Rabu, 13 Februari 2013

Biografi Syaikh Abdul Aziz bin Shaleh (Abon Samalanga)

Syekh Abdul Aziz bin Shaleh (Abon Samalanga) - siapa yang gak kenal dengan syaikh abdul Aziz samalanga, yang merupakan salah satu murid kesayangan Syaikh Muda Waly al-Khalidy. Ditangan beliaulah dayah (pesantren) Mudi Mesjid Raya samalanga sedikit demi sedikit berkembang, sehingga mencapai masa keemasannya ditangan syaikh Hasanoel Bashry Hg sekarang. Dalam postingan kita akan menelusuri lebih jauh tentang biografi syaikh Abdul Aziz (Abon Samalanga) dengan lebih detail.

Almarhum Tgk Abdul Aziz Bin M Shaleh (Abon Samalanga), merupakan tokoh yang cukup berpengaruh bagi masyarakat Aceh. Salah satu perannya adalah sebagai pimpinan Dayah Ma’hadal Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Raya (MUDI Mesjid Raya) Samalanga, kabupaten Bireuen, sehingga mencapai kemajuan yang amat pesat.

Pimpinan MUDI Mesjid Raya yang baru mengembangkan pendidikan dayah menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) tanpa meninggalkan pola asal pendidikan dayah yang kini memiliki santri sekitar 3.000-an.
Biografi Syaikh Abdul Aziz bin Shaleh (Abon Samalanga)
Majunya LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga tidak terlepas dari peran kepemimpinan Tgk. H. Abdul Aziz Bin M. Shaleh. Beliau adalah salah seorang ulama kharismatik Aceh yang sering disapa dengan sebutan Abon Samalanga atau lebih dikenal dengan panggilan Abon ‘Aziz Samalanga atau Abon Mesjid Raya Samalanga. Beliau lahir di desa kandang kecamatan Samalanga Kabupaten Aceh Utara (Kini-Kabupaten Bireuen) pada bulan ramadhan tahun 1351 H/1930 M.

Abon diasuh dan dibesarkan di Jeunieb bersama kedua orang tuanya, ayahandanya pernah menjabat kepala kantor Agama (KUA) Jeuniub dan juga merupakan salah seorang pendiri Dayah ‘Atiq Jeuniub, sehingga Abon dari masa kecilnya sudah mulai belajar ilmu pendidikan agama di dayah tersebut dan Abon pada waktu itu tinggal di Jeunieb.

Ketika usia Abon telah matang, Abon menikahi seorang gadis di desa Mideun Jok Samalanga yang merupakan putri dari gurunya sendiri yaitu pimpinan Lembaga Pendidikan Islam (LPI) Ma’hadal Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Raya (MUDI Mesjid Raya) Samalanga pada waktu itu sehingga Abon dikaruniai 4 orang anak :

Putra putri Syaikh Abdul Aziz bin Shaleh (Abon Samalanga)

  1. Alm. Hj. Suaibah
  2. hj Shalihah
  3. Tgk H Thaillah
  4. Hj Masyitah.
Abon mulai belajar pada pendidikan formal pada tahun 1937 di sebuah sekolah Rakyat (SR) dan menamatkan pendidikan dasarnya pada tahun 1944. Dari tahun 1944 beliau belajar pada orang tuanya selama 2 tahun, kemudian pada tahun 1946 beliau pindah belajar ke dayah LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga yang pada waktu itu dipimpin oleh Tgk Haji Hanafiah (Tengku Abi) lebih kurang selama 2 tahun.

Pada tahun 1948 Abon melanjutkan pendidikannya ke dayah yang dipimpin oleh Teungku Ben (Teungku Tanjongan) di Matangkuli Kabupaten Aceh Utara. Di dayah ini Abon belajar pada tengku Idris Tanjongan sampai dengan tahun 1949 dan pada tahun tersebut beliau kembali ke dayah LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga untuk mengabdikan diri menjadi guru di dayah tersebut.

Setelah abon mengabdi menjadi guru, beberapa tahun kemudian, tepatnya 1951 Abon melanjutkan pendidikannya ke Dayah Darussalam Labuhan Haji Kabupaten Aceh Selatan yang dipimpin oleh Alm. Teungku Syeikh Muhammad Wali Al-Khalidi yang lebih di kenal dengan panggilan Abuya Mudawali.

Abon Samalanga belajar di Dayah Darusalam lebih kurang selama tujuh tahun, dan pada pada tahun 1958 Abon kembali lagi ke Dayah LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga untuk mengembangkan ilmunya. Pada tahun tersebut pimpinan Dayah LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga meninggal dunia, sehingga Abon diangkat menjadi pimpinan Dayah tersebut.

Abon Aziz Samalanga memulai karirnya sebagai pimpinan dayah mulai dari tahun 1958 sampai dengan tahun 1989. Semenjak dayah LPI MUDI Mesjid Raya berada dibawah pimpinannya, banyak perubahan terjadi didalamnya, terutama menyangkut tentang kurikulum pendidikan yang semula tidak terlalu fokus pada ilmu-ilmu alat (bantu) ilmu manthiq, ushul, bayan, ma’ani dan lain-lain.

Akan tetapi kurikulum pendidikan yang lebih menonjol pada masa kepemimpinannya adalah dalam bidang ilmu manthiq sehingga Abon di gelar dengan Al-manthiqi.

Abon sangat disiplin dan punya semangat yang luar biasa dalam mengajar, sehingga kadang-kadang dalam keadaan sakit beliau merasa sehat untuk mengajar, dan selalu mengamanahkan kepada murid-muridnya untuk belajar-mengajar (beut-seumubeut). Dalam pengajarannya, Abon sangat membenci faham wahabiyah sehingga beliau tidak pernah bosan dalam mengurai kesesatan faham tersebut.

Kemajuan MUDI Mesjid Raya

Kemajuan MUDI Mesjid Raya - Pada masa kepemimpinan Abon, kemajuan dayah MUDI Mesra semakin meningkat pesat, jumlah santri dari ratusan menjadi ribuan, bangunan fisik dayah pun juga berkembang sesuai dengan perkembangan zaman yang terus maju. Selain dari aktifitas Abon di dayah, Abon juga membuka pengajian mingguan di Jeunieb (lebih dikenal dengan Balee Hameh) setiap seminggu sekali.

Di samping aktivitas dakwah melalui majelis pengajian, Abon juga ikut pembangunan fisik, seperti membangun jalan ke kebun di Desa Gle Mendong Samalanga dan menggarap sawah yang telah terlantar bertahun-tahun bersama-sama dengan murid-muridnya serta membantu masyarakat sekitar. Semuanya, ia lakukan untuk hidupnya perekonomian masyarakat.
Kemajuan MUDI Mesjid Raya
Abon juga pernah memberi dukungan kepada partai politik, yaitu partai PERTI, Abon memilih partai tersebut karena di latar belakangi atas faham ahlussunnah waljama’ah.

Ada satu pesan yang sangat sering diamanahkan kepada murid-muridnya yaitu belajar-mengajar (beut-seumubeut) dimana pun berada dan dalam kondisi bagaimana pun ketika telah pulang dari dayah nantinya, walaupun dengan sebuah balai di depan rumahnya. Pesan tersebut telah menjiwai dalam pemikiran murid-murid beliau, sehingga sekarang ini dapat terlihat dengan banyaknya dayah dan balai pengajian yang dipimpin oleh alumni Pesantren LPI MUDI Mesjid Raya.

Akhirnya, Abon dipanggil kembali kehadharat-Nya pada tanggal 9 Jumadil Akhir 1409/17 Januari 1989 dengan tutup usia 58 tahun di Samalanga, dan jasad beliau dikebumikan di komplek putra dayah LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga Kabupaten Bireuen.

Semoga Allah memberi pengampunan kepada beliau, menempatkan beliau dalam satu kebun daripada kebun syurga sesuai dengan amal baik yang telah beliau lakukan. Amiin !!

(copi paste dari tgk boy)
 

Home » Biografi , Ulama » Biografi KH Hasyim Asy'ari | Pendiri Nahdlatul Ulama NU Biografi KH Hasyim Asy'ari | Pendiri Nahdlatul Ulama NU

Biografi KH Hasyim Asy'ari | Pendiri Nahdlatul Ulama NU - Kenalkah anda dengan seorang Kiyai dari jawa yang kemudian menjadi seorang pendiri nahdlatul ulama di tanah air. Salah satu organisasi Muslim terbesar dalam bingkai Ahlussunah waljamaah. Beliau adalah Kh Hasyim Asya'ari, kali ini kita akan mengupas tentang biografi KH Hasyim Asy'ari sang founder of NU.
Biografi KH Hasyim Asy'ari pendiri NU
KH Mohammad Hasyim Asy'ari, atau biasa disebut KH Hasyim Ashari beliau dilahirkan pada tanggal 10 April 1875 atau menurut penanggalan arab pada tanggal 24 Dzulqaidah 1287H di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur dan beliau kemudian tutup usia pada tanggal 25 Juli 1947 yang kemudian dikebumikan di Tebu Ireng, Jombang, KH Hasyim Asy'ari merupakan pendiri Nahdlatul Ulama yaitu sebuah organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia. KH Hasyim Asyari merupakan putra dari pasangan Kyai Asyari dan Halimah, Ayahnya Kyai Ashari merupakan seorang pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. KH Hasyim Ashari merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis keturunan ibunya, KH Hasyim Ashari merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang). dari Ayah dan Ibunya KH Hasyim Ashari mendapat pendidikan dan nilai-nilai dasar Islam yang kokoh.

Biografi KH Hasyim Asy'ari

Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan KH Hasyim Ashari memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan Kyai Cholil.

KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo. Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kyai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun– Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kyai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal. Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi.

Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Kyai Hasyim bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.
Biografi KH Hasyim Asy'ari pendiri NU
Tahun 1899, Kyai Hasyim Asy'ari membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal. Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kyai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.

Setelah dua tahun membangun Tebuireng, Kyai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang menggembirakan. Kyai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf. Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.

Pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kyai dari Madura ini populer dipanggil. Kyai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.” Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.

Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya. Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kyai Hasyim juga Kyai Cholil; adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita. Mbah Cholil adalah Kyai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.

Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam. Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kyai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kyai Hasyim. Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar) kepada Kyai Hasyim.

Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.

Namun sempat juga Kyai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kyai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu. Masa awal perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda. Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas.

Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan. Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum. Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an. Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang.

Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim. Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kyai Hasyim menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang. Kyai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya.
Biografi KH Hasyim Asy'ari | Pendiri Nahdlatul Ulama NU
Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan. Setelah penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.

Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim juga berkat usaha dari Kyai Wahid Hasyim dan Kyai Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta. Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut.

Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional. Pada tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947. Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kyai Hasyim.

Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syaikh Mahfudh At Tarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syaikh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syaikh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru. Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim tentu saja. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam.

Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan keempat, mempertahankan Islam. Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Syaikh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syaikh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab.

Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier. Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat. Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan.

Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah. Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz.

Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kyai Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama. Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada 1937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kyai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia. Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan Nasional.

Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid hadratus Syaikh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik. Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Salafi-Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap bid’ah. Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis seperti Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang menghormati keberagaman, menolak dengan alasan itu adalah pembatasan madzhab dan penghancuran warisan peradaban itu. Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Kyai Hasyim bersama para pengasuh pesantren lainnya, membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH. Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya.

Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia atas rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.

Mendirikan Nahdlatul Ulama (NU)

Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat istikharah, menohon petunjuk dari Allah. Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum datang juga. Kyai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan. Sementara nun jauh di Bangkalan sana, Kyai Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kyai Hasyim. Kyai Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tasbih kepada Kyai Hasyim di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada Kyai Hasyim.

Ketika Kyai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata. Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kyai Hasyim masih menunggu kemantapan hati. Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang menemui Hadratus Syaikh. ”Kyai, saya diutus oleh Kyai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda Asad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kyai Kholil di lehernya. Tangan As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah Kyai, maka yang boleh melepasnya juga harus Kyai”.

Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru. ”Kyai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad. Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kyai Hasyim semakin mantap. Hadratus Syaikh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui salat istikharah. Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kyai Kholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu. Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut secara resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. Kyai Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia.

Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam dunia Islam terdapat pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima praktek tarekat. Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern. Dengan ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Semangat Abduh juga mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di Mekkah.

Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun 1912). Kyai Hasyim pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri dari keterikatan madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al Quran atau Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang tegas dari Kyai Hasyim ini memperoleh dukungan para Kyai di seluruh tanah Jawa dan Madura. Kyai Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para Kyai, berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini. Pada saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kyai Hasyim dengan putranya Kyai Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode tahun 1937-1942).

Referensi:

- http://fimadani.com/
- http://masphi.blogspot.com/
- http://biografi-info.blogspot.com/

- http://tgkboy.blogspot.com/

Jumat, 08 Februari 2013

Biografi Syekh Nawawi bin Umar Al-bantani Al-jawi

(copi paste dari http://tgkboyblogspot.com)

Biografi Syekh Nawawi bin Umar Al-bantani Al-jawi - Syaikh Nawawi al-Bantani seorang ulama terkemuka asal indonesia. Anda mungkin pernah membaca kitab beliau seperti muraqi al-'Ubudiyyah yang merupakan syarah dari kitab Imam al-Ghazali. Kitab tersebut adalah salah satu hasil karya beliau. Dan masih banyak lagi kitab-kitab beliau lainnya yang hari ini menjadi kurikulum dan maddah pelajaran, terutama dipondok-pondok pesantren.
Biografi Syekh Nawawi bin Umar Al-bantani
Disini kita akan melihat bagaimana Biografi Syekh Nawawi al-Bantani dan perjalanan hidup beliau dalam menuntut ilmu agama. Semoga bisa menjadi inspirasi bagi kita semuanya.

Nama lengkapnya adalah Abu Abdul Mu’ti Muhammad bin Umar bin Arbi bin Ali Al-Tanara Al-Jawi Al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Bantani. Dilahirkan di kampung Tanara, kecamatan Tirtayasa, kabupaten Serang, Banten. Pada tahun 1813 M atau 1230 H. Ayahnya bernama Kyai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin masjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke 12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari Putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bernama Sunyara-ras (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Muhammad melalui Imam Ja’far Assidiq, Imam Muhammad Al-Baqir, Imam Ali ZainAl-Abidin, Sayyidina Husain, Fatimah Al-Zahra


Perjalanan Intelektual Sang Pujangga Sejati

Pada usia lima tahun Syekh Nawawi belajar langsung dibawah asuhan ayahandanya. Di usia yang masih kanak-kanak ini, beliau pernah bermimpi ber-main dengan anak-anak sebayanya di sungai, karena merasakan haus ia meminum air sungai tersebut sampai habis. Namun, rasa dahaganya tak kunjung surut. Maka Nawawi bersama teman-temannya beramai-ramai pergi ke laut dan air lautpun diminumnya seorang diri hingga mengering.

Ketika usianya memasuki delapan tahun, anak pertama dari tujuh bersaudara itu memulai peng-gembaraannya mencari ilmu. Tempat pertama yang dituju adalah Jawa Timur. Namun sebelum berangkat, Nawawi kecil harus menyanggupi syarat yang diajukan oleh ibunya, “Kudo’akan dan kurestui kepergianmu mengaji dengan syarat jangan pulang sebelum kelapa yang sengaja kutanam ini berbuah.” Demikian restu dan syarat sang ibu. Dan Nawawi kecilpun menyanggupi-nya.

Maka berangkatlah Nawawi kecil menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim yaitu menuntut ilmu. Setelah tiga tahun di Jawa Timur, beliau pindah ke salah satu pondok di daerah Cikampek (Jawa Barat) khusus belajar lughat (bahasa) beserta dengan dua orang sahabatnya dari Jawa Timur. Namun, sebelum diterima di pondok baru tersebut, mereka harus mengikuti tes terlebih dahulu. Ternyata mereka ber-tiga dinyatakan lulus. Tetapi menurut kyai barunya ini, pemuda yang bernama Nawawi tidak perlu mengu-langi mondok. “Nawawi kamu harus segera pulang karena ibumu sudah menunggu dan pohon kelapa yang beliau tanam sudah berbuah.” Terang sang kyai tanpa memberitahu dari mana beliau tahu masalah itu.

Tidak lama setelah kepulangannya, Nawawi muda dipercaya yang mengasuh pondok yang telah dirintis ayahnya. Di usianya yang masih relatif muda, beliau sudah tampak kealimannya sehingga namanya mulai terkenal di mana-mana. Mengingat semakin banyaknya santri baru yang berdatangan dan asrama yang tersedia tidak lagi mampu menampung, maka kyai Nawawi berinisiatif pindah ke daerah Tanara Pesisir.
Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan un-tuk pergi ke Makkah menunaikan ibadah haji. Disana ia memanfaatkan waktunya untuk mempelajari bebe-rapa cabang ilmu, diantaranya adalah: ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadits, tafsir dan ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Makkah ia kembali ke daerahnya tahun 1833 M dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk mem-bantu ayahnya mengajar para santri.

Biografi Syekh Nawawi bin Umar Al-bantani
Namun hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat lagi ke Makkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana. Di Makkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal. Pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syekh Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani Bima, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayyid Ahmad Dimyati, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan2 yang keduanya di Makkah. Sedang di Madinah, ia belajar pada Syekh Muhammad Khatib Al-Hambali. Kemudian pada tahun 1860 M. Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid Al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup me-muaskan, karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai syekh disana. Pada tahun 1870 M, kesibukannya bertambah, karena ia harus banyak menulis kitab. Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya dan para sahabatnya dari Jawa. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan menulis syarh selain karena permin-taan orang lain, Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering meng-alami perubahan (ta’rif) dan pengurangan.

Dalam menyusun karyanya Syekh Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Karya-karya beliau cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia karena karya-karya beliau mudah difahami dan padat isinya. Nama Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H./19 M. Karena kemasyhurannya beliau mendapat gelar: Sayyid Ulama Al-Hijaz, Al-Imam Al-Muhaqqiq wa Al-Fahhamah Al-Mudaqqiq, A’yan Ulama Al-Qarn Al-Ram Asyar li Al-Hijrah, Imam Ulama’ Al-Haramain.

Syekh Nawawi cukup sukses dalam mengajar murid-muridnya, sehingga anak didiknya banyak yang menjadi ulama kenamaan dan tokoh-tokoh nasional Islam Indonesia, diantaranya adalah: Syekh Kholil Bangkalan, Madura, KH. Hasyim Asy’ari dari Tebu Ireng Jombang (Pendiri Organisasi NU), KH. Asy’ari dari Bawean, KH. Tubagus Muhammad Asnawi dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten, KH. Tubagus Bakri dari Sempur-Purwakarta, KH. Abdul Karim dari Banten.

Syaikh Nawawi Banten Sebagai Mahaguru Sejati

Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan kebanyakan orang menjulukinya sebagai Imam Nawawi kedua. Imam Nawawi pertama adalah yang membuat Syarah Shahih Muslim, Majmu’ Syarhul Muhadzab, Riyadhus Sholihin dan lain-lain. Melalui karya-karyanya yang tersebar di Pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama kyai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejuk-kan. Di setiap majelis ta’lim karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu, dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya sangat terkenal.

Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tapi juga mahaguru sejati (the great scholar). Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Apabila KH. Hasyim Asy’ari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini, seringkali KH. Hasyim Asy’ari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan air mata karena besarnya kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi.

GORESAN TINTA SYEKH NAWAWI

Di samping digunakan untuk mengajar kepada para muridnya, seluruh kehidupan beliau banyak dicurahkan untuk mengarang beberapa kitab besar sehingga tak terhitung jumlahnya. Konon saat ini masih terdapat ratusan judul naskah asli tulisan tangan Syekh Nawawi yang belum sempat diterbitkan.

Kitab-kitab karangan beliau banyak yang di-terbitkan di Mesir, seringkali beliau hanya mengirim-kan manuskripnya dan setelah itu tidak memperduli-kan lagi bagaimana penerbit menyebarkan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya, selanjutnya kitab-kitab beliau itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand dan juga negara-negara di Timur Tengah. Menurut Ray Salam T. Mangondana, peneliti di Institut Studi Islam, Universitas of Philippines, ada sekitar 40 sekolah agama tradisional di Filipina yang menggunakan karya Nawawi sebagai kurikulum belajarnya. Selain itu Sulaiman Yasin, dosen di Fakultas Studi Islam Universitas Kebangsaan di Malaysia juga menggunakan karya beliau untuk mengajar di kuliahnya. Pada tahun 1870 para ulama universitas Al-Azhar Mesir pernah mengundang beliau untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiah. Mereka tertarik untuk mengundang beliau, karena sudah dikenal di seantero dunia.

Karya-Karya Syaikh Nawawi al-Bantani

  1. Muraqah As-Su’ud At-Tashdiq; komentar dari kitab Sulam At-Taufiq.
  2. Nihayatuz Zain; komentar dari kitab Qurratul ‘Ain.
  3. Tausiyah ‘Ala Ibn Qasim; komentar dari kitab Fathul Qarib.
  4. Tijan Ad-Durari; komentar dari kitab Risalatul Baijuri.
  5. Tafsir Al-Munir; yang dinamai Marahi Labidi Li Kasyfi Ma’ani Al-Qur’an Al-Majid.
  6. Sulamul Munajat; komentar dari kitab Safinatus Sholat.
  7. Nurudz Dzalam; komentar dari kitab Aqidatul Awam.
  8. Kasyfatus Saja; komentar dari kitab Safinah An-Naja.
  9. Muraqil Ubudiyyah; komentar dari kitab Bidayatul Hidayah.
  10. Uqudul Lujjain fi Bayaniz Zaujain; sebuah kitab yang berisikan tuntutan membangun rumah tangga.
  11. Bahjatul Wasa’il; komentar dari kitab Risalatul Jami’ah.
  12. Madarij as-Shu’ud; komentar dari kitab Maulid Barjanzi.
  13. Salalimul Fudlala’; yang dinilai dengan, Hidayatul Adzkiya.
  14. Ats-Tsamarul Yani’ah; komentar dari kitab Riyadhul Badi’ah.
  15. Nashailul ‘Ibad; kitab yang berisi nasehat-nasehat para ahli ibadah.
Syaikh Nawawi menghembuskan nafas terakhir di usia 84 tahun, tepatnya pada tanggal 25 Syawal 1314 H. atau 1897 M. Beliau dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Rasulullah SAW. Beliau sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at terakhir bulan Syawal selalu diadakan acara haul untuk memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.

Karamah-Karamah Syaikh Nawawi al-Bantani

  • Pada suatu malam Syekh Nawawi sedang dalam perjalanan dari Makkah ke Madinah. Beliau duduk di atas ‘sekedup’ onta atau tempat duduk yang berada di punggung onta. Dalam perjalanan di malam hari yang gelap gulita ini, beliau mendapat inspirasi untuk menulis dan jika insipirasinya tidak segera diwujudkan maka akan segera hilang dari ingatan, maka berdo’alah ulama ‘alim allamah ini, “Ya Allah, jika insipirasi yang Engkau berikan malam ini akan bermanfaat bagi umat dan Engkau ridhai, maka ciptakanlah telunjuk jariku ini menjadi lampu yang dapat menerangi tempatku dalam sekedup ini, sehingga oleh kekuasaan-Mu akan dapat menulis inspirasiku.” Ajaib! Dengan kekuasaan-Nya, seketika itu pula telunjuk Syekh Nawawi menyala, menerangi ‘sekedup’nya. Mulailah beliau menulis hingga selesai dan telunjuk jarinya itu kembali padam setelah beliau menjelaskan semua penulisan hingga titik akhir. Konon, kitab tersebut adalah kitab Maroqil Ubudiyah, komentar kitab Bidayatul Hidayah karangan Imam Al-Ghazali.
  • Ketika tempat kubur Syekh Nawawi akan dibongkar oleh Pemerintah untuk dipindahkan tulang belulangnya dan liang lahatnya akan ditum-puki jenazah lain (sebagaimana lazim di Ma’la) meskipun yang berada di kubur itu seorang raja sekalipun. Saat itulah para petugas mengurungkan niatnya, sebab jenazah Syekh Nawawi (beserta kafannya) masih utuh walaupun sudah bertahun-tahun dikubur. Karena itu, bila pergi ke Makkah, insya Allah kita akan bisa menemukan makam beliau di pemakaman umum Ma’la. Banyak juga kaum muslimin yang mengunjungi rumah bekas peninggalan beliau di Serang Banten.
  • Syekh Nawawi Al-Bantani mampu melihat dan memperlihatkan Ka’bah tanpa sesuatu alatpun. Cara ini dilakukan oleh Syekh Nawawi ketika membetulkan arah kiblatnya Masjid Jami’ Pekojan Jakarta Kota.
Referensi:

1. Chaidar, Sejarah Syekh Nawawi Banten, Sarana Utama, Jakarta, Hlm. 29 – 30.
2. Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dilahirkan di Makkah Tahun 1232 H (1816 atau 1817 M.) silsilah nasab Sayyid Ahmad Zaini Dahlan yang disebutkan dalam Kitab Taj Al-A’ras menunjukkan bahwa beliau adalah keturunan Sayyid Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, tokoh fenomenal di dunia Islam yang dipandang wali terbesar sepanjang masa dan digelari Sulthan Al-Auliya’ (sultan para wali). Beliau pertama kali dididik oleh ayahandanya mempelajari dan menghafal Al-Qur’an serta kitab Matan dalam berbagai disiplin, kemudian belajar kepada Syaikh Utsman bin Hasan Ad-Dimyati Al-Azhari Asy-Syafi’i yang merupakan guru utamanya. Beliau dikenal kecerdasan dan kesungguhannya dalam menuntut ilmu, pernah suatu ketika Syaikh Utsman berkata kepadanya. “Wahai Sayyid Ahmad, engkau insyaallah akan menjadi seperti pohon yang aku lihat dalam mimpiku yang ta’birnya adalah ilmu akan tersebar melalui dirimu selamanya, dan isyarat dari gurunya ini ternyata benar. Murid-murid beliau banyak menjadi ulama besar sepanjang masa, siapa yang tidak mengenal Sayyid Abu Bakar (Bakri) Syata’, pengarang kitab terpopuler di Pesantren Indonesia I’anah Ath-Thalibin, Habib Utsman bin Yahya, mufti Betawi yang hidup pada abad 19 yang terkenal dengan karya-karyanya, Habib Ahmad Betawi bin Abdullah Thalib Al-Attas yang makamnya di Pekalongan selalu diziarahi orang. Karya ilmiah beliau sangat banyak, diantaranya adalah Mukhtasar Jiddan, Tanbih Al-Ghafilin, As-Sirah An-Nabawiyah Al-Futuhat Al-Islamiyah, bahkan Alfiyyah, Ad-Durar As-Saniyyah fi Radd ‘ala Al-Wahhabiyyah, Fath Al-Jawad dan lain-lain.
3. www.ulama’ penulis indonesia.com

Biografi Cut Nyak Dhien - The Hero From Aceh


(copi paste dari http://tgkboy.blogspot.com)
Biografi Cut Nyak DhienBiografi Cut Nyak Dhien - The Hero From Aceh - Semua anda mungkin pasti telah kenal dengan seoran gpahlawan wanita dqari Aceh yang merupakan Isteri dari Teuku Umar Johan Pahlawan. Mungkin semenjak SD kita telah mengenal beliau melalui buku-buku pelajaran yang diajarkan di sekolah. Namun, tahukan anda bagaimana sebenarnya biografi cut nyak dhien ini, mari kita simak bipgrafi beliau berikut ini.


Cut Nyak Dhien lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848, seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh, Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Machmoed Sati, perantau dari Sumatera Barat. Machmoed Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien merupakan keturunan Minangkabau. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang Lampagar.

Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik. Ia memperoleh pendidikan pada bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik baik oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orang tuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka memiliki satu anak laki-laki.

Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Perang Aceh pun meletus. Pada perang pertama (1873-1874), Aceh yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah bertempur melawan Belanda yang dipimpin Johan Harmen Rudolf Köhler. Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya. Cut Nyak Dhien yang melihat hal ini berteriak:

"Lihatlah wahai orang-orang Aceh!! Tempat ibadat kita dirusak!! Mereka telah mencorengkan nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita akan menjadi budak Belanda?"

Kesultanan Aceh dapat memenangkan perang pertama. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan kembali dengan sorak kemenangan, sementara Köhler tewas tertembak pada April 1873.

J.B. van Heutsz sedang memperhatikan pasukannya dalam penyerangan di Perang Aceh
Pada tahun 1874-1880, di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten, daerah VI Mukim dapat diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada tanggal 24 Desember 1875. Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.

Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.
Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak. Namun, karena Teuku Umar mempersilakannya untuk ikut bertempur dalam medan perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun 1880. Hal ini membuat meningkatnya moral semangat perjuangan Aceh melawan Kaphe Ulanda (Belanda Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak yang diberi nama Cut Gambang.

Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar tahun 1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya dengan orang Belanda semakin kuat. Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan "menyerahkan diri" kepada Belanda. Belanda sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya komandan unit pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh. Teuku Umar merahasiakan rencana untuk menipu Belanda, meskipun ia dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh. Bahkan, Cut Nyak Meutia datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya. Cut Nyak Dien berusaha menasehatinya untuk kembali melawan Belanda. Namun, Teuku Umar masih terus berhubungan dengan Belanda. Umar lalu mencoba untukmempelajari taktik Belanda, sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia kuasai. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis Aceh.

Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar). Teuku Umar yang mengkhianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan melancarkan operasi besar-besaran untuk menangkap baik Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar. Namun, gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan dari Belanda. Mereka mulai menyerang Belanda sementara Jend. Van Swieten diganti. Penggantinya, Jend. Jakobus Ludovicius Hubertus Pel, dengan cepat terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan. Belanda lalu mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya. Dien dan Umar terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda Aceh (Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda terus-terusan mengganti jendral yang bertugas.

Unit "Maréchaussée" lalu dikirim ke Aceh. Mereka dianggap biadab dan sangat sulit ditaklukan oleh orang Aceh. Selain itu, kebanyakan pasukan "De Marsose" merupakan orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan semua yang ada di jalannya. Akibat dari hal ini, pasukan Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan Van der Heyden membubarkan unit "De Marsose". Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jendral selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut melakukan jihad kehilangan nyawa mereka, dan ketakutan masih tetap ada pada penduduk Aceh.

Jendral Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak sebagai informan sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru. Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien, menangis karena kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan berkata:

“ Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid”

Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulitnya memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya.

Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda karena iba. Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian. Cut Nyak Dhien ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Dhien dipindah ke Sumedang berdasari orang terakhir yang melindungi Dien sampai kematiannya. Namun, Cut Nyak Dhien memiliki penyakit rabun, sehingga ia tertangkap. Dhien berusaha mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh. Sayangnya, aksi Dhien berhasil dihentikan oleh Belanda. Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.

Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di situ. Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak Dien akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya akan menciptakan semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.

Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian bupati Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan perhatian mereka pada Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan. Ia ditahan bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien merupakan ahli dalam agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai "Ibu Perbu". Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua. Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. "Ibu Perbu" diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964

Referensi :
- http://kolom-biografi.blogspot.com/2011/09/biografi-cut-nyak-dhien-pahlawan.html
- http://id.wikipedia.org/wiki/Cut_Nyak_Dhien

Biografi KH Zainuddin MZ | Da'i Sejuta Ummat | Perjalanan Hidup

(copi paste dari http://tgkboy.blogspot.com)

Biografi KH Zainuddin MZ | Da'i Sejuta Ummat - Siapa yang tidak kenal dengan da'i yang satu ini, dengan suara khasnya yang begitu mencirika seorang pendai dan keilmuannya dalam agama telah membawa penda'i ini dikenal semua kalangan, tak heran kalau beliau di gelar da'i sejuta ummat.

Kiai Haji Zainuddin Hamidi atau K.H. Zainuddin MZ lahir di Jakarta, 2 Maret 1952, Zainuddin merupakan anak tunggal buah cinta pasangan Turmudzi dan Zainabun dari keluarga Betawi asli. Sejak kecil memang sudah nampak mahir berpidato. Udin -nama panggilan keluarganya- suka naik ke atas meja untuk berpidato di depan tamu yang berkunjung ke rumah kakeknya. ‘Kenakalan’ berpidatonya itu tersalurkan ketika mulai masuk Madrasah Tsanawiyah hingga tamat Madrasah Aliyah di Darul Ma’arif, Jakarta. Di sekolah ini ia belajar pidato dalam forum Ta’limul Muhadharah (belajar berpidato).

Biografi KH Zainuddin MZ

Biografi KH Zainuddin MZ

Biografi KH Zainuddin MZ

Biografi KH Zainuddin MZ


Kebiasaannya membanyol dan mendongeng terus berkembang. Setiap kali tampil, ia memukau teman-temannya. Kemampuannya itu terus terasah, berbarengan permintaan ceramah yang terus mengalir. Karena ceramahnya sering dihadiri puluhan ribu ummat, maka tak salah kalau pers menjulukinya ‘Da'i Sejuta Umat’. Suami Hj. Kholilah ini semakin dikenal masyarakat ketika ceramahnya mulai memasuki dunia rekaman. Kasetnya beredar bukan saja di seluruh pelosok TautanNusantara, tapi juga ke beberapa negara Asia. Sejak itu, da’i yang punya hobi mendengarkan lagu-lagu dangdut ini mulai dilirik oleh beberapa stasiun televisi. Bahkan dikontrak oleh sebuah biro perjalanan haji yang bekerjasama dengan televisi swasta bersafari bersama artis ke berbagai daerah yang disebut "Nada dan Dakwah".

Kepiawaian ceramahnya sempat mengantarkan Zainuddin ke dunia politik. Pada tahun 1977-1982 ia bergabung dengan partai berlambang Ka’bah (PPP). Jabatannya pun bertambah, selain da’i juga sebagai politikus. Selain itu, keterlibatannya dalam PPP tidak bisa dilepaskan dari guru ngajinya, KH Idham Chalid. Sebab, gurunya yang pernah jadi ketua umum PBNU itu salah seorang deklarator PPP. Dia mengaku lama nyantri di Ponpes Idham Khalid yang berada di bilangan Cipete, yang belakangan identik sebagai kubu dalam NU.

Sebelum masuk DPP, dia sudah menjadi pengurus aktif PPP, yakni menjadi anggota dewan penasihat DPW DKI Jakarta. Lebih jauh lagi, berkat kelihaiannya mengomunikasikan ajaran agama dengan gaya tutur yang luwes, sederhana, dan dibumbui humor segar, partai yang merupakan fusi beberapa partai Islam itu jauh-jauh hari (sejak Pemilu 1977) sudah memanfaatkannya sebagai vote-getter. Bersama Raja Dangdut Rhoma Irama, Zainuddin berkeliling berbagai wilayah mengampanyekan partai yang saat itu bergambar Ka’bah -sebelum berganti gambar bintang. Hasil yang diperoleh sangat signifikan dan memengaruhi dominasi Golkar. Tak ayal, kondisi itu membuat penguasa Orde Baru waswas. Totalitas Zainuddin untuk PPP bisa dirunut dari latar belakangnya. Pertama, secara kultural dia warga nahdliyin, atau menjadi bagian dari keluarga besar NU. Dengan posisinya tersebut, dia ingin memperjuangkan NU yang saat itu menjadi bagian dari fusi PPP yang dipaksakan Orde Baru pada 5 Januari 1971. Untuk diketahui, ormas lain yang menjadi bagian fusi itu, antara lain, Muslimin Indonesia (MI), Perti, dan PSII.

Selain itu, keterlibatannya dalam PPP tidak bisa dilepaskan dari guru ngajinya, KH Idham Chalid. Sebab, gurunya yang pernah jadi ketua umum PB NU itu salah seorang deklarator PPP. Pada 20 Januari 2002 K.H. Zainudiin M.Z. bersama rekan-rekannya mendeklarasikan PPP Reformasi yang kemudian berubah nama menjadi Partai Bintang Reformasi dalam Muktamar Luar Biasa pada 8-9 April 2003 di Jakarta. Ia juga secara resmi ditetapkan sebagai calon presiden oleh partai ini. Zainuddin MZ menjabat sebagai Ketua umum PBR sampai tahun 2006. Zainuddin kembali fokus untuk menebarkan dakwah dan kembali berada ditengah-tengah umat.

Pada 2010, KH Zainuddin MZ dituduh oleh seorang gadis bernama Aida Saskia yang mengaku bahwa dirinya punya hubungan dekat dengan Zainuddin. Kasus ini masih dalam penyelidikan. K.H. Zainudin MZ memberikan klarifikasi akan ketidakbenaran yang dituduhkan kepadanya itu melalui program Tokoh di tvOne. Zainuddin MZ meninggal dunia pada 5 Juli 2011 dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Pusat Pertamina, karena serangan jantung dan gula darah. Beliau meninggal setelah sarapan bersama keluarga di rumahnya Gandaria I, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Referensi :

- http://id.wikipedia.org/wiki/Zainuddin_MZ
- http://kolom-biografi.blogspot.com/2011/09/biografi-kh-zainuddin-mz-dai-sejuta.html

Kamis, 07 Februari 2013

Biografi Abul Wafa | Sang Matematikawan Muslim Jenius

Biografi Abul Wafa Sang Matematikawan Muslim Jenius - Pernahkah mengenal abul wafa, beliau terkenal sebagai seorang matematikawan yang sangat jenius dalam peradaban ISlam. Lantas bagaimana biografi beliau dan sejarah perjalan hidup Abul Wafa sang metimatikawan jenius ini, mari kita simak ulasannya yang dirangkum dari berbagai sumber.

Ahli matematika Muslim fenomenal di era keemasan Islam ternyata bukan hanya Al-Khawarizmi. Pada abad ke-10 M, peradaban Islam juga pernah memiliki seorang matematikus yang tak kalah hebat dibandingkan Khawarizmi. Matematikus Muslim yang namanya terbilang kurang akrab terdengar itu bernama Abul Wafa Al-Buzjani. “Ia adalah salah satu matematikus terhebat yang dimiliki perabadan Islam,” papar Bapak Sejarah Sains, George Sarton dalam bukunya bertajuk Introduction to the History of Science.
Biografi Abu Wafa | Sang Matematikawan Muslim Jenius
Abul Wafa adalah seorang saintis serba bisa. Selain jago di bidang matematika, ia pun terkenal sebagai insinyur dan astronom terkenal pada zamannya.

Kiprah dan pemikirannya di bidang sains diakui peradaban Barat. Sebagai bentuk pengakuan dunia atas jasanya mengembangkan astronomi, organisasi astronomi dunia mengabadikannya menjadi nama salah satu kawah bulan. Dalam bidang matematika, Abul Wafa pun banyak memberi sumbangan yang sangat penting bagi pengembangan ilmu berhitung itu.


“Abul Wafa dalah matematikus terbesar di abad ke 10 M,”
ungkap Kattani. Betapa tidak. Sepanjang hidupnya, sang ilmu wan telah berjasa melahirkan sederet inovasi penting bagi ilmu matematika. Ia tercatat menulis kritik atas pemikiran Eucklid, Diophantos dan Al-Khawarizmisayang risalah itu telah hilang. Sang ilmuwanpun mewariskan Kitab Al-Kami (Buku Lengkap) yang membahas tentang ilmu hitung (aritmatika) praktis. Kontribusi lainnya yang tak kalah penting dalam ilmu matematika adalah Kitab Al-Handasa yang mengkaji penerapan geometri. Ia juga berjasa besar dalam mengembangkan trigonometri.

Abul Wafa tercatat sebagai matematikus pertama yang mencetuskan rumus umum si nus. Selain itu, sang mate ma tikus pun mencetuskan metode baru membentuk tabel sinus. Ia juga membenarkan nilai sinus 30 derajat ke tempat desimel kedelapan. Yang lebih menga gumkan lagi, Abul Wafa mem buat studi khusus tentang ta ngen serta menghitung se buah tabel tangen.

Jika Anda pernah mempelajari matematika tentu pernah mengenal istilah secan dan co secan. Ternyata, Abul Wafalah yang pertama kali memperkenalkan istilah matematika yang sangat penting itu. Abu Wafa dikenal sangat jenius dalam bi dang geometri. Ia mampu me nyelasikan masa lah-masalah geometri dengan sangat tang kas.

Buah pemikirannya dalam matematika sangat berpengaruh di dunia Barat. Pada abad ke-19 M, Baron Carra de Vaux meng ambil konsep secan yang dicetuskan Abul Wafa. Sayangnya, di dunia Islam justru namanya sangat jarang terdengar. Nyaris tak pernah, pelajaran sejarah peradaban Islam yang diajarkan di Tanah Air mengulas dan memperkenalkan sosok dan buah pikir Abul Wafa. Sungguh ironis.

Sejatinya, ilmuwan serbabisa itu bernama Abu al-Wafa Muhammad Ibn Muhammad Ibn Yahya Ibn Ismail Ibn Abbas al-Buzjani. Ia terlahir di Buzjan, Khurasan (Iran) pada tanggal 10 Juni 940/328 H. Ia belajar matematika dari pamannya bernama Abu Umar al- Maghazli dan Abu Abdullah Muhammad Ibn Ataba. Sedangkan, ilmu geometri dikenalnya dari Abu
Yahya al-Marudi dan Abu al-Ala’ Ibn Karnib.

Abul Wafa tumbuh besar di era bangkitnya sebuah dinasti Islam baru yang berkuasa di wilayah Iran. Dinasti yang ber nama Buwaih itu berkuasa di wilayah Persia — Iran dan Irak ñ pada tahun 945 hingga 1055 M. Kesultanan Buwaih menancapkan benderanya di antara periode peralihan kekuasaan dari Arab ke Turki. Dinasti yang berasal dari suku Turki itu mampu menggulingkan kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad pada masa kepemim -pinan Ahmad Buyeh.

Dinasti Buwaih memindahkan ibu kota pemerintahannya ke Baghdad saat Adud Ad-Dawlah berkuasa dari tahun 949 hingga 983 M. Pemerintahan Adud Ad- Dawlah sangat mendukung dan memfasilitasi para ilmuwan dan seniman.

Dukungan itulah yang membuat Abul Wafa memutuskan hijrah dari kampung halamannya ke Baghdad. Sang ilmuwan dari Khurasan ini lalu memutuskan untuk mendedikasikan dirinya bagi ilmu pengetahuan di istana Adud ad-Dawlah pada tahun 959 M. Abul Wafa bukanlah satusatunya matematikus yang mengabdikan dirinya bagi ilmu pengetahuan di istana itu.

Matematikus lainnya yang juga bekerja di istana Adud ad-Dawlah antara lain; Al- Quhi dan Al-Sijzi. Pada tahun 983 M, suksesi kepemimpinan terjadi di Dinasti Buwaih. Adyd ad-Dawlah digantikan puteranya bernama Sharaf ad-Dawlah. Sama seperti sang ayah, sultan baru itu juga sangat mendukung perkembangan matematika dan astronomi. Abul Wafa pun makin betah kerja di istana.

Kecintaan sang sultan pada astronomi makin memuncak ketika dirinya ingin membangun sebuah observatorium. Abul Wafa dan temannyaAl-Quhi pun mewujudkan ambisi sang sulatan. Obser vatorium astronomi itu dibangun di taman is tana sultan di kota Baghdad. Kerja keras Abul Wafa pun berhasil. Observatorium itu secara resmi dibuka pada bulan Juni 988 M.

Untuk memantau bintang dari observatorium itu, secara khusus Abul Wafa membangun kuadran dinding. Sayang, observatorium tak bertahan lama. Begitu Sultan Sharaf ad-Dawlah wafat, observatorium itu pun lalu ditutup. Sederet karya besar telah dihasilkan Abul Wafa selama mendedikasikan dirinya di istana sultan Buwaih.

Beberapa kitab bernilai yang ditulisnya antara lain; Kitab fima Yahtaju Ilaihi al- Kuttab wa al-Ummal min ‘Ilm al-Hisab sebuah buku tentang aritmatika. Dua salinan kitab itu, sayangnya tak lengkap, kini berada di perpustakaan Leiden, Belanda serta Kairo Mesir. Ia juga menulis “Kitab al-Kamil”.

Dalam geometri, ia menulis “Kitab fima Yahtaj Ilaih as-Suna’ fi ‘Amal al-Handasa”. Buku itu ditulisnya atas permintaan khusus dari Khalifah Baha’ ad Dawla. Salinannya berada di perpustakaan Masjid Aya Sofya, Istanbul. Kitab al-Majesti adalah buku karya Abul Wafa yang paling terkenal dari semua buku yang ditulisnya. Salinannya yang juga sudah tak lengkap kini tersimpan di Perpustakaan nasional Paris, Pran cis.

Sayangnya, risalah yang di buatnya tentang kritik terha dap pemikiran Euclid, Diophantus serta Al-Khawarizmi sudah musnah dan hilang. Sungguh peradaban modern berutang budi kepada Abul Wafa. Hasil penelitian dan karya-karyanya yang ditorehkan dalam sederet kitab memberi pengaruh yang sangat signifikan bagi pengembangan ilmu pengetahun, terutama trigonometri dan astronomi.

Sang matematikus terhebat di abad ke-10 itu tutup usia pada 15 Juli 998 di kota Baghdad, Irak. Namun, hasil karya dan pemikirannya hingga kini masih tetap hidup.

Abadi di Kawah Bulan


Abul Wafa memang fenomenal. Meski di dunia Islam modern namanya tak terlalu dikenal, namun di Barat sosoknya justru sangat berkilau. Tak heran, jika sang ilmuwan Muslim itu begitu dihormati dan disegani. Orang Barat tetap menyebutnya dengan nama Abul Wafa. Untuk menghormati pengabdian dan dedikasinya dalam mengembangkan astronomi namanya pun diabadikan di kawah bulan.

Di antara sederet ulama dan ilmuwan Muslim yang dimiliki peradaban Islam, hanya 24 tokoh saja yang diabadikan di kawah bulan dan telah mendapat pengakuan dari Organisasi Astronomi Internasional (IAU). Ke-24 tokoh Muslim itu resmi diakui IAU sebagai nama kawah bulan secara bertahap pada abad ke-20 M, antara tahun 1935, 1961, 1970 dan 1976. salah satunya Abul Wafa.

Kebanyakan, ilmuwan Muslim diadadikan di kawah bulan dengan nama panggilan Barat. Abul Wafa adalah salah satu ilmuwan yang diabadikan di kawah bulan dengan nama asli. Kawah bulan Abul Wafa terletak di koordinat 1.00 Timur, 116.60 Timur. Diameter kawah bulan Abul Wafa diameternya mencapai 55 km. Kedalaman kawah bulan itu mencapai 2,8 km.

Lokasi kawah bulan Abul Wafa terletak di dekat ekuator bulan. Letaknya berdekatan dengan sepasangang kawah Ctesibius dan Heron di sebelah timur. Di sebelah baratdaya kawah bulan Abul Wafa terdapat kawah Vesalius dan di arah timur laut terdapat kawah bulan yang lebih besar bernama King. Begitulah dunia astronomi modern mengakui jasa dan kontribusinya sebagai seorang astronom di abad X.

Matematika Ala Abul Wafa


Salah satu jasa terbesar yang diberikan Abul Wafa bagi studi matematika adalah trigo no metri. Trigonometri berasal dari kata trigonon = tiga sudut dan metro = mengukur. Ini adalah adalah sebuah cabang matematika yang berhadapan dengan sudut segi tiga dan fungsi trigo no met rik seperti sinus, cosinus, dan tangen.

Trigonometri memiliki hubungan dengan geometri, meskipun ada ketidaksetujuan tentang apa hubungannya; bagi beberapa orang, trigonometri adalah bagian dari geometri. Dalam trigonometri, Abul Wafa telah memperkenalkan fungsi tangen dan memperbaiki metode penghitungan tabel trigonometri. Ia juga tutur memecahkan sejumlah masalah yang berkaitan dengan spherical triangles.

Secara khusus, Abul Wafa berhasil menyusun rumus yang menjadi identitas trigonometri. Inilah rumus yang dihasilkannya itu:

sin(a + b) = sin(a)cos(b) + cos(a)sin(b)
cos(2a) = 1 - 2sin2(a)
sin(2a) = 2sin(a)cos(a)

Selain itu, Abul Wafa pun berhasil membentuk rumus geometri untuk parabola, yakni:
x4 = a and x4 + ax3 = b.
Rumus-rumus penting itu hanyalah secuil hasil pemikiran Abul Wafa yang hingga kini masih bertahan. Kemampuannya menciptakan rumus-rumus baru matematika membuktikan bahwa Abul Wafa adalah matematikus Muslim yang sangat jenius.

Referensi :
- http://kolom-biografi.blogspot.com
- http://archive.kaskus.us/thread/3450909/20

Rabu, 06 Februari 2013

Biografi Abu Krung Kalee | Syaikh Hasan Krueng Kalee

Biografi Abu Krung Kalee - Nama lengkapnya adalah Syaikh Teungku Hasan bin Teungku Muhammad Hanafiyyah bin Teungku Syaikh 'Abbas bin Teungku Muhammad Fadhli rahimahumullah. Dikalangan masyarakat Aceh, beliau lebih dikenal dengan panggilan Syaikh Hasan Krueng Kalee atau Abu Krueng Kalee. Beliau dilahirkan pada tanggal 13 Ra’jab 1303 (17 April 1886) di Kampung Meunasah Ketembu, Kabupaten Pidie, Aceh, (Alizar, 2011).

Ayahandanya bernama Tengku Muhammad Hanafiyyah, terkenal dengan gelaran Teungku Chik Krueng Kalee I atau Teungku Haji Muda, seorang ulama besar yang memimpin Dayah (Pondok) Krueng Kalee yang terletak di Kabupaten Aceh Besar. Beliau juga merupakan sahabat karib pahlawan nasional Indonesia, Teungku Syaikh Muhammad Saman Tiro atau dikalangan masyarakat Aceh dikenal dengan Teungku Chik Di Tiro. Sementara ibundanya bernama Nyak Hafsah binti Teungku Syaikh Ismail atau Teungku Chik Krueng Kalee II. (Alizar, 2011).
Biografi Abu Krung Kalee | Syaikh Hasan Krueng Kalee
Pada tanggal 19 Januari 1973, tepatnya malam Jum’at sekitar pukul 03.00 dini hari, Abu Krueng Kalee menghembuskan nafasnya yang terakhir. Meninggalkan tiga orang istri; Tgk. Hj. Nyak Safiah di Siem; Tgk. Nyak Aisyah di Krueng Kalee; dan Tgk. Hj. Nyak Awan di Lamseunong. Dari ketiga istri tersebut Abu Krueng Kalee Meninggalkan Tujuh belas orang putra dan putri. Salah seorangnya yaitu Tgk. H. Syech Marhaban, Mentri Muda Pertanian pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. (Yasir, 2011).

Pendidikan Syaikh Hasan Krueng Kalee


Syaikh Hasan menerima didikan awal agama dari kedua orangtuanya sendiri. Saat usia remaja, beliau dihantar ke Kedah, Malaysia untuk berguru pada Tok Syaikh Muhammad Arsyad rahimahullah, Pondok Yan, Kedah. Tok Syaikh Muhammad Arsyad adalah ulama Aceh yang telah membuka pondok di Yan, Kedah sekitar tahun 1900, beliau dikenal sebagai Teungku Di Balai. Syaikh Hasan duduk mengaji di Pondok Yan, Kedah selama beberapa tahun dan pada 1910 beliau dengan restu gurunya berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan melanjutkan pengajian di sana. Beliau bermukim sekitar 6 tahun di Makkah dan meneguk kemanisan ilmu dari pada para ulama di sana. (Alizar, 2011).

Pengaruh Syaikh Hasan Krueng Kalee

Pada tahun 1916, Syaikh Hasan pulang ke Kedah dan mengabdikan dirinya sebagai pengajar di Pondok Yan, Kedah. Kemudian beliau diminta oleh pamannya kembali ke Aceh untuk meneruskan kepemimpinan di Dayah Krueng Kalee. Di bawah asuhannya, Dayah Krueng Kalee semakin terkenal dan menjadi sebuah pusat pendidikan agama yang masyhur, tempat mendidik begitu banyak ulama dan pendakwah di Nusantara. (Alizar, 2011).

Selain belajar pelajaran fiqh, tauhid, tasawwuf dan yang seumpamanya, Syaikh Hasan turut mendalami bidang falak dan berjaya menguasainya sehingga sejak di Makkah beliau telah dijuluki dengan Syaikh Muhammad Hasan al-Aasyie al-Falaki. (Alizar, 2011). Di antara para ulama yang menjadi guru beliau adalah Syaikh Ahmad Syatha ad-Dimyathi, Syaikh Sa`id Sunbul (Mufti Syafi`i Makkah), Syaikh 'Abdullah Ismail, Syaikh Hasan Zamzami, Syaikh Utsman bin Muhammad Fadhil Aceh, Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani dan lain masih banyak lagi lainnya. (Alizar, 2011).

Murid-Murid Abu Hasan Krueng Kalee

Di antara murid-murid beliau yang berhasil menjadi ulama adalah:
1. Teungku Ahmad Pante, ulama dan imam masjid Baitur Rahman Banda Aceh.
2. Teungku Hasan Keubok, ulama dan qadhi Aceh Besar.
3. Teungku Muhammad Saleh Lambhouk, ulama dan imam masjid Baitur Rahman Banda Aceh.
4. Teungku Abdul Jalil Bayu, ulama dan pemimpin Dayah Al-Huda Aceh Utara.
5. Teungku Sulaiman Lhoksukon, ulama dan pendiri Dayah Lhoksukon, Aceh Utara.
6. Teungku Yusuf Peureulak, ulama dan ketua majlis ulama Aceh Timur.
7. Teungku Mahmud Simpang Ulim, ulama dan pendiri Dayah Simpang Ulim, Aceh Timur.
8. Teungku Haji Muda Waly Labuhan Haji, ulama dan pendiri Dayah Darussalam, Labuhan Haji, Aceh Selatan.
9. Teungku Syaikh Mud Blang Pidie, ulama dan pendiri Dayah Blang Pidie, Aceh Selatan.
10. Syaikh Syihabuddin, ulama dan pendiri Dayah Darussalam Medan, Sumatera Utara.
11. Kolonel Nurdin, bekas Bupati Aceh Timur.
12. Teungku Ishaq Lambaro Kaphee, ulama dan pendiri Dayah Ulee Titie. (Alizar, 2011).

Karya Tulis Abu Hasan Krueng Kalee

Untuk mengabadikan isi pendidikan, beliau wujudkan dalam beberapa karya tulis diantaranya :
1. Risalah Lathifah fi Adabi Al-Zikry.
Buku ini mengandung pelajaran tentang petunjuk samadiyah dan tahlil, yang diamalkan oleh wali-wali dan auliya-auliya Allah. Buku tersebut dipublikasi atau diterbitkan oleh Pustaka Aceh raya Banda Aceh dan pertama sekali diterbitkan pada tahun 1958, (Fauziah, 1986).

Abu Krueng Kalee berpendapat berdasarkan hadis Rasulullah Saw, siapa yang mengucapakan La Ilaha Illallah sedangkan ia membenarkannya baik dengan lidahnya maupun dengan hatinya niscaya ia akan masuk surga. Sebagaiamana bunyinya: “Barang siapa mengucapakan La Ilaha Illallah sedangkan ia membenarkannya baik dengan lidahnya maupun dengan hatinya niscaya ia akan masuk delapan pintu surga, mana-mana yang mereka sukai. (Fauziah, 1986).

Dari hadis Rasulullah Saw di atas dapat dipahami bahwa seseorang yang membaca qul huwa Allahu ahad sepuluh ribu kali ia akan akan dibebaskan oleh Allah dari api neraka. Begitu juga seseorang yang membaca qul huwa Allahu ahad sepuluh ribu kali bagi orang mati mereka dibebaskan oleh Allah dari api neraka. Demikian juga seseorang yang mengucapakan kalimat la ilaha illa Allah baik dengan lidahnya maupun dengan hatinya ia akan masuk surga. (Fauziah, 1986).

2. Jawahir Al-Ulum fi kasyafil maklum (ditulis pada tahun 1334 H.)
Buku ini mengupas masalah kelebihan dan kebaikan menuntut ilmu pengetahuan ditinjau dari ilmu tasawwuf setebal 300 halaman. (Fauziah, 1986).

3. An ‘amatu Al-faidhah fi isti’mali qa’idati Al- rabithah (ditulis pada tahun 1327 H.)
Kitab ini Berjumlah 35 halaman, mengupas tentang rabithah yaitu hubungan murid dengan gurunya, yang bersambung sampai kepada Nabi Saw. (Fauziah, 1986).

4. Sirajus salikin ‘ala minhajil ‘abidin, (ditulis pada tahun 1332 H)
Berjumlah 300 halaman. Buku ini menguraikan tentang isi buku minhajul ‘abidin karangan Imam Ghazali, agar orang mudah memahami dan membahas kitab tersebut. (Fauziah, 1986). Pola hidup Tgk Haji Hasan Krueng Kalee lebih menjurus kepada kehidupan sufi yang mengutamakan pangamalan ibadah, (Fauziah, 1986). Pada tanggal 7 Mei 2007, bertepatan dengan 19 Rabiul Akhir 1428 H. Sebuah forum tingkat tinggi ulama Aceh menggelar pertemuan kedua di Mesjid Raya Baiturrahman, dalam pertemuan yang menghadirkan ratusan ulama Aceh ini menyimpulkan bahwa ada empat orang ulama Aceh yang telah sampai pada tingkat Ma’rifatullah, diantara keempat ulama tersebut salah satunya adalah Abu Hasan Krueng Kalee, (Yasir, 2011).

Pada tanggal 1-2 Oktober 1932 ketika diadakan Musyawarah Pendidikan Islam di Lubuk, Aceh Besar, Tgk. Haji Hasan Kruengkalee terlibat didalamnya. Pada kegiatan ini membicarakan masalah pembaruan dan perbaikan pendidikan Islam. Ulama-ulama terkemuka hadir menjadi peserta pada kegiatan tersebut, diantaranya adalah Tgk. H. Hasballah Indrapuri, Tgk H. Abdul Wahab Seulimum, Tgk. Muhammad Daud Beureueh, Tgk M. Hasbi Ash-Shiddiqy, Tgk. H. Hasan Kruengkalee, Tgk. H. Trienggadeng dan masih banyak lagi lainnya.
Keputusan-keputusan yang dihasilkan dari musyawarah pendidikan Islam tersebut adalah:

1. Tiada sekali-kali terlarang dalam agama islam kita mempelajari ilmu keduniaan yang tidak berlawanan dengan syariat, malah wajib dan tidak layak ditinggalkan buat mempelajarinya.
2. Memasukkan pelajaran-pelajaran umum itu ke sekolah-sekolah agama memang menjadi hajat sekolah-sekolah itu.
3. Orang perempuan berguru kepada orang laki-laki itu tidak ada halangan dan tidak tercegah pada syara, (Yasir, 2011). Selain dikenal sebagai ulama sufi, menurut Yasir (2011) beliau juga pengembang Tarekat al-Haddadiyah di Aceh, ia juga diakui berperan aktif dalam sejumlah peristiwa politik ulama di Aceh sepanjang hidupnya.

Pada masa revolusi kemerdekaan, Tgk Haji Hasan Krueng Kalee ikut aktif berjuang menegakkan kemerdekaan Republik Indonesia, para pemimpin perjuangan bukan hanya tokoh politik saja, tetapi juga dipelopori oleh ulama. Para ulama tidak bergerak sendiri-sendiri, melainkan bergabung dalam suatu organisasi seperti PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) dan lain-lain. Setelah proklamasi 17 agustus 1945, Tgk H. Hasan Krueng Kalee menandatangi sebuah pernyataan bersama mengenai perang kemerdekaan. Bersama tiga orang ulama besar yaitu Tgk. H. Jakfar Siddiq Lamjabat, Tgk. H. Hasballah Indrapuri dan Tgk. Muhammad Daud Beureueh. Pernyataan itu menegaskan bahwa: "Menurut keyakinan kami bahwa perjuangan ini adalah perjuangan suci yang disebut perang sabil. Maka percayalah wahai bangsaku bahwa perjuangan ini adalah sebagai sambungan perjuangan dahulu di Aceh yang dipimpin oleh almarhum Teungku chik Ditiro dan pahlawan-pahlawan kebangsaan yang lain. Dan sebab itu bangunlah wahai bangsaku sekalian, bersatu padu menyusun bahu, mengangkat langkah menuju ke muka untuk mengikut jejak perjuangan nenek kita dahulu. Tunduklah dengan patuh akan segala perintah-perintah pemimpin kita untuk keselamatan tanah air, agama dan bangsa." (Yasir, 2011).

Pernyataan tersebut tertanggal 15 Oktober 1945. untuk menggerakkan masyarakat agar berjihat dalam satu barisan yang teratur, barisan sabil atau barisan mujahidin. Pada tanggal 25 Oktober Tgk. H. Hasan Krueng Kalee mengeluarkan sebuah seruan tersendiri yang sangat penting. Seruan ini ditulis dalam bahasa Arab kemudian dicetak oleh Markas Daerah Pemuda Republik Indonesia (PRI) dengan surat pengantar yang ditandatangani oleh ketua umumnya Ali Hasjmy tertanggal 8 November 1945 Nomor 116/1945 dan dikirim kepada para pemimpin dan ulama diseluruh Aceh. Setelah seruan itu tersiar luas, maka berdirilah barisan Mujahidin di seluruh Aceh yang kemudian menjadi Mujahidin Devisi Teungku Chik Ditiro. (Yasir, 2011).

Himbauan jihad di atas telah menggerakkan masyarakat tampil menuju medan perjuangan di tanah Aceh untuk merebut kemerdekaan dan mempertahankannya. Mereka umumnya tergabung dibawah organisasi misalnya PUSA, Pemuda PUSA, Kasyafatul Islam, Muhammaddiyah, Pemuda Muhammaddiyah, PERTI, PERMINDO (Pergerakan Angkatan Muda Islam Indonesia), maupun organisasi-organisasi Islam lainnya. (Yasir, 2011). Pada masa itu Tgk Haji Hasan Krueng Kalee merupakan salah seorang penasehat PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), yaitu salah satu organisasi yang bertujuan untuk mendidik masyarakat melalui organisasi tersebut guna meningkatkannya menjadi wadah pendidikan yang lebih berdaya guna. Organisasi ini menjadi pelopor dalam menggerakkan pemberontakan terhadap pemerintah Belanda, seperti yang dikemukakan oleh Prof. A. Hasjmy dalam salah satu tulisannya. (Yasir, 2011).

Pada awal tahun 1942 Pusa (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) dan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) menggerakkan sebuah pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda di Aceh, adalah hal yang logis karena para pemuda yang aktif dalam pemberontakan tersebut sebagian besar mereka yang telah ditempa iman dan semangat jihadnya dalam madrasah-madrasah, yang sistem pendidikan dan kurikulumnya telah diperbaharui. (Yasir, 2011). Dapat diketahui bahwa hanya dua organisasi Islam yang tampil sebagai pelopor yang menggerakkan pemberontakan rakyat terhadap penjajahan Belanda, meskipun banyak juga organisasi-organisasi lain yang mulai tumbuh di Aceh.

Dengan demikian para ulama tergabung dalam organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah maupun Perasatuan Ulama Seluruh Aceh, juga para pemuda yang telah ikut aktif dalam pemberontakan terhadap Belanda. Melalui wadah organisasi ini pula bersama-sama dengan ulama-ulama lain seperti disebutkan di atas, Tgk Haji Hasan Krueng Kalee mengeluarkan fatwa tentang perlunya seluruh rakyat berperang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dengan jalan jihad fi sabilillah, hal ini terjadi pada tanggal 15 Oktober 1945. (Yasir, 2011).

Melihat uraian di atas jelaslah bagaimana pengaruh Tgk. H. Hasan Krueng Kalee terhadap kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Seiring dengan itu fatwa syahid yang beliau keluarkan masih terus relevan dan memberi motivasi sendiri bagi masyarakat Aceh dalam mengisi kemerdekaan dan pembangunan. Meskipun pada masa setelah kemerdekaan, mulai muncul organisasi islam yang lain, namun Tgk Haji Hasan Krueng Kalee tetap menyalurkan aktifitasnya melalui organisasi PERTI. (Yasir, 2011).

Referensi:


  • Yasir Master, 2011, Teungku Syeikh Muhammad Hasan Krueng Kalee,(Online),http://yasirmaster.blogspot.com/2011/09/teungku-syeikh-muhammad-hasan.-krueng. html,.9.November 2011.
  • Tgk Alizar Usman, 2011.Tgk Syik Hasan Krueng Kalee, (Online), http://kitab.kuneng.blogspot.com/2011_03_01_archive.html, diakses 15 November 2011.
  • Fauziah Ibrahim, Tgk Haji Hasan Krueng Kalee Sebagai Tokoh Pendidikan Islam di Aceh, Skripsi: IAIN Ar-Raniry, 1986. http://iwanms.blogspot.com/2012/12/abu-krueng-kalee.html

Biografi Abu Alue Bilie | Tgk. H. Karimuddin

Biografi Abu Alue Bilie | Tgk. H. Karimuddin, pimpinan Dayah Babussalam Alue Bili Aceh Utara merupakan salah satu sosok ulama disegani di Aceh. Dikalangan masyarakat, beliau akrab disapa Abi Karimuddin atau Abu Alue Bilie. Abi Karimuddin tutup usia (73 tahun) pada tanggal 17 Desember 2011 di Rumah Sakit Palang Merah Indonesia (PMI) Lhokseumawe. Abi Karimuddin meninggalkan enam putra, satu putri dan satu istri, serta 1.200 santrinya di dayah tersebut.

Biografi Abu Alue Bilie | Tgk. H. Karimuddin

Pendidikan Abu Alue Bilie

Abi Karimuddin merupakan salah satu murid dari Abuya Muda Waly Al-Khalidy ahli Tariqat Naqsyabandiyah dan murid Abu Hasan Krueng Kalee dalam ilmu Tariqat Haddad.

Pengaruh Abu Alue Bilie

Abi Karimuddin merupakan salah seorang Mursyid Tariqat Naqsyabandiyah. Selama hidupnya, beliau begitu berjasa dalam mendidik umat. Melalui dayahnya, beliau membina anggota majlis-majlis zikir yang datang dari berbagai daerah untuk mengenal Allah, Tuhan pencipta segalanya. Beliau membina para santri untuk mencintai agama Islam.

Abi Karimuddin memiliki satu tempat suluk, yang ramai dikunjungi disetiap bulan ramadhan dan bulan maulid. Begitu juga dengan hari lainnya, khusus pada hari minggu ditempat beliau selalu ada tawajjuh. Beliau adalah seorang ulama yang cerdas dan tawadhu, serta memiliki wawasan yang luas tentang agama.

Dalam pandangan Abi Karimuddin, suluk bermakna berjalan. Bukan perjalanan tubuh, tetapi perjalan hati menuju kepada Allah. Maksudnya nama Allah selalu ada di hati. Suluk mempunyai posisi yang sangat penting bagi orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah karena ruh manusia selalu berhubungan dengan Allah dari sejak penciptