelah mengumandangkan adzan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam seraya berseru, “Hayya ‘alashsholaati hayya ‘alashsholaati…(Mari melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan….)” Lalu, ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.

Suatu ketika, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak pendek yang termasuk barang-barang paling istimewa miliknya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengambil satu tombak, sementara sisanyadiberikan kepada Ali bin Abu Thalib dan Umar ibnul Khaththab, tapi tidak lama kemudian, beliau memberikan tombak itu kepada Bilal. Sejak saat itu, selama Nabi hidup, Bilal selalu membawa tombak pendek itu ke mana-mana. Ia membawanya dalam kesempatan dua shalat ‘id (Idul Fitri dan Idul Adha), dan shalat istisqa’ (mohon turun hujan), dan menancapkannya di hadapan beliau saat melakukan shalat di luar masjid.

Bilal bin Rabah menyertai Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam Perang Badar. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah memenuhi janji-Nya dan menolong tentara-Nya. Ia juga melihat langsung tewasnya para pembesar Quraisy yang pernah menyiksanya dengan hebat. Ia melihat Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf tersungkur berkalang tanah ditembus pedang kaum muslimin dan darahnya mengalir deras karena tusukan tombak orang-orang yang mereka siksa dahulu.
Biografi Bilal Bin Rabah
Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan kota Makkah, beliau berjalan di depan pasukan hijaunya bersama “sang pengumandang panggilan langit”, Bilal bin Rabah. Saat masuk ke Ka’bah, beliau hanya ditemani oleh tiga orang, yaitu Utsman bin Thalhah, pembawa kunci Ka’bah, Usamah bin Zaid, yang dikenal sebagai kekasih Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan putra dari kekasihnya, dan Bilal bin Rabah, Muadzin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.

Shalat Zhuhur tiba. Ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, termasuk orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam saat itu, baik dengan suka hati maupun terpaksa. Semuanya menyaksikan pemandangan yang agung itu. Pada saat-saat yang sangat bersejarah itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memanggil Bilal bin Rabah agar naik ke atap Ka’bah untuk mengumandangkan kalimat tauhid dari sana. Bilal melaksanakan perintah Rasul Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan senang hati, lalu mengumandangkan adzan dengan suaranya yang bersih dan jelas.

Ribuan pasang mata memandang ke arahnya dan ribuan lidah mengikuti kalimat azan yang dikumandangkannya. Tetapi di sisi lain, orang-orang yang tidak beriman dengan sepenuh hatinya, tak kuasa memendam hasad di dalam dada. Mereka merasa kedengkian telah merobek-robek hati mereka.

Saat adzan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”. Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, “Sungguh, Allah telah mengangkat kedudukanmu. Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi Allah, kami tidak menyukai orang yang telah membunuh orang-orang yang kami sayangi.” Maksudnya, adalah ayahnya yang tewas dalam Perang Badar.

Khalid bin Usaid berkata, “Aku bersyukur kepada Allah yang telah memuliakan ayahku dengan tidak menyaksikan peristiwa hari ini.” Kebetulan ayahnya meninggal sehari sebelum Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masuk ke kota Makah. Sementara Al-Harits bin Hisyam berkata, “Sungguh malang nasibku, mengapa aku tidak mati saja sebelum melihat Bilal naik ke atas Ka’bah.” Al-Hakam bin Abu al-’Ash berkata, “Demi Allah, ini musibah yang sangat besar. Seorang budak bani Jumah bersuara di atas bangunan ini (Ka’bah).”

Sementara Abu Sufyan yang berada dekat mereka hanya berkata, “Aku tidak mengatakan apa pun, karena kalau aku membuat pernyataan, walau hanya satu kalimat, maka pasti akan sampai kepada Muhammad bin Abdullah.” Bilal menjadi muadzin tetap selama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam hidup. Selama itu pula, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sangat menyukai suara yang saat disiksa dengan siksaan yang begitu berat di masa lalu, ia melantunkan kata, “Ahad…, Ahad… (Allah Maha Esa).”

Sesaat setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengembuskan nafas terakhir, waktu shalat tiba. Bilal berdiri untuk mengumandangkan adzan, sementara jasad Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masih terbungkus kain kafan dan belum dikebumikan. Saat Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, tiba-tiba suaranya terhenti. Ia tidak sanggup mengangkat suaranya lagi. Kaum muslimin yang hadir di sana tak kuasa menahan tangis, maka meledaklah suara isak tangis yang membuat suasana semakin mengharu biru.

Sejak kepergian Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam, Bilal hanya sanggup mengumandangkan adzan selama tiga hari. Setiap sampai kepada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, ia langsung menangis tersedu-sedu. Begitu pula kaum muslimin yang mendengarnya, larut dalam tangisan pilu.

Karena itu, Bilal memohon kepada Abu Bakar, yang menggantikan posisi Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemimpin, agar diperkenankan tidak mengumandangkan adzan lagi, karena tidak sanggup melakukannya. Selain itu, Bilal juga meminta izin kepadanya untuk keluar dari kota Madinah dengan alasan berjihad di jalan Allah dan ikut berperang ke wilayah Syam.

Awalnya, Ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal sekaligus mengizinkannya keluar dari kota Madinah, namun Bilal mendesaknya seraya berkata, “Jika dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jika engkau telah memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bebas menuju kepada-Nya.”

Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku memerdekakanmu juga karena Allah.” Bilal menyahut, “Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan adzan untuk siapa pun setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam wafat.” Abu Bakar menjawab, “Baiklah, aku mengabulkannya.” Bilal pergi meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di daerah Darayya yang terletak tidak jauh dari kota Damaskus. Bilal benar-benar tidak mau mengumandangkan adzan hingga kedatangan Umar ibnul Khaththab ke wilayah Syam, yang kembali bertemu dengan Bilal Radhiyallahu ‘anhu setelah terpisah cukup lama.

Umar sangat merindukan pertemuan dengan Bilal dan menaruh rasa hormat begitu besar kepadanya, sehingga jika ada yang menyebut-nyebut nama Abu Bakar ash-Shiddiq di depannya, maka Umar segera menimpali (yang artinya), “Abu Bakar adalah tuan kita dan telah memerdekakan tuan kita (maksudnya Bilal).”

Dalam kesempatan pertemuan tersebut, sejumlah sahabat mendesak Bilal agar mau mengumandangkan adzan di hadapan al-Faruq Umar ibnul Khaththab. Ketika suara Bilal yang nyaring itu kembali terdengar mengumandangkan adzan, Umar tidak sanggup menahan tangisnya, maka iapun menangis tersedu-sedu, yang kemudian diikuti oleh seluruh sahabat yang hadir hingga janggut mereka basah dengan air mata. Suara Bilal membangkitkan segenap kerinduan mereka kepada masa-masa kehidupan yang dilewati di Madinah bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Bilal, “pengumandang seruan langit itu”, tetap tinggal di Damaskus hingga wafat.

Referensi :
- http://abihumaid.wordpress.com/2008/06/18/bilal-bin-rabah-al-habasyi-wafat-20-h641-m/
- http://kolom-biografi.blogspot.com/2011/09/biografi-bilal-bin-rabah-muazin.html

Biografi Al-Mawardi | Ulama Besar Mazhab Syafi'e

Biografi Al-Mawardi | Ulama Besar Mazhab Syafi'e - Anda mungkin sudah sering mendengar namanya yang begitu masyhur dikalangan santri dan penimba ilmu agama. Beliau adalah al-Mawardi pengarang kitab Al Ahkaam Al Shultoniyah, seorang besar dalam mazhab syafi'e. Dalam artikel singkat ini "my diary" akan memberikan sorotan dan sedikit pandangan tentang biografi al-mawardi atau sejarah perjalanan hidup syaikh Al-Mawardi.


Biografi Al-Mawardi | Ulama Besar Mazhab Syafi'e
ilustrasi
Al-kisah, Khazanah intelektual Islam era kekhalifahan Abbasiyah pernah mengukir sejarah emas dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan pemikiran keagamaan. Salah satu tokoh terkemuka sekaligus pemikir dan peletak dasar keilmuan politik Islam penyangga kemajuan Abbasiyah itu adalah Al Mawardi. Tokoh yang pernah menjadi qadhi (hakim) dan duta keliling khalifah ini, menjadi penyelamat berbagai kekacauan politik di negaranya, Basrah (kini Irak). “Al Khatib of Baghdad,” tulis seorang orientalis.

Ulama penganut mazhab Syafi’i ini bernama lengkap Abu al Hasan Ali bin Habib al Mawardi. Lahir di kota pusat peradaban Islam klasik, Basrah (Baghdad) pada 386 H/975 M, Al Mawardi menerima pendidikan pertamanya di kota kelahirannya. Ia belajar ilmu hukum dari Abul Qasim Abdul Wahid as Saimari, seorang ahli hukum mazhab Syafi’i yang terkenal.

Kemudian, pindah ke Baghdad melanjutkan pelajaran hukum, tata bahasa, dan kesusastraan dari Abdullah al Bafi dan Syaikh Abdul Hamid al Isfraini. Dalam waktu singkat ia telah menguasai dengan baik ilmu-ilmu agama, seperti hadis dan fiqh, juga politik, filsafat, etika dan sastra.

Sebagai seorang penasihat politik, syaikh Al Mawardi menempati kedudukan yang penting di antara sarjana-sarjana Muslim. Dia diakui secara universal sebagai salah seorang ahli hukum terbesar pada zamannya. Al Mawardi mengemukakan fiqh madzhab Syafi’i dalam karya besarnya Al Hawi, yang dipakai sebagai buku rujukan tentang hukum mazhab Syafi’i oleh ahli-ahli hukum di kemudian hari, termasuk Al Isnavi yang sangat memuji buku ini. Buku ini terdiri 8.000 halaman, diringkas oleh Al Mawardi dalam 40 halaman berjudul Al Iqra.

Kalau anda ingin Menelaah pemikiran Al Mawardi, cukup dengan membaca karyanya, Al Ahkaam Al Shultoniyah (Hukum-hukum Kekuasaan), yang menjadi master piece-nya. Meskipun ia juga menulis beberapa buku lainnya, namun dalam buku //Al Ahkaam Al Shultoniyah// inilah pokok pemikiran dan gagasannya menyatu.

Dalam magnum opusnya ini, termuat prinsip-prinsip politik kontemporer dan kekuasaan, yang pada masanya dapat dikatakan sebagai pemikiran maju, bahkan sampai kini sekalipun. Misalnya, dalam buku itu dibahas masalah pengangkatan imamah (kepala negara/pemimpin), pengangkatan menteri, gubernur, panglima perang, jihad bagi kemaslahatan umum, jabatan hakim, jabatan wali pidana. Selain itu, juga dibahas masalah imam shalat, zakat, fa’i dan ghanimah (harta peninggalan dan pampasan perang), ketentuan pemberian tanah, ketentuan daerah-daerah yang berbeda status, hukum seputar tindak kriminal, fasilitas umum, penentuan pajak dan jizyah, masalah protektorat, masalah dokumen negara dan lain sebagainya.

Baginya, imam (yang dalam pemikirannya adalah seorang raja, presiden, sultan) merupakan sesuatu yang niscaya. Artinya, keberadaannya sangat penting dalam suatu masyarakat atau negara. Karena itu, jelasnya, tanpa imam akan timbul suasana chaos. Manusia menjadi tidak bermartabat, begitu juga suatu bangsa menjadi tidak berharga.

Lantas bagaimana ketentuan seorang imamah yang dianggap legal? Dalam hal ini, Al Mawardi menjelaskan, jabatan imamah (kepemimpinan) dinilai sah apabila memenuhi dua metodologi.

Pertama, dia dipilih oleh parlemen (ahlul halli wal aqdi). Mereka inilah yang memiliki wewenang untuk mengikat dan mengurai, atau juga disebut model Al Ikhtiar.

Kedua, ditunjuk oleh imam sebelumnya. Model pertama selaras dengan demokrasi dalam konteks modern. Sementara, tipe kedua, Al Mawardi merujuk pada eksperimen sejarah, yakni pengangkatan khalifah Umar bin Khattab oleh khalifah sebelumnya, Abu Bakar Ash Shiddiq.

Dalam masalah pemecatan seorang khalifah, Al Mawardi menyebutkan dua hal yang mengubah kondite dirinya, dan karenanya ia harus mundur dari jabatannya itu. Pertama, cacat dalam keadilannya (bisa disebabkan akibat syahwat, atau akibat syubhat. Kedua, cacat tubuh.
Biografi Al-Mawardi | Ulama Besar Mazhab Syafi'e
Dalam kaitan ini adalah cacat pancaindera (termasuk cacat yang menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai seorang imam, seperti hilang ingatan secara permanen, hilang penglihatan). Selain itu, juga cacat organ tubuh, dan cacat tindakan. Sedangkan cacat yang tidak menghalangi untuk diangkat sebagai imam, seperti cacat hidung yang menyebabkan tidak mampu mencium bau sesuatu, cacat alat perasa, seperti membedakan rasa makanan.

Berkaitan dengan masalah jihad, Al Mawardi menegaskan, selain perintah jihad kepada orang kafir, jihad dibagi menjadi tiga bagian : jihad untuk memerangi orang murtad, jihad melawan para pemberontak (dikenal juga sebagai bughat), dan jihad melawan para pengacau keamanan. Bila kita cermati, pembagian versi Al Mawardi ini selalu tersangkut-paut dengan politik kekuasaan, alias mengalami reduksi dari maknanya yang luas.

Dalam hubungannya jihad terhadap mereka yang murtad, Al Mawardi membagi dua kondisi. Pertama, mereka berdomisili di negara Islam dan tidak memiliki wilayah otonom. Dalam kondisi seperti ini, mereka tidak berhak diperangi, melainkan perlu diteliti latar belakang keputusannya untuk kemudian diupayakan bertobat. Kedua, mereka memiliki wilayah otonom di luar wilayah Islam. Mereka wajib diperangi.

Soal jihad melawan pemberontak, ia menulis, “Jika salah satu kelompok dari kaum Muslimin memberontak, menentang pendapat (kebijakan) jamaah kaum Muslimin lainnya, dan menganut pendapat yang mereka ciptakan sendiri; jika dengan pendapatnya itu mereka masih taat kepada sang imam, tidak memiliki daerah otonom di mana mereka berdomisili di dalamnya, mereka terpencar yang memungkinkan untuk ditangkap, berada dalam jangkauan negara Islam, maka mereka dibiarkan, tidak diperangi, kewajiban dan hak mereka sama dengan kaum Muslimin lainnya.

Dalam banyak hal, khususnya dalam konteks demokrasi dan politik modern, sulit rasanya menerapkan konsep dan pemikiran Al Mawardi secara penuh. Barangkali, hanya beberapa bagian, semisal dalam masalah kualifikasi dan pengangkatan seorang imam, juga masalah pembagian kekuasaan di bawahnya. Namun demikian, wacana Al Mawardi ini sangat berbobot ketika diletakkan sebagai antitesis dari kegagalan teori demokrasi, dan sumbangan khazanah berharga bagi perkembangan politik Islam modern.

Bahkan, harus diakui pula bahwa pemikiran dan gagasannya memiliki pengaruh besar atas penulis-penulis generasi selanjutnya, terutama di negeri-negeri Islam. Pengaruhnya ini misalnya, terlihat pada karya Nizamul Mulk Tusi, yakni Siyasat Nama, dan Prolegomena karya Ibn Khaldun. Khaldun, yang diakui sebagai peletak dasar sosiologi, dan pengarang terkemuka mengenai ekonomi politik tak ragu lagi telah melebihi Al Mawardi dalam banyak hal.

Setelah seluruh hayatnya diabdikan untuk dunia ilmu dan kemaslahatan umat, Sang Khaliq akhirnya memanggil Al Mawardi pada 1058 M, dalam usia 83 tahun.

Pada tahun 1037 M, khalifah Al Qadir, mengundang empat orang ahli hukum mewakili keempat mazhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali). Mereka diminta menulis sebuah buku fikih. Al Mawardi terpilih untuk menulis buku fikih mazhab Syafi’i.

Setelah selesai, hanya dua orang yang memenuhi permintaan khalifah sesuai yang diharapkan, yakni Al Quduri dengan bukunya Al Mukhtashor (Ringkasan), dan Al Mawardi dengan kitabnya Kitab Al Iqna’.

Khalifah memuji karya Al Mawardi sebagai yang terbaik, dan menyuruh para penulis kerajaan untuk menyalinnya, lalu menyebarluaskannya ke seluruh perpustakaan Islam di wilayah kekuasaannya.

Selain kedua karyanya, yakni Kitab Al Iqna’, dan Al Ahkaam al Shultoniyah, Mawardi yang sejak kecil bercita-cita menjadi pegawai negeri ini juga menulis buku Adab al Wazir (Etika Menteri), Siyasat al Malik (Politik Raja), Tahsil un Nasr wat Ta’jit uz Zafar (Memudahkan Penaklukan dan Mempercepat Kemenangan). Al Ahkam al Shultoniyah telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Italia, Indonesia, dan Urdu.

Al Mawardi juga menulis buku tentang ‘perumpamaan’ dalam Alquran, yang menurut pendapat As Suyuthi, merupakan buku pertama dalam soal ini. Menekankan pentingnya buku ini, Al Mawardi menulis, “Salah satu dari ilmu Quran yang pokok adalah ilmu ‘ibarat’ atau ‘umpama’.” (her)[republika.co.id]

Referensi:
http://tonyoke.wordpress.com
http://almudirarizqi.blogspot.com/2013/02/profil-al-mawarditokoh-ulama.html

Abu Tanoh Mirah

Tgk. Haji Abdullah Hanafi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Abu Tanoh Mirah merupakan salah seorang ulama dayah terkenal di Aceh. Beliau yang terkenal di Aceh pada masanya sebagai seorang ulama sangat menguasai ilmu ushul fiqh, merupakan salah seorang murid dari Tgk. Syekh H. Muhammad Waly Al Khalidy atau yang lebih dikenal dengan Tgk. Mudawali.
Setelah sekian lama menetap belajar pada guru beliau, Tgk. Syekh H. Muhammad Waly Al Khalidy di Dayah Darussalam Labuhanhaji Aceh Selatan, beliau pulang ke kampung halaman mendirikan sebuah lembaga pendidikan Agama Islam yang bernama Dayah Darul Ulum. Dayah ini didirikan pada tahun 1957 yaitu di Desa Tanoh Mirah Kecamatan Peusangan Kabupaten Bireuen Aceh.
Pada masa jayanya, Dayah Darul Ulum pernah sangat terkenal sampai ke Malaysia dan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. ”Banyak santri-santri dari luar daerah yang belajar di sini dan setelah sukses membangun pesantren di daerahnya masing-masing.
Abu Tanoh Mirah meninggal pada tahun 1989 dalam usia 63 tahun dan meninggalkan delapan orang putra-putrinya. Beliau merupakan ulama Aceh yang sangat teguh memegang al-qur'an dan hadits dengan mengikuti pemahaman Mazhab Syafi'i dalam bidang fiqh dan mengikuti Mazhab al-Asy'ari dalam bidang akidah. Adapun kepepimpinan Pesantren Darul Ulum diteruskan oleh anak-anak beliau, terutama yang sangat berperan adalah anak kedua beliau yang juga diberi nama sama dengan nama gurunya yakni Muhammad Waly Al Khalidy yang dipanggil juga dengan Tgk. Mudawali.

Penulis sendiri pernah menimba ilmu pengetahuan agama/belajar kitab kuning pada salah seorang murid Abu Tanoh Mirah ini, yaitu Almarhum Tgk Amir al-Ludiny Kualaba'u Aceh Selatan (mudah-mudahan kedua beliau ini selalu dalam lindungan Allah SWT). Guru kami ini sering bercerita kepada kami mengenai kelebihan-kelebihan dan ketekunan Abu Tanoh Mirah dalam memperjuangkan akidah ahlussunnah wal jama'ah.

(sumber : http://danijurnalis.wordpress.com/2009/04/01/dayah-abu-tanoh-mirah-darul-ulumsetengah-abad-menggapai-asa dan sumber lainnya)

Kenangan dan Kerinduanku pada AHLILLAH 1 : Syaikh Abu Dahlan Tanoh Abee

Pemergian Syaikh Abu Dahlan Tanah Abe, Aceh ke sisi Kekasihnya empat tahun dahulu amat ku rasakan. Hingga kini masih segar dalam ingatan saat-saat bersama al-marhum. Dengannya aku mendapat bimbingan ilmu rohani dan diangkat menjadi Khalifah Tarekahnya iaitu Tarekah Syathariyah, disaksikan sahabatku dan khalifahnya Prof Madya Dr. Mohd Syukri Yeoh Abdullah (PhD.UKM - Fellow Penyelidik Kanan/Pensyarah Kanan Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA) UKM) dan Ustaz Tengku Mohd Fouzy Jumat, ulama dan Ahli Majlis Fatwa Singapura.

Syaikh Abu Dahlan atau nama sebenarnya Tgk H Muhammad Dahlan Al-Fairusi Al-Bagdadi (63) yang biasa disapa dengan Abu Tanoh Abee, merupakan Pimpinan Dayah (Pondok) Tgk Chiek Tanoh Abee, Seulimuen, Aceh Besar dan seorang besar di sana. Beliau meninggal dunia sekitar pukul 13.45 (WIB), Sabtu 18 November di Rumah Sakit Fakinah Kota Banda Aceh setelah beberapa tahun melawan penyakit jantung yang dideritainya.

Beliau merupakan ulama generasi kesembilan dari keturunan langsung Shaikh Fairus, yang mendirikan Dayah (pondok) Tanoh Abee pada tahun 1627 M. Shaikh Fairus sendiri adalah seorang ulama Sunni yang memiliki asal-usul dari Baghdad, dan menjadi pengembang Islam di Aceh melalui Tarekah Shattariyyah yang diajarkannya.

Kematiannya menjadi bahan berita TV dan akhbar di Indonesia sehingga dikhabarkan ratusan ribu manusia datang menziarahi jenazahnya.

Kata Umi (isteri Syaikh Abu Dahlan), sehingga hari ketujuh pemergian Abu, manusia belum putus-putus datang menziarahi dari seluruh Indonesia dan luar negara. Antara kisah masyhur yang diperkatakan mereka hingga kini ialah berlakunya gegaran kecil di bumi Aceh saat jenazahnya dimasukkan ke liang lahad sehingga selamat disemadikan.

Pesantrennya menjadi tempat kunjungan pelbagai pihak dari kebanyakan universiti di dunia. Mereka datang untuk kajian terhadap manuskrip-manuskrip (kitab-kitab lama) yang berada dalam perpustakaan Tanoh Abee yang tiada diperolehi di tempat-tempat lain kerana dicuri dan dimusnahkan oleh pihak Belanda waktu penjajahan dahulu.

Malahan, akibat tsunami yang melanda pada 24 Disember 2004 yang memusnahkan beberapa lembaga penyimpan dokumen bersejarah Aceh, maka semakin ramai yang datang berkunjung ke tempat beliau untuk tujuan pengkajian dan sebagainya. Jumlah naskah koleksi di Dayah Tanoh Abee ini dianggap sebagai yang terbesar di Asia Tenggara untuk kategori koleksi lembaga tradisional semacam Dayah ini.

Selama puluhan tahun Abu menjadi semacam “khadam” yang menjaga dan merawat tidak kurang dari 3,500 teks-teks klasik keagamaan dalam bentuk manuskrip. Kecintaan Abu pada ilmu membuatkan dirinya seringkali terkurung dalam bilik perpustakaan bawah tanahnya dalam masa yang lama untuk menyusun kembali helaian-helaian manuskrip yang telah tercabut, disamping memulihara keadaan kitab-kitab tersebut.

Semoga Allah menempatkan Abu di kalangan para kekasihNya.

Al-Fatihah.

Info tambahan :

  • Terdapat juga laporan dalam Al-Jazeera tentang kematian Abu serta berlakunya gempa bumi ketika saat kematian dan pengebumian jenazah. Ini disahkan sendiri beberapa pihak dari Malaysia yang menziarahi almarhum. Walllahu ‘alam
  • Almarhum Abu juga dikenali kerana telah berjaya menyusun semula 9,000 naskah manuskrip dari kurun ke 16 yang terlonggok di zawiyah beliau.
  • Almarhum pernah diminta oleh Bahagian Sejarah Negeri Melaka untuk mengesahkan maqam Syaikh Syamsuddin al-Sumatrani di Kg. Ketek, Melaka.
  • Almarhum juga pernah ditemuramah dalam rancangan Jejak Rasul TV3.
Berita rujukan:
al faqir Tokku

Aneuk Dayah Hana Bangai

Aneuk Dayah Hana Bangai

“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik” (Qs. Ali Imran: 110).
Dayah atau pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang paling tertua yang telah di perkenalkan sejak sekitar 500 tahun yang lalu. Sejak saat itu, lembaga dayah  yang dulunya di sebut zawiyah tersebut telah mengalami banyak perubahan dan memainkan berbagai macam peran dalam masyarakat Indonesia.
Banyak sekali keberhasilan aneuk beut atau santri yang telah terjun ke tengah masyarakat di berbagai profesi dan dapat mendorong pengembangan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai kemasyarakatan yang berguna. Keberhasilan aneuk beut dari pemberdayaan yang dilakukan oleh dayah juga dapat dilihat dari para alumninya yang telah berhasil dalam bidang pekerjaannya masing-masing. Ada yang berkerja sebagai penulis, peneliti, guru, kepala sekolah, bekerja di media massa, LSM, instansi pemerintah, dan ada juga yang telah berhasil mendirikan dan memimpin dayah-dayah besar di aceh dan sekitarnya.
Para aneuk beut atau santri yang kesahariannya bersama-sama mengaji kitab kuning di balai dan mesjid dari seorang guree (guru/pengasuh). mereka mendengarkan guree membacakan isi kitab, kata demi kata, lalu menjelaskannya dan guree juga menguraikan panjang lebar makna dari isi kitab tersebut. Sedangkan para santri semuanya menyimak melalui kitab yang dipegang mereka masing-masing. Besarnya sikap ta’zim santri terhadap guru yang sedang mengajar di tunjukkan dengan semua santri duduk dengan bersila, tanpa bangku, menyimak pelajaran yang di berikan oleh guru dengan penuh rasa hormat. Cara mengajar seperti ini jika dibandingkan dengan teori belajar mengajar modern yang di praktekkan di sekolah-sekolah, sama sekali dianggap tidak tepat. Teori belajar mengajar modern, menganjurkan agar jumlah siswa harus dibatasi, menggunakan alat peraga, LCD, dan seterusnya. Selain itu juga berbagai ketentuan harus diikuti, misalnya bagaimana materi setiap pelajaran harus diorganisasi, seharusnya memulai pelajaran, bagaimana guru bertanya, murid menjawab dan seterusnya.
Seorang guru di dayah dalam mengajar biasanya diikuti oleh puluhan bahkan ratusan dan ada juga terkadang sampai ribuan santri. Hal itu jelas tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pengajaran modern, yang seharusnya jumlah itu dibatasi. guru di dayah hanya membaca kitab, menerangkan, dan semua santri menyimak serta mencatat apa yang diterangkan oleh guru yang sekiranya dianggap perlu. Tetapi anehnya, apa yang dilakukan oleh guru di dayah tersebut ternyata berhasil menjadikan para santri menguasai kitab yang dipelajarinya. pembelajaran yang di terapkan di dayah dan di praktekkan saat ini cukup untuk memenuhi standarisasi kependidikan misalnya mengadakan evaluasi belajar setiap  empat bulan sekali. Tetapi tidak diakhiri dengan ujian nasional di kalangan dayah. Tidak pernah terdengar hal tersebut dilakukan.
Sangat berbeda dengan pengajaran di dayah, pendidikan formal di sekolah atau bahkan juga di perguruan tinggi semuanya serba diatur. Hal menyangkut tentang guru, bahan ajar, berbagai peralatan pengajaran yang dibutuhkan, termasuk buku pegangan dan lain-lain semuanya harus disediakan. Demikian pula jadwal kegiatan ditata rapi, termasuk berapa kali murid harus masuk mengikuti pelajaran, tidak terkecuali kapan para siswa atau mahasiswa harus mengikuti ujian tengah semester dan juga akhir semester. Semua proses pengajaran itu juga telah ditentukan waktunya, termasuk juga ujiannya.
Hanya anehnya, belum tentu pengajaran yang diatur secara rapi itu, memperoleh hasil yang lebih baik dari proses sederhana yang dilakukan di kalangan dayah. Hal seperti itu, tidak jarang kemudian melahirkan pertanyaan, di antaranya yakni, kekuatan apa yang menjadikan pengajaran di dayah lebih berhasil bilamana dibanding dengan proses belajar dan mengajar di sekolah umum. Sebagai contoh sederhana, para santri yang belajar di dayah dalam waktu tertentu, berhasil menguasai Bahasa Arab dan bahkan di beberapa dayah tertentu, juga Bahasa Inggris. Sedangkan di sekolah umum, sekalipun telah diajarkan di tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, SMU, dan juga telah dinyatakan lulus program S1 dan bahkan pascasarjana, belum juga berhasil menguasai bahasa asing tersebut.
Atas kenyataan tersebut, jika kita mau jujur, mestinya kita harus hormat pada lembaga pendidikan dayah. Lembaga pendidikan yang seringkali dianggap tradisional dan sederhana, ternyata proses belajar dan mengajar yang dilakukan, lebih berhasil dari pada pendidikan modern. Melihat kenyataan itu, maka dalam mencari model pengajaran yang terbaik, perlu dipertanyakan, siapa seharusnya meniru siapa. Penulis yang sedang menempuh pendidikan di salah satu dayah di aceh merasakan kagum dan terharu pola pendidikan yang di terapkan di dayah-dayah seperti Mudi Mesra samalanga, Labuhan Haji Aceh Selatan, dan beberapa dayah lainnya. Para santrinya, ternyatra telah mampu menulis makalah dan berpidaton dengan dua bahasa asing, yaitu Bahasa Arab dan Bahasa Inggris sekaligus. Padahal dari hasil pengamatan penulis selama ini, belum tentu semua siswa yang belajar di lembaga pendidikan modern, mampu menghasilkan prestasi seperti itu.
Prestasi seperti itu terjadi di dayah Mudi Mesra samalanga, Labuhan Haji Aceh Selatan, dan beberapa dayah lainnya. Atas kesederhanaannya itu, dayah-dayah ini telah melahirkan sejumlah ulama-ulama besar yang dikenal di negeri ini. Sehingga wajar jika kemudian muncul pertanyaan mendasar, yang perlu dijawab secara tuntas. Yaitu misalnya, kekuatan apa sesungguhnya yang menjadikan para aneuk beut atau santri berhasil menguasai sejumlah pengetahuan dan bahkan tatkala keluar dari dayah, mereka mampu memimpin lembaga pendidikan yang dipercaya masyarakat. Dilihat dari sisi metodologi pengajaran, jelas pendidikan di dayah tidak tampak modern. Begitu pula sarana dan prasarana yang tersedia, adalah sangat terbatas. Para guree-guree yang mengajar juga bukan lulusan fakultas pendidikan, penyandang ijazah pascasarjana, dan apalagi Doktor atau S3. Tidak memenuhi kriteria seperti itu. Mereka yang mengajar di dayah, adalah tamatan dayah juga. Persoalan ini benar-benar menarik, dan kiranya perlu dikaji oleh para peneliti di bidang ini.
Dari beberapa fonomena yang terjadi dapat di ambil kesimpulan kenapa Aneuk Beut Hana Bangai hal itu karena pendidikan dayah sendiri, yang memang berbeda dari pendidikan di sekolah formal pada umumnya. Dayah memiliki model pendidikan yang khas. Beberapa di antara ke khasan pendidikan dayah itu adalah sebagai berikut.
Pertama, pendidikan di dayah diliputi oleh suasana keikhlasan. Para para guru-guru dan santri dalam menunaikan perannya masing-masing didorong oleh niat ikhlas. Mereka yang terlibat dalam proses belajar dan mengajar guru dan santri, tidak saja termotivasi untuk memberi dan mendapatkan ilmu, tetapi lebih dari itu adalah juga dirasakan sebagai kewajiban menunaikan amanah, yakni mengajar dan mencari ilmu, atas perintah dari Allah Yang Maha Kuasa, sebagai ibadah. Dalam proses belajar dan mengajar selalu diliputi oleh nilai-nilai spiritual. Dalam bentuk yang paling sederhana kita lihat misalnya, tatkala memulai dan pengakhiri pelajaran selalu diiringi dengan doa dan bershalawat atas rasullullah yang dipimpin langsung oleh guru yang bersangkutan.
Kedua, dalam pendidikan di dayah tidak terjadi suasana transaksional. Ilmu tidak diperdagangkan. Tidak ada istilah upah atau gaji dari kegiatan mengajar. Para guru atau ustadz yang mengajar, tidak ada sedikit pun, didorong oleh maksud-maksud untuk mendapatkan imbalan material. Antara mengajar dan mencari rizki, di kalangan dayah bisa dipisahkan. Jika kegiatan itu mengharuskan para santri membayar biaya pendidikan, dan demikian pula para pengasuh mendapatkan sesuatu dari kegiatan dayah, tidak akan dimaknai sebagai imbalan atas pekerjaannya itu. Bahkan tidak sedikit guru yang harus menanggung biaya hidup para santri yang tidak mampu secara ekonomi.
Apa yang terjadi di dayah, kemudian kita bandingkan dengan di sekolah pada umumnya, memang benar-benar berbeda. Lembaga pendidikan pada umumnya selalu ramai berbicara soal upah guru dan atau dosen, sedangkan di dayah tidak pernah berbicara tentang biaya pendidikan itu. Bahkan, di sekolah umum, kadang kala energi untuk membicarakan besarnya biaya pendidikan melebihi forsi perbincangan tentang pendidikannya itu sendiri. Lebih dari itu, akhir-akhir ini muncul juga demonstrasi oleh guru tatkala menuntut hak. Akhirnya pendidikan menjadi lahan transaksional dalam mendapatkan rizki, sehingga gambaran itu tak ubahnya di pasar. Pemandangan seperti itu sesungguhnya tidak akan terjadi jika pihak-pihak yang terkait dengan itu, termasuk pemerintah, sejak awal memperhatikannya.
Suasana transaksional seperti digambarkan itu akan menghilangkan nilai-nilai kehormatan yang seharusnya justru ditumbuh-kembangkan di lembaga pendidikan. Dalam lembaga pendidikan seharusnya tertanam suasana kasih sayang, hubungan yang sedemikian dekat antara guru dan murid dan siapa saja yang terlibat dalam kegiatan pendidikan. Hubungan guru dan murid seharusnya dibangun bagaikan orang tua dan anak-anaknya sendiri. Guru seharusnya mencitai murid sepenuhnya dan demikian pula murid seharusnya menghormati dan memuliakan para guru-gurunya. Oleh karena itu, jika suatu misal, guru berdemonstrasi menuntut hak kenaikan gaji, maka suasana pendidikan telah gagal diciptakan. Pendidikan dengan demikian menjadi tidak akan menghasilkan apa-apa.
Hubungan guru dan santri di dayah, terbangun secara baik. Para guru-guru di dayah sekalipun pada saat ini masih tergolong berusia muda, mampu memerankan sebagai pendidik yang sebenarnya. Para guru menunjukkan kecintaannya pada seluruh santri dan demikian pula para santri sedemikian ta’dhim atau hormat kepada para guru pengasuhnya. Inilah kiranya sebagian kunci keberhasilan pendidikan di dayah. Hubungan batin seperti ini, tidak pernah kemudian memunculkan penyimpangan dalam pendidikan. Kecurangan dalam penyelesaian tugas atau juga dalam ujian tidak terjadi di lingkungan dayah. Pengawasan terhadap masing-masing para santri diserahkan kepada santri sendiri. Jika melakukan kesalahan, para santri dibuat malu terhadap dirinya sendiri.
Ketiga, di dayah guru berhasil menjadi tauladan sepenuhnya dalam berbagai kegiatan hidupnya. Misalnya, dalam kegiatan spiritual shalat misalnya, guru bertindak sebagai imam dan begitu juga pada doa-doa lainnya. Para pengasuh bertempat tinggal di lokasi dayah menjadikan kehidupan dan bahkan juga seluruh keluarganya menjadi contoh tauladan hidup yang sebenarnya. Para aneuk beut atau santri tidak saja belajar dari buku atau kitab yang dipelajari, melainkan juga dari kehidupan nyata para pengasuh dayah. Para aneuk beut atau santri dengan begitu tahu, bahwa para guru pengasuhnya tidak saja mengajarinya, melainkan lebih dari itu berdoa dan memohon kepada Allah swt., atas keberhasilan para santrinya dalam menuntut ilmu di dayah
Suasana seperti inilah yang menjadikan dayah memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan proses pendidikan di lembaga pendidikan lain pada umumnya. Pendidikan di dayah, dengan demikian tampak lebih utuh atau komprehensif. Hanya saja memang, satu sisi kekurangannya jika hal itu boleh disebut, bahwa pendidikan di dayah baru lebih menitik beratkan pada pengembangan jiwa keberagamaan. Umpama saja, dayah mengembangkan bidang-bidang keilmuan yang lebih luas, termasuk pendidikan sains, kita yakin akan jauh lebih maju dan berhasil dari model pendidikan pada umumnya. Hal itu sangat mungkin terjadi karena sebenarnya dayah memiliki pendekatan, tradisi, dan wawasan tentang kehidupan manusia yang jauh lebih luas dan mendalam. Wawasan tentang kehidupan yang dimaksudkan itu, disadari atau tidak, sesungguhnya bersumber dari kitab suci dan serjarah hidup para nabi serta orang-orang shaleh lainnya. Allahu a’lam. [TF]

Ulama Tasawuf Bermasyarakat Tinggi

Ulama Tasawuf Bermasyarakat Tinggi

Namanya Abdusshamad bin Usman, biasa dipanggil Abu Tanjong Dalam karena dilaqabkan dengan nama desa tempat tinggal beliau. Ayahandanya bernama Usman bin banta dan ibundanya bernama Ti Adwah binti Makam. Dilahirkan di Matang Cut Baktia, Aceh Utara, pada 8 Maret 1931. Beliau merupakan salah seorang ulama kharismatik Aceh. Abu Abdusshamad wafat di Dayah Darul Aman, Langkahan, Aceh Utara, pada tanggal 30 Januari 2009 M bertepatan dengan 3 Shafar 1430 H.
Desa Tanjong Dalam Selatan adalah sebuah Desa yang terletak di pedalaman Kecamatan Tanah Jambo Aye (sekarang Kec. Langkahan) yang berajarak 18 km kearah selatan Ibu Kota Kecamatan. Selain jarak tempuhnya yang jauh, fasilitas sarana transportasi masih berupa jalan setapak dan kendaraan yang dapat ditemui hanyalah sepeda, itu pun bagi satu dua orang yang baru memilikinya.
Masa hidupnya dimanfaatkan untuk berdakwah, bertafakur, bermasyarakat dan mencari berbagai ilmu, diantaranya fikih, adab, nahwu, zuhud, tarekat hingga sya’ir. Mengenai sya’ir, beliau sering mempergunakannya sebagai pendekatan kepada masyarakat dalam menyebarkan ilmu-ilmu keagamaan. Ketika pertama kali Abu Abdusshamad melakukan syi’ar Islam di kemukiman Langkahan, kecamatan Jambo Aye (sebelum dimekarkan), beliau menemukan banyak hal yang dilakukan oleh masyarakat di kampung tersebut yang bertentangan dengan hukum agama. Dengan keadaan sosiologi masyarakat pada masa itu sekitar tahun 70-an masih banyak yang mempratekkan paham Animisme. Salah satu diantaranya adalah pada hari Rabu akhir bulan Shafar yang disebut dengan Rabu Abeh masih melakukan ritual kenduri Rabu Abeh (Tulak bala), yang diadakan di pinggir sungai dengan menghayutkan sesajen dalam teumalang (timba yang dibuat dari Pelapah pinang). Tulak bala ini dianggap oleh masyrakat setempat pada masa itu dapat menjauhkan berbagai macam bala dan dapat mendatangkan keberkahan, misalnya mendatangkan hasil panen yang banyak serta menjauhkan dari segala penyakit. Secara pelan-pelan Abu merubah kebiasaan acara ritual tersebut. Acara kenduri yang biasanya diadakan di pinggir sungai itu dipindahkan oleh Abu ke meunasah, dengan tujuan menarik orang untuk mau pergi ke meunasah. Begitu juga dengan sesajen yang dihanyutkan disungai, oleh Abu digantikan dengan menghidangkan makanan untuk anak yatim. Pada akhirnya pengaruh animisme tersebut dapat hilang sama sekali dari masyarakat.
Hal lain yang dirubah oleh Abu menurut hukum agama adalah mengenai ketentuan gala (jaminan). Pada saat itu, praktek gala memungkinkan pemberi hutang dapat memanfaatkan hasil dari jaminan yang berada dalam kekuasaannya. Padahal di dalam hukum Islam praktek seperti itu tidak diperbolehkan. Hal ini merupakan sesuatu yang sulit untuk dirubah karena sebagiannya sudah menjadi kebiasaan masyarakat di sana. Tetapi dengan keteguhan hati dan dengan pertolongan Allah SWT, maka beliau sedikit demi sedikit berhasil mengajak mereka menjalankan ajaran-ajaran Islam yang benar. Hal ini membuat beliau bertekad untuk merubah sosiologi masyarakat dengan mendirikan sebuah dayah di sana, yang merupakan dayah pertama di daerah Langkahan (Jambo Aye), yang merupakan cikal bakal Dayah Darul Aman Al- Waaliyyah. Selain Dayah, Beliau juga mendirikan lembaga pendidikan umum yaitu Sekolah Madrasah Ibtidaiyah swasta ( MIs ). Dengan berbagai cara beliau menggalang masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam mewujudkan cita dakwah Islamiyah. Hal lain yang ditempuh oleh Abu untuk merangkul masyarakat adalah dengan cara mendatangi setiap kampung untuk mengadakan majlis ta’lim pada malam hari. Dengan sikap Abu yang ramah dan sosial Abu cepat beradaptasi dan dikenal di kalangan masyarakat luas. Dengan berbagai macam keputusan hukum yang dikeluarkan serta tidak bertentangan dengan pemikiran masyarakat awam, Abu mendapat kepercayaan dari pihak pemerintahan Kecamatan untuk mengetuai berbagai kepanitiaan dalam menjalankan pembangunan di daerah kecamatan Langkahan. Misalnya panitia pendirian SD Inpres Tanjong Dalam Tahun 1982 dan panitia pendirian SMP 1 Langkahan.
Selain mendirikan lembaga pendidikan juga beliau membangun Masjid tempat menjalankan ibadah shalat berjama’ah dan shalat Jum’at. Masjid pertama kali dibangun diatas tanah waqaf dengan kontruksi kayu yang ada disekitar dengan ukuran 10 x 12 m3. Seiring dengan kemajuan zaman dan pertumbuhan penduduk yang padat, maka masjid yang pertama dibangun sudah tidak dapat menampung para jama’ah sehingga dilakukan beberapa kali pemugaran. Terakhir direnovasi pada tahun 2002 berkontruksi beton permanen dengan modal Rp, 2.000.000,- secara nalar mustahil untuk membangun sebuah masjid yang berukuran 15 x 15 m3 dan tingginya 7,50 m, tetapi dengan keyakinan yang kuat dan bertawakkal kepada Allah, Abu berhasil melaksanakan niatnya untuk membangun masjid. Masjid tersebut sekarang sudah selesai dibangun 20 persen dengan anggaran lebih kurang Rp, 500.000.000,-
Setelah Abu menamatkan sulok dan mendapat ijazah dari Abu Batee Lhee (Abu Muhammad Thaeb) Batee Lhee Lhoksukon Aceh Utara dan dari Abuya Professor Muhibbuddin Wali. Kemudian Abu diberi kepercayaan untuk membangun rumah sulok di Dayah Darul Aman, dan terus mengembangkan ke berbagai Desa dalam Kecamatan Langkahan dan sekitarnya, bahkan sampai ke Idi Aceh Timur. Alhamdulillah, sampai akhir hayatnya Beliau sudah berhasil membuka 12 cabang Bale Tawajoh.
Melalui sya’ir, beliau mengajak masyarakat untuk memasuki tarekat agar tercapai keseimbangan antara kehidupan duniawi dan Ukhrawi. Tarekat merupakan suatu hal yang menjadi kegemarannya hingga akhir hayatnya. Karena pada saat itulah segenap kehidupan seakan berhenti dengan hanya mengingat Allah SWT. Dalam hal ini beliau mengambil Tarekat Naqsyabandiah sebagai pegangan dalam menjalani kehidupan. Sambil menangis dan membaca syai’ir, beliau teringat kepada Rasulullah Muhammad SAW dan gurunya, Hadratusy Syech Maulana Muhammad ‘Muda’ Wali Al Khalidi.
Diantara sya’ir gubahan Abu Abdusshamad yang sering dibaca setiap selesai bertawajjuh, antara lain :
Shal lallahu ‘alan Nabi, Shal lallahu ‘alar Rasul
Shal lallahu ‘alal Habibi Nabi Muhammad Afzalil Rusul
Saidina ‘Umar ‘Usman ‘Ali Abu Bakar Sahabat Nabi
Siti Fatimah Binti Rasuli, Ya Rasulullah Junjungan Kami
Ya Maulana Ya Habibi, Neupreh Kamoe Bak Ulee Titi
Menyoe Han Neupreh Waya Habibi, Neulambe Kamoe Ngoen Tangan Kiri
Dengan Berkat Syech Muda Wali, Ulama Sufi Lagi Takwa
Makam Gopnyan Di Darussalam, Tapak Tuan Labuhan Haji
Dengan Berkat Syech Muda Wali, Keukamoe Neubri Hudep Sejahtra
Uroe Malam Dalam Qana’ah, Neubri Ya Allah Beu Ampon Dosa
Dengan Berkat Nabi Mustafa, Cita-Cita Neusampaikan
Neupeu Ampon Sigala Dausa Ibu Bapa Guree Sajan
Darul Aman Batee Meutabu, Tempat Teungku Menyembah Tuhan
Menyoe Rakan Meukeusud Makmu, Muraqabah Selalu Kepada Tuhan
Darul Aman Dayah Meutuah, Al Waaliyyah Melayu Raya
Menyoe Meukeusud Akhirat Bek Susuah,, Tamong Beu Bagah Thariqat Abuya
Shal lallahu ‘alan Nabi, Shal lallahu ‘alar Rasul
Shal lallahu ‘alal Habibi Nabi Muhammad Afzalil Rusul
Ciri khas Abu Abdusshamad dalam mengajar adalah kedisiplinannya dalam menghargai waktu. setiap hari beliau bangun jam tiga pagi untuk kemudian beribadah dan diselingi dengan membaca kitab sampai pukul 7-8 pagi. Ketika shubuh beliau berkeliling dayah untuk membangunkan para santri. Jika dilihatnya masih ada yang lalai dalam mengerjakan shalat shubuh, apalagi jika orang itu sudah alim, maka dengan serta merta beliau menegurnya dalam sebuah ungkapan “ka kaya ka kriet, ka malem ka maksiet” (sudah kaya jadi kikir, setelah alim masih suka maksiat). Hal ini semata-mata beliau lakukan untuk menanamkan kedisiplinan kepada para teungku yang belajar di dayahnya agar tidak terlalu memudah-mudahkan urusan kepada Sang Maha Pencipta.
Alm. Abu Abdusshamad (semoga Allah menghitung semua amal baiknya) ternyata juga seorang yang humoris. Ketika ditanyakan kepada para santri, mereka sering melihat beliau tertawa terkekeh-kekeh jika ada sesuatu yang dianggapnya lucu. Hal ini menghapuskan pandangan bahwa ulama zaman dahulu seperti Abu Abdusshamad adalah pribadi yang keras dan kaku.
Ada sebuah kejadian yang diceritakan oleh anak Alm. Abu Abdusshamad, Tgk Hamidi (sekarang meneruskan kepemimpinan dayah Darul Aman Al Waaliyyah). Pada suatu hari ketika diadakan kerja bakti pembangunan mesjid di dayah, Alm. melihat seorang anak kecil sedang bermain-main di tepi jalan di depan dayah Darul Aman. Tiba-tiba Alm. mengatakan : “aneuk nyan han jeut rayeuk” (anak itu tidak bisa besar) kepada teungku-teungku yang berada disitu. Pada saat itu tidak ada menanyakan maksud Alm. mengatakan hal keadaan tersebut. Tetapi kejadian luar biasa adalah dalam 2-3 bulan kemudian ternyata anak kecil itu (yang ternyata anak dari warga desa tersebut) telah meninggal dunia. Entah mengapa alm Abu Abdusshamad seakan-akan memberi sinyal bahwa anak itu tidak bisa besar, dan itu ternyata bukan persoalan kondisi fisiknya, tetapi karena anak kecil itu akan segera dipanggil oleh Allah SWT. Wallahu a’lam bis shawab.
Pukul 06.30 pagi, Almarhum Abu Abdusshamad dipanggil kembali keharibaan Allah SWT, tepatnya pada hari Jum’at, tanggal 30 Januari 2009 M/ 3 Shafar 1430 H yang dimakamkan dikomplek Dayah Darul Aman. Wafatnya beliau hanya berselang 1 minggu setelah pertemuannya dengan Abuya Prof. DR. Muhibbuddin Waly di dayahnya di Langkahan. Saat itu Tepatnya tanggal 19 Januari 2009 Abuya mengangkat dan melantik Beliau menjadi mursyid tarekat naqsyabandiah di hadapan ribuan masyarakat Langkahan, dikarenakan Alm. adalah ulama yang bermasyarakat dan dikarenakan pribadinya yang gigih dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar.[TF]

Abu Ahmad Perti Ulama Tegas Yang Istiqamah Dalam Ilmu dan Amal

Abu Ahmad Perti Ulama Tegas Yang Istiqamah Dalam Ilmu dan Amal

Abu Muhammad bin Zamzami biasa masyarakat memanggil beliau dengan sebutan Abu Ahmad Perti, Ia Dilahirkan pada tahun 1936 di desa Lambro Deyah, Kecamatan Kuta Baro, Aceh Besar. Beliau merupakan keturunan keluarga ulama dan pejuang yang kental dalam melawan kolonialisme Belanda dan pendudukan Jepang. Pada masa pendudukan, kedua orang tua beliau (Tgk. Zamzami dan Ummi Sakdiah) mengalami masa-masa sulit dan hidup dalam keadaan berpindah-pindah. Keadaan ini membuat ayah beliau bercita-cita agar Muhammad kecil nantinya dapat fokus dalam dunia ilmu pengetahuan sehingga dapat menjadi seorang alim ulama yang dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa ini, sekaligus meneruskan garis keturunan keluarga yang telah bersemi. Beliau masih ada hubungan keturunan dengan Tgk. Chik. Tanoh Merah boengcala aceh besar, yaitu seorang ulama besar dan juga pejuang yang melawan penjajahan belanda bersama-sama dengan Tgk. Chik Ditiro dan Tgk. Chik Tanoh Abei. Dayahnya yang berada di boengcala, aceh besar pada saat itu, telah dibakar oleh kolonialis belanda. Almarhum Tgk. Chik. akhirnya syahid di medan pertempuran tepatnya di Tangse, Kabupaten pidie, dan dikuburkan disana juga, (ada yang mengatakan Almarhum syahid di boengcala, namun pendapat kuat mengatakan di Tangse).
Abu Muhammad Zamzami atau Abu Ahmad Perti, tokoh yang dikenal sangat vokal dan teguh dalam pendirian ini, melakukan pengembaraan dalam menuntut ilmu dari dayah ke dayah. Setelah belajar di Sekolah Rakyat di Boengcala, Aceh Besar, beliau menuntut ilmu agama untuk pertama kalinya secara formal di Dayah Ulee Titie pada seorang Ulama Kharismatik saat itu, yaitu Almarhum Abu Ishak (Abu dari Tgk. Athailah Ulee Titie) selama 5 tahun. Setelah itu beliau memutuskan untuk mengembara hingga ke Aceh Selatan, tepatnya di Desa Trieng Meudoro, Sawang, dan belajar pada Abu Ishak selama 3 tahun. Karena merasakan pendidikan agama Islam dirasakannya masih belum cukup, beliau ‘hijrah’ lagi dalam pergulatannya mencari ilmu, hingga akhirnya berlabuh di Dayah Darussalam, Labuhan Haji, (Labuhan Haji Barat sekarang- red) dan berguru pada Abuya Syeikh Muda Waly al Khalidy, selama lebih dari 14 tahun. Kalau kita perhatikan dari perjalanan Abu Ahmad Perti dalam mencari ilmu, nampak ciri khas masa lalu dari ulama Aceh yang murni dan haus akan pencarian ilmu pengetahuan. Dan hal ini menjadi wajar jika beliau sangat bersemangat, dikarenakan juga garis keturunannya ulama yang ada padanya.
Abu Ahmad dikenal sebagai Abu Ahmad Perti, dikarenakan kiprah beliau didalam organisasi islam ahlis sunnah wal jama’ah tersebut begitu besar. Baik itu berupa perjuangan hingga pengorbanan beliau dalam menegakkan dan mempertahankan tujuan, visi dan misi organisasi islam tersebut.
Kisah Abu Ahmad Perti Mendirikan Lembaga Pendidikan
Pada tahun 1968 (8 tahun berselang setelah meninggal Abuya Hadratusy Syech H. Muda Waly Al Khalidy) Abu Ahmad Perti masih berada di Dayah Darussalam, Labuhan Haji. Tiba-tiba beliau mendapatkan surat dari abang sepupunya (almarhum Abu Lamche’ pendiri Dayah Daruzzahidin Lam’ateuk Aceh Besar) yang mengabarkan padanya bahwa telah terjadi penganiayaan oleh sekelompok masyarakat terhadap orang-orang yang melakukan I’adah Dzuhur setelah shalat Jum’at di daerah Lam Ateuk, Aceh Besar. Berdasarkan hujjah beliau, bahwa permasalahan I’adah telah diterangkan secara gamblang dalam kitab –kitab Fiqih. Maka pada hari itu juga Abu Ahmad meminta izin kepada semua orang di Dayah Darussalam dan berpamitan kepada para sahabat, guru, murid dan terutama para Ummi almarhum Abuya, untuk dapat pulang ke kampung halamannya. Hal ini beliau lakukan karena telah tiba saatnya bagi beliau untuk mengamalkan ilmunya, menegakkan kebenaran dan memberikan pencerahan I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah yang benar bagi masyarakat di kampung halamannya. Menurut cerita, bahwa Abu Ahmad pulang dari Labuhan Haji menuju Aceh Besar dengan menggunakan sepeda selama 3 hari 3 malam bersama-sama dengan Abu Thantawi Jauhari dan Tgk.Mahyuddin.
Sesampainya di kampung halaman, Abu Ahmad Perti langsung berpidato di depan masyarakat tanpa rasa gentar sedikitpun. Dalam menyampaikan hujjahnya, beliau mengajak siapapun itu untuk berdialog dan berdebat dengan beliau. Alhamdulillah, tidak lama setelah itu, masyarakat dapat kembali melaksanakan I’adah Dzuhur rasa takut. Metode penyebaran Islam oleh beliau dilaksanakan dengan cara tegas dan efektif, jika telah didebatkan suatu permasalahan dan beliau memenangkan debat tersebut, maka tanpa kompromi masalah hukum agama tersebut langsung diamalkan dan direalisasikan di masyarakat.
Pada usia yang masih 32 tahun, Abu Ahmad Perti sudah mendirikan Dayah yang diberi nama Istiqamatuddin Darul Mu’arif. Dayah ini didirikan di tanah seluas 2,5 hektar di Desa Lambro Bileu, Kuta Baro. Pada masa itu di tanah tersebut banyak pohon Mangga Golek, sehingga beliau juga terkenal dengan panggilan Abu Ahmad Mamplam Golek. Untuk membeli pengeras suara (mix) pertama kalinya adalah dari hasil penjualan Mangga Golek dari kebun di Dayah tersebut.
Hal ikhwal nama Istiqamatuddin memiliki latar belakang cerita. Bahwa sepulang dari musyawarah untuk menentukan waktu awal puasa, beliau berbeda pendapat dengan sekelompok hadirin yang ada di musyawarah tersebut (ulama-ulama inshafuddin aceh besar dan se-kotamadya di rumah abu krueng kalee di kedah). Permasalahan saat itu adalah soal penetapan rukhyatulhilal untuk memulai puasa. Abu mengambil jalan untuk melihat bulan dengan hisab khumasy, tetapi bukan beramal dengan hisab khumasy, umpamanya orang memburu rusa dengan memakai anjing, dalam hal ini bukan anjingnya yang dimakan tapi rusanya yang dimakan.
Abu juga pernah bertanya masalah puasa pada Abu Chik Kuta Blang (ulama Aceh Utara yang belajar di Masjidil Haram selama 30 tahun). Dalam dialognya, Abu bertanya :
Abu Ahmad : hisab apa yang tidak pernah kacau di mekah?
Abu Chik : selama saya dimekah 30 tahun hisab yang tidak pernah kacau dimekah adalah hisab khumasy.
Istiqamatuddin berarti ketetapan dan keteguhan dalam beragama. Darul Mu’arrif artinya adalah sebuah negeri yang memperkenalkan hak dan bathil, Abu mengkasadkan didalam hatinya bilamana suatu ketika dunia ini bergejolak dengan berbagai prinsip yang berbeda tapi Insya Allah pesantren ini akan tetap dan teguh dalam prinsipnya yang suci. Beliau sering mengatakan dalam berbagai kesempatan,  “Yang hak tetap benar dan yang bathil tetap harus dikesampingkan, sekalipun dipoles dengan berbagai keindahan”. ungkap Abu.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Ketegasan Abu Ahmad Perti dapat terlihat dari sikap beliau ketika menanggapi masyarakat yang melakukan perbuatan maksiat. Dikisahkan jika Abu Ahmad Perti melihat orang-orang di warung kopi sedang bermain batu, maka beliau tidak segan-segan untuk membubarkan mereka sehingga masyarakat di sekitar akan berpikir dua kali kalau ingin berbuat yang tidak-tidak. Tindakan berani itu juga dilakukan pada masalah pemahaman agama dan diterapkan juga kepada para santrinya. Beliau termasuk ulama yang mengharamkan rokok dan tidak segan-segan untuk memukul santrinya dengan rotan apabila ketahuan ada yang merokok. Di dalam proses belajar mengajar, Abu Ahmad Perti selalu membukanya dengan berdo’a : ”Ya Allah, jadikanlah kami daripada golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah,dan jangan jadikan kami daripada golongan ahli bid’ah dan Wahabi”.
Pada sisi yang tegas dan gagah berani tersebut, juga tersimpan adanya keterbukaan dalam memberikan kesempatan bagi orang-orang yang berbeda paham. Abu tidak pernah lupa untuk menawarkan sebuah diskursus dan perdebatan terbuka mengenai hujjah yang dipegang. Ada sebuah cerita, Abu mendapatkan surat yang meminta kepada beliau untuk menyelesaikan masalah ajaran Salik yang telah meresahkan masyarakat di Kuta Iboeh (salah satu nama kampung di Labuhan Haji). Kemudian beliau datang ke masyarakat tersebut dan berpidato dengan judul “Membasmi Salik”. Pada penutup pidato beliau mengatakan, “Saya datang dari Banda Aceh tanpa membawa apa-apa, kalau ada yang tidak senang dengan ucapan saya dan mau berdebat, datanglah ke Dayah Darussalam akan saya tunggu dengan senang hati. Dan kalau ada yang mau menyihir saya, sihir saja sekarang kalau mampu, sesungguhnya Allah SWT menjadi pelindung setiap kebenaran!” Sungguh sebuah tindakan lugas yang terukur dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Seperti halnya pepatah : “tak kenal maka tak sayang”, Kharisma dan kewibawaan Abu Ahmad Perti membuat semua orang yang ditinggalkannya merasa sangat rindu dan kehilangan.
Abu mengambil tarekat pada Almarhum Abuya Prof. DR. Muhibbuddin Muhammad Waly, 6 tahun sebelum beliau meninggal dan setelah beliau naik haji. Beliau sudah menyiapkan tempat-tempat suluk di dayahnya. Allah menentukan segalanya, ketika hal tersebut belum tercapai, Abu telah dipanggil untuk selama-lamanya, tepatnya pada tanggal 27 oktober 1999 M / 17 rajab 1420 H.
Tepat dalam usia 63 tahun, beliau menghadap Allah SWT. Beliau meninggalkan 7 orang anak dan dua pesantren besar kepada Tgk. Thantawi Jauhari untuk Dayah Istiqmatuddin Darul Mu’arif dan menantu beliau Tgk. Mahdi M. Daud untuk memimpin Dayah putri Istiqmatuddin Darul Mu’ariffah. Seperti layaknya gurunya, Abu Muhammad Zamzami atau biasa dipanggil Abu Ahmad Perti, berpesan kepada seluruh murid-murid beliau dan seluruh pelajar yang sedang belajar di pesantren “istiqamatuddin” darul mu’arrif agar berdo’a dan berharap agar kedua Dayah yang ditinggalkannya ini dapatlah sampai ke tangan Nabi Isa AS. Amien ya Allah. Amien ya rabbal alamin.
(Ditulis oleh: Tgk. Naqsyabandi, dari berbagai sumber)[TF]

Kisah Waliyullah Aceh, Abu Ibrahim Woyla

Alm. Abu Ibrahim Woyla, Aceh Barat
Santri Dayah.Com- Abu Ibrahim Woyla adalah seorang ulama pengembara. Ulama ini dalam masyarakat Aceh lebih dikenal dengan Abu Ibrahim Keramat. Belum pernah terjadi dalam sejarah di Woyla (Aceh Barat) bila seseorang meninggal ribuan orang datang melayat (takziah) kecuali pada waktu wafatnya Abu Ibrahim Woyla. Selama hampir 30 hari meninggalnya Abu Ibrahim Woyla masyarakat Aceh berduyun-duyun datang melayat ke kampung Pasi Aceh, Kecamatan Woyla Induk, Aceh Barat sebagai tempat peristirahatan terakhir Abu Ibrahim Woyla. Selama 30 hari itu ribuan orang setiap hari tak kunjung henti datang menyampaikan duka cita mendalam atas wafatnya Abu Ibrahim Woyla, sehingga pihak keluarga menyediakan 400 kotak air aqua gelas dan tiga ekor lembu setiap hari dari sumbangan mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf untuk menjamu tamu yang datang silih berganti ke tempat wafatnya Abu Ibrahim Woyla. Begitulah pengaruh ke-ulama-an Abu Ibrahim Woyla dalam pandangan masyarakat Aceh, terutama di wilayah Pantai barat selatan Aceh.
Abu Ibrahim Woyla yang bernama lengkap Teungku (Ustadz/Kiyai) Ibrahim bin Teungku Sulaiman bin Teungku Husen dilahirkan di kampung Pasi Aceh, Kecamatan Woyla, Kabupaten Aceh Barat pada tahun 1919 M. Menurut riwayat, pendidikan formal Abu Ibrahim Woyla hanya sempat menamatkan Sekolah Rakyat (SR), selebihnya menempuh pendidikan Dayah (Pesantren Salafi/Tradisional) selama hampir 25 tahun. sehingga dalam sejarah masa hidupnya Abu Ibrahim Woyla pernah belajar 12 tahun pada Syeikh Mahmud seorang ulama asal Lhok Nga Aceh Besar yang kemudian mendirikan Dayah Bustanul Huda di Kecamatan Blang Pidie, Aceh Barat Daya. Di antara murid Syeikh Mahmud ini selain Abu Ibrahim Woyla juga Abuya Syeikh Muda Waly Al-Khalidy yang kemudian Abu Ibrahim Wayla berguru padanya, Abuya Muda Waly adalah sebagai seorang ulama tareqat naqsyabandiyah tersohor di Aceh.
Menurut keterangan, Syeikh Muda Waly hanya sempat belajar pada Syeikh Mahmud sekitar 3 tahun, kemudian pindah ke Aceh Besar dan belajar pada Abu Haji Hasan Krueng Kale dan Abu Hasballah Indrapuri. setelah itu Syeikh Muda Waly pindah ke Padang dan belajar pada Syeikh Jamil Jaho di Padang Panjang. beberapa tahun di Padang Syeikh Muda Waly melanjutkan pendidikan ke Mekkah, kemudian Syeikh Muda Waly kembali kepadang  dan pulang ke Aceh Selatan untuk mendirikan Pesantren Tradisional di Labuhan Haji Aceh Selatan. Saat itulah Abu Ibrahim Woyla sudah mengetahui bahwa Syeikh Muda Waly telah kembali dari Mekkah dan mendirikan Dayah, maka Abu Ibrahim Woyla kembali belajar pada Syeikh Muda Waly untuk memperdalam ilmu tareqat naqsyabandiyah. Namun sebelum itu Abu Ibrahim Woyla pernah belajar pada Abu Calang (Syeikh Muhammad Arsyad) dan Teungku Bilal yatim (Suak) bersama rekan seangkatannya yaitu (alm) Abu Adnan Bakongan.
Setelah lebih kurang 3 tahun memperdalam ilmu tareqat pada Syeikh Muda Waly, Abu Ibrahim Woyla kembali ke kampung halamannya, tapi tak lama setelah itu Abu Ibrahim Woyla mulai mengembara yang dimana keluarga sendiri tidak mengetahui kemana Abu Ibrahim Woyla pergi mengembara. Menurut riwayat dari Teungku Nasruddin (menantu Abu Ibrahim Woyla) semasa hidupnya Abu Ibrahim Woyla pernah menghilang dari keluarga selama tiga kali, Pertama, Abu Ibrahim Woyla menghilangkan diri selama 2 bulan, Kedua, Abu Ibrahim Woyla menghilang selama 2 tahun dan Ketiga, Abu Ibrahim Woyla menghilangkan diri selama 4 tahun yang tidak diketahui kemana perginya.
Dalam kali terakhir inilah Abu Ibrahim Woyla kembali pada keluarganya di Pasi Aceh, pihak keluarga tidak habis pikir pada perubahan yang terjadi pada Abu Ibrahim Woyla. Rambut dan jenggotnya sudah demikian panjang tak ter-urus, pakaiannya sudah compang camping dan kukunya panjang seadanya. mungkin bisa kita bayangkan seseorang yang menghilang selama 4 tahun dan tak sempat untuk mengurus dirinya. Begitulah kondisi Abu Ibrahim Woyla ketika kembali ke tengah keluarganya setelah 4 tahun menghilang, maka wajar bila secara duniawiyah dalam kondisi seperti itu sebagian masyarakat Woyla menganggap Abu Ibrahim Woyla sudah tidak waras lagi.
Abu Ibrahim Woyla oleh banyak orang dikenal sebagai ulama agak pendiam dan ini sudah menjadi bawaannya sewaktu kecil hingga masa tua. Beliau hanya berkomunikasi bila ada hal yang perlu untuk disampaikan sehingga banyak orang yang tidak berani bertanya terhadap hal-hal yang terkesan aneh bila dikerjakan Abu Ibrahim Woyla. Sikap Abu Ibrahim Woyla seperti itu sangat dirasakan oleh keluarganya, namun karena mereka sudah tau sifat dan pembawaannya demikian, keluarga hanya bisa pasrah terhadap pilihan jalan hidup yang ditempuh Abu Ibrahim Woyla yang terkadang sikap dan tindakannya tidak masuk akal. Tapi begitulah orang mengenal sosok Abu Ibrahim Woyla.
Abu Ibrahim Woyla memiliki dua orang isteri, isteri pertama bernama Rukiah, dari hasil pernikahan ini Abu Ibrahim Woyla dikaruniai 3 orang anak, seorang laki-laki dan 2 perempuan. yang laki-laki bernama Zulkifli dan yang perempuan bernama Salmiah dan Hayatun Nufus. Sementara pada isteri keduanya yang beliau nikahi di Peulantee, Aceh Barat, dua tahun sebelum beliau meninggal tidak dikaruniai anak.
Menurut cerita tatkala isteri pertamanya hamil 6 bulan untuk anak pertama yang dikandung Ummi Rukian, kondisi Abu Ibrahim Woyla saat itu seperti tidak stabil, sehingga beliau mengatakan pada isterinya “Saya mau belah perut kamu untuk melihat anak kita”, kata Abu Ibrahim Woyla pada isterinya yang pada saat itu membuat keluarganya tak habis pikir terhadap apa yang diucapkan Abu Ibrahim Woyla pada isterinya itu. Karena perkataan seperti itu dianggap perkataan yang sudah diluar akal sehat, maka keluarga dengan cemas menggatakan kita tidak tahu apa yang dimaksudkan oleh Abu Ibrahim Woyla yang meminta untuk membelah perut isterinya yang sedang mengandung 6 bulan. Meskipun begitu, perkataan yang pernah diucapkan itu tak pernah dilakukannya.
Pada tahun 1954 sebenarnya tahun yang sangat membahagiakan bagi pasangan suami-isteri karena pada tahun itu lahir anak pertama dari pasangan Abu Ibrahim Woyla dan Ummi Rukiah, akan tetapi kehadiran seorang pertama itu bagi Abu Ibrahim Woyla bukanlah sesuatu yang istimewa. Abu Ibrahim Woyla saat itu hanya pulang sebentar menjenguk anaknya yang baru lahir, kemudian beliau pergi kembali mengembara entah kemana. Ketika anak pertamanya yang diberi nama Salmiah sudah besar, menurut cerita Teungku Nasruddin barulah kondisi Abu Ibrahim Woyla kembali normal hidup bersama keluarganya. Dan saat itu Abu Ibrahim Woyla sempat membuka lahan perkebunan di Suwak Trieng untuk menjadi harta yang ditinggalkan untuk keluarganya di kemudian hari.
Pada saat itu kehidupan Abu Ibrahim Woyla bersama keluarganya sudah sangat harmonis hingga lahir anak kedua, Hayatun Nufus dan anaknya yang ketiga Zulkifli. Semua keluarganya sangat bersyukur karena Abu Ibrahim Woyla telah tinggal bersama keluarganya. Namun apa mau dikata, tak lama setelah lahir anaknya yang ketiga Abu Ibrahim Woyla kembali meninggalkan keluarganya dan entah kemana. Sehingga Ummi Rukiah tidak tahan lagi dengan ketidakpedulian Abu Ibrahim Woyla terhadap nafkah keluarganya, isterinya minta untuk pulang ke Blang Pidie daerah asalnya.
Alasan isterinya untuk pulang ke Blang Pidie memang tepat, karena menurutnya Abu Ibrahim Woyla tidak lagi peduli kepada keluarga, beliau hanya asyik berzikit sendiri dan pergi kemana beliau suka. akan tetapi, keinginan Ummii Rukian untuk kembali ke Blang Pidie tidak terwujud karena Allah mempersatukan Abu Ibrahim Woyla dan isterinya sampai akhir hayatnya.
Bila kita dengar kisah dan cerita tentang Abu Ibrahim Woyla semasa hidupnya tak ubah seperti kita membaca kisah para sufi dan ahli tashawwuf. Banyak sekali tindakan yang dikerjakan Abu Ibrahim Woyla semasa hidupnya yang terkadang tidak dapat diterima secara rasional, karena kejadian yang diperankannya termasuk di luar jangkauan akal pikiran manusia. Untuk mengenal prilaku Abu Ibrahim Woyla haruslah menggunakan pikiran alam lain sehingga menemukan jawaban apa yang dilakukan Abu Ibrahim Woyla itu benar adanya.
Alm. Abu Ibrahim Woyla berkunjung kesebuah tempat
Itulah keajaiban-keajaiban yang melekat pada sosook Abu Ibrahim Woyla, yang oleh sebagian ulama di Aceh menilai bahwa Abu Ibrahim Woyla adalah seorang ulama yang sudah mencapai tingkat Waliyullah (Wali Allah). hal itu diakui Teungku Nasruddin, memang banyak sekali laporan masyarakat yang diterima keluarga menceritakan seputar keajaiban kehidupan Abu Ibrahim Woyla. Hal ini terbukti semasa hidupnya Abu Ibrahim Woyla selalu mendatangi tempat-tempat dimana umat selalu dalam kesusahan, kegelisahan dan musibah beliau selalu ada di tengah-tengah masyarakat itu. Namun orang sulit memahami maksud dan tujuan Abu Ibrahim Woyla untuk apa beliau mendatangi tempat-tempat seperti itu, karena kedatangannya tidak membawa pesan atau amanah apapun bagi masyarakat yang didatanginya. Abu Ibrahim Woyla hanya datang berdoa di tempat-tempat yang ia datangi, tutur Teungku Nasruddin.
Dalam hal ini Ustadz (Teungku disingkat Tgk) Muhammad Kurdi Syam ( seorang warga Kayee Unoe, Calang yang sangat mengenal Abu Ibrahim Woyla menceritakan bahwa Abu Ibrahim Woyla kebetulan sedang berjalan kaki, beliau terkadang masuk ke sebuah rumah tertentu milik masyarakat yang dilawatinya, ia mengelilingi rumah tersebut sampai beberapa kali kemudian berhenti pas di halaman rumah itu dan menghadapkan dirinya ke arah rumah tersebut dengan berzikir LA ILAHA ILLALLAH yang tak berhenti keluar dari mulutnya, setelah itu Abu Ibrahim Woyla pergi meninggalkan rumah itu. TIdak ada yang tahu makna yang terkandung di balik semua itu, apakah agar penghuni rumah itu terhindar dari bahaya yang akan menimpa mereka atau mendoakan penghuni rumah itu agar dirahmati Allah ? Wallahu A’lam.
Menurut Tgk Nasruddin , dilihat dari kehidupannya, Abu Ibrahim Woyla sepertinya tidak lagi membutuhkan hal-hal yang bersifat duniawi, ia mencontohkan, kalau misalnya Abu Ibrahim Woyla memiliki uang, uang tersebut bisa habis dalam sekejap mata dibagikan kepada orang yang membutuhkan dan biasanya Abu Ibrahim Woyla membagikan uang itu kepada anak-anak dalam jumlah yang tidak diperhitungkan (sama seperti amalan Rasulullah). Begitulah kehidupan Abu Ibrahim Woyla dalam kehidupan sehari-hari.
Keajaiban lain yang membuat masyarakat tak habis pikir dan bertanya-tanya adalah soal kecepatan beliau melakukan perjalanan kaki yang ternyata lebih cepat dari kendaraan bermesin. Memang kebiasaan Abu Ibrahim Woyla kalau pergi kemana-mana selalu berjalan kaki tanpa menggunakan sendal. Bagi orang yang belum mengenalnya bisa beranggapan bahwa Abu Ibrahim Woyla sosok yang tidak normal. Karena disamping penampilannya yang tidak rapi, mulutnya terus komat kamit mengucapkan zikir sambil jalan. Tgk Muhammad Kurdi Syam menceritakan suatu ketika Abu Ibrahim Woyla sedang jalan kaki di Teunom menuju Meulaboh (perjalanan yang memakan waktu 1 sampai 2 jam dengan kendaraan bermotor), yang anehnya Abu Ibrahim Woyla ternyata duluan sampai di Meulaboh, padahal yang punya mobil tadi tahu bahwa tidak ada kendaraan lain yang mendahului mobilnya, kejadian ini bukan sekali dua kali terjadi, malah bagi masyarakat di pantai barat yang sudah mengganggap itulah kelebihan sosok ulama keramat Abu Ibrahim Woyla yang luar biasa tidak sanggup dinalar oleh pikiran orang biasa.
karena tak heran kalau Abu Ibrahim Woyla berada seperti di pasar, misalnya semua pedagang di pasar itu berharap agar Abu Ibrahim Woyla dapat singgah di toko mereka, karena mereka ingin mendapatkan berkah Allah melalui perantaran Abu Ibrahim Woyla. Namun tidak segampang itu karena Abu Ibrahim Woyla punya pilihan sendiri untuk mampir di suatu tempat. Seperti yang diceritakan Tgk Muhammad Kurdi Syam, suatu waktu Abu Ibrahim Woyla sedang berada di Lamno, Aceh Jaya. lalu bertemu dengan seseorang yang bernama Samsul Bahri yang sedang bekerja di Abah Awe, saat itu kebetulan Abu Ibrahim Woyla membawa dua potong lemang. Ketika mampir di situ Abu Ibrahim Woyla meminta sedikit air, setelah air itu diberikan Samsul lalu Abu Ibrahim Woyla memberikan dua potong lemang tersebut kepada Samsul tapi Samsul menolaknya karena menurut Samsul bahwa lemang tersebut adalah sedekah orang yang diberikan kepada Abu Ibrahim Woyla. karena tidak mau diterima Samsul, lemang itu dibuang Abu Ibrahim Woyla yang tak jauh dari tempat duduknya, spontan saja Samsul tercengang dengan tindakan Abu yang membuang lemang begitu saja, karena merasa bersalah lalu Samsul ingin mengambil lemang yang sudah dibuang tersebut, namun sayang, ketika mau diambil lemang itu hilang secara tiba-tiba.
Dalam kejadian lain, Tgk Nasruddin menceritakan suatu ketika (sebelum Tgk Nasruddin menjadi menantu Abu Ibrahim Woyla), tiba-tiba shubuh pagi Abu Ibrahim Woyla datang ke almamaternya ke Pesantren Syeikh Mahmud, kaki Abu Ibrahim Woyla kelihatan sedikit pincang sebelah kalau beliau berjalan. Kedatangan Abu Ibrahim Woyla disambut Tgk Nasruddin dan teman-teman sepengajian lainnya. Lalu Abu meminta sedikit nasi untuk sarapan pagi, “nasinya ada, tapi tidak ada lauk pauk apa-apa Abu” kata Tgk Nasruddin, “Nggak apa-apa, saya makan pakai telur saja, coba lihat dulu di dapur mungkin masih ada satu telur tersisi” jawab Abu Ibrahim Woyla, lalu Tgk Nasruddin menuju ke dapur, ternyata di tempat yang biasa ia simpan telur terdapat satu butir telur, padahal seingatnya tidak ada sisa telur lagi karena sudah habis dimakan.
Lantas sambil menyuguhkan Nasi kepada Abu Ibrahim Woyla, Tgk Nasruddin bertanya, “Kenapa dengan kaki Abu ?” Abu menjawab “saya baru pulang dari bukit Qaf (Mekkah), disana banyak sekali tokonya tapi tidak ada penjualnya. Namun kalau kita ingin membeli sesuatu kita harus membayar di mesin, kalau tidak kita bayar kita akan ditangkap polisi”, Abu meneruskan “setelah saya belanja di toko-toko itu lalu saya naik kereta api dan sangat cepat larinya, karena saya takut duduk dalam kereta api itu , maka saya lompat dan terjatuh hingga membuat kaki saya sedikit terkilir, makanya saya agak pincang, tapi sebentar lagi juga sembuh”
Kejadian serupa juga dialami oleh keluarga dekat Abu Ibrahim Woyla sendiri, suatu hari Abu mengunjungi salah seorang saudaranya untuk meminta sedikit nasi dengan lauk sambel udang belimbing, lalu tuan rumah itu mengatakan pada isterinya untuk menyiapkan nasi dengan sambel udang belimbing untuk Abu Ibrahim Woyla, tapi isterinya memberi tahu bahwa pohon belimbingnya tidak lagi berbuah, “baru kemarin sore saya lihat pohon belimbingnya lagi tidak ada buahnya” kata sang isteri pada suaminya. Tapi suaminya terus mendesak isterinya “coba kamu lihat dulu, kadang ada barang dua tiga buah sudah cukup untuk makan Abu” katanya.lalu isterinya pergi ke pohon belakang rumah, ternyata belimbing itu memang didapatkan tak lebih dari tiga buah di pohon yang kemarin sore dilihatnya.
Demikian pula ketika hendak melangsungkan pernikahan anak pertama Abu Ibrahim Woyla, yaitu Salmiah, msyarakat di kampung melihat sepertinya Abu Ibrahim Woyla tidak peduli terhadap acara pernikahan anaknya. padahal acara pernikahan itu akan berlangsung beberapa hari lagi, tapi Abu Ibrahim Woyla tidak menyiapkan apa-apa untuk menghadapi acara pernikahan anaknya itu, bahkan uang pun tidak beliau kasih pada keluarga untuk kebutuhan acara tersebut. Namun ajaibnya pada hari “H” (hari pernikahan berlangsung) ternyata acara pernikahan anaknya berlangsung lebih besar dari pesta-pesta pernikahan orang lain yang jauh-jauh hari telah mempersiapkan segala sesuatunya.
Begitulah sebagian dari perjalanan riwayat hidup seorang ulama dan aulia Abu Ibrahim Woyla yang sulit dicari penggantinya di Aceh sekarang ini. Beliau berpulang ke Rahmatullah pada hari sabtu pukul 16.00 WIB tanggal 18 Juli 2009 di rumah anaknya di Pasi Aceh Kecamatan Woyla Induk, Kabupaten Aceh Barat dalam usia 90 tahun. Tim Majalah Santri Dayah pernah berziarah ke makan beliau pada pertengahan tahun 2012, melihat makan yang dijaga oleh anak tertuanya, banyak sekali diziarahi oleh masyarakat. Namun pihak keluarga sangat hati-hati dan berpesan pada penziarah agar makan Abu Ibrahim Woyla tidak dijadikan tempat pemujaan (yang membawaki kepada syirik). [TZ]

Sejarah Teungku Chik Di Awe Geutah

Rumoh Tgk. Chik Di Awe Geutah, Peusangan Siblah Krueng.

Di Desa Awe Geutah, Kecamatan Peusangan Siblah Krueng, Kabupaten Bireuen, ada rumah adat asli Aceh yang masih berdiri kokoh walau usianya sudah ratusan tahun lamanya. Namun, dibalik itu banyak yang tidak mengetahui riwayat tentang pendirinya, Teungku Chik Awe Geutah, seorang ulama yang sangat berperan dalam mengembangkan agama Islam di Aceh.

Sayangnya jasa-jasa Teungku Awe Geutah seperti terlupakan. Belum ada sejarawan yang menulis riwayat tentang ulama Sufi itu. Kebanyakan mereka hanya datang untuk melihat pesona Rumoh Aceh yang masih terpelihara keasliannya sampai kini. Tanpa ada yang mau peduli untuk mengabadikannya untuk kita kenang sepanjang masa. Sehingga dikhawatirkan sejarah tentang tokoh ulama besar Aceh tersebut akan punah ditelan masa.

Pihak keluarga Teungku Chik Awe Geutah sendiri sudah banyak yang tidak mengetahui lagi secara mendetail tentang riwayat ulama yang dikenal keramat itu. Makanya untuk menulis kisah tentang Teungku Chik Awe Geutah sangat sulit. Sebab, tidak ada literatur atau referensi sebagai pedoman untuk menguatkan kebenaran penulisan sejarahnya itu.

Untunglah ada seorang peminat sejarah, khususnya tentang riwayat Teungku Chik Awe Geutah, yang masih tersisa di sana. Namanya Teungku Syamaun Cut alias Cut Teumeureuhom. Sebenarnya dia bukan bukan keturunan Teungku Chik Awe Geutah. Tapi kakeknya dulu pernah tinggal bersama anggota keluarga keturunan Teungku Chik Awe Geutah.

Dari cerita-cerita kakeknya itulah dia banyak mengetahui sejarah Teungku Chik Awe Geutah. Malah buruh kilang padi itu punya dokumentasi khusus, dan mengetahui silsilah Teungku Chik Awe Geutah sampai tujuh keturunan hingga saat ini. Nah, tulisan ini berdasarkan penuturannya kepada saya beberapa waktu lalu di bawah rumah Aceh tersebut. Keterangan laki-laki berusia 70 tahun itu, juga dibenarkan beberapa anggota keluarga keturunan Teungku Chik Awe Geutah yang mendampingi kami ketika itu.

Dikisahkan Cut Teumeuruhom, Teungku Chik Awe Geutah bernama asli Abdul Rahim bin Muhammad Saleh. Dia seorang ulama Sufi, yang berasal dari Kan’an, Iraq. Kemudian merantau dan menetap di Desa Awe Geutah, sampai dia meninggal di sana. Namun tidak diketahui persisnya tahun berapa dia pertama kali menginjakkan kaki di desa pedalaman Kecamatan Peusangan Siblah Krueng itu. Di batu nisannya pun tidak tertera tahun meninggal ulama besar tersebut.

Perjalanannya mencari Awe Geutah sebagai tempat menetap, sekaligus mengembangkan agama Islam yang aman dan damai, punya kisah tersendiri. Syahdan sekitar abad ke 13 yang lampau, Abdul Rahim bin Muhammad Saleh sekeluarga, serta tiga pria saudara kandungnya, dan sejumlah pengikutnya melakukan hijrah.

Mereka meninggalkan tanah kelahirannya.Sebab, waktu itu ada pertentangan antar pemeluk agama Islam di sana, meyangkut perbedaan khilafiyah. Untuk menghindari perselisihan yang bisa berakibat perpecahan antar pemeluk agama Islam itulah Abdul Rahim bersama keluarga dan para pengikutnya berinisiatif melakukan hijrah ke tempat lain.

Pencarian untuk mendapatkan negeri yang aman dan tenteram itu, membuat mereka harus menyingggahi beberapa tempat. Pertama Abdul Rahim beserta rombongan mendarat di kepulauan Nicobar dan Andaman di Samudera Hindia. Kemudian singgah di pulau Weh. Lalu ke pulau Sumatera, yang waktu itu mereka menyebutnya pulau Ruja. Di pulau tersebut mereka menetap beberapa saat di Gampong Lamkabeu, Aceh Besar.

Merasa belum menemukan tempat yang cocok sebagai tempat menetap, lalu mereka melanjutkan lagi pelayaran. Namun seorang saudara kandung Abdul Rahim tidak mau lagi melanjutkan perjalanan. Namanya tidak diketahui persis. Dia saat itu sudah memantapkan pilihan hatinya untuk bertahan di sana. Konon kabarnya dia kemudian menetap di Tanoh Abee. Di sana dia membangun tempat pengajian. Kelak dia lebih dikenal dengan nama Teungku Chik Tanoh Abee.

Sedangkan pengikut rombongan Abdul Rahim kemudian melanjutkan pengembaraannya. Rombongan tersebut akhirnya mendarat di Kuala Jangka (Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen-red). Sebab, mereka melihatdi situ banyak pelayar yang singgah. Di sana mereka mendapati beberapa toke dari India yang melakukan transaksi penjualan pinang di Kuala Jangka. Salah satunya bernama Cende. Dia mengaku kepada Abdul Rahim, sudah sering pulang-pergi ke Kuala Jangka. Waktu itu Kuala Jangka sudah menjadi pelabuhan yang maju, dan disinggahi para pedagang dari berbagai negara.

Rombongan Abdul Rahim kemudian menetap di Asan Bideun (Sekarang Desa Asan Bideun, Kecamatan Jangka-red). Mereka tinggal beberapa waktu dan mendirikan balai pengajian untuk mengembangkan dan mengajarkan ilmu agama Islam kepada penduduk di sana. Suatu hari Abdul Rahim melihat beberapa perempuan setempat, termasuk istrinya, yang kemudian dikenal dengan nama Teungku Itam, pulang mencuci di sungai dengan berkemben (memakai kain yang menampakkan bagian dada atas). Melihat pemandangan yang tidak biasanya itu, Abdul Rahim punya firasat lain. Dia berkesimpulan, Asan Bideun bukanlah tempat yang cocok sebagai tempat mereka menetap. Negeri itu sudah laklim.

Lalu mereka sepakat pindah ke tempat lain. Kali ini rombongan terpecahb lagi, mereka terbagi tiga kelompok. Satu kelompok yang dipimpin adiknya Abdul Rahim menuju Paya Rabo dan menetap di sana (Sekarang Desa Paya rabo masuk wilayah Kecamatan Sawang, Kabupaten Aceh Utara). Kelompok yang dipimpin adiknya yang lain pergi dan menetap di Pulo Iboh (Sekarang masuk wilayah Kecamatan Jangka).

Sedangkan satu kelompok lagi yang dipimpin Abdul Rahim sendiri hijrah ke Keudee Asan (Sekarang masuk wilayah Kecamatan Peusangan Selatan). Di sana rombongan tersebut sempat menetap beberapa waktu, dan mengadakan pengajian bagi penduduk setempat.

Namun setelah sekian lama menetap di Keudee Asan, dia merasa tempat itu belum cocok untuk dijadikan tempat menetap yang benar-benar sesuai keinginannya. Untuk itulah Abdul Rahim melaksanakan shalat istikharah empat malam berturut-turut, untuk memohon petunjuk dari Allah, dan harus naik ke atas bukit menghadap empat arah penjuru mata angin.

Malam pertama setelah Abdul Rahim melaksanakan shalat istikharah tengah malam, dia naik ke sebuah bukit yang cukup tinggi, namanya Gle Sibru (Sekarang masuk wilayah Desa Cibrek, Kecamatan Peusangan Selatan). Di atas bukit itu Abdul Rahim berdiri menghadap ke arah selatan. Agak lama juga dia menatap ke sana, namun tidak tampak apa-apa. Yang terlihat hanya pucuk labu. Konon kabarnya, pucuk labu yang dilihat Abdul Rahim itu adalah Desa Geulanggang Labu, Kecamatan Peusangan Selatan sekarang.

Malam kedua, setelah shalat istikharah, Abdul Rahim naik lagi ke atas bukit tersebut. Kali ini dia menghadap ke arah barat, tapi dia tidak melihat apapun. Malam berikutnya dia juga melakukan hal yang sama, dengan menghadap ke arah utara. Hasilnya tetap nihil, tidak mendapatkan petunjuk apa-apa.

Baru pada malam keempat Abdul Rahim mendapatkan hasilnya. Ketika dia menghadap ke arah timur, pandangan matanya terlihat sesuatu. Seberkas cahaya putih bersih dia lihat menyembul di sana. Abdul Rahim berkeyakinan, di daerah sembulan kilauan cahaya itulah tempat yang aman dan damai sebagai tempat tinggal yang permanen.

Maka keesokan harinya mereka langsung berangkat menuju ke daerah asal cahaya tadi. Singkat cerita, sesuai petunjuk Abdul Rahim yang memimpin perjalanan, tibalah mereka di sebuah tempat yang diyakininya sebagai daerah asal cahaya itu.

Saat itu, di sana masih berhutan belantara. Kemudian hutan-hutan itu mereka tebang dan bersihkan untuk dijadikan perkampungan. Suatu hari sambil melepas lelah, setelah capek bergotong-royong, Abdul Rahim menanyakan pada rekan-rekannya, apa nama yang cocok ditabalkan untuk tempat pemukiman baru itu. Ada beberapa nama yang diusulkan mereka, tapi dirasakan tidak ada yang cocok.

Seorang di antara mereka, sambil duduk-duduk membersihkan getah rotan yang lengket di tangannya, mengusulkan sebuah nama. “Untuk apa capek-capek memikirkan nama. Bagaimana kalau kita namai saja Awe Geutah?” tanya orang itu. Usulan itu pun diterima Abdul Rahim dan rekan-rekan mereka yang lain. Nah, sejak saat itulah tempat pemukiman baru mereka itu dinamakan Awe Geutah.

***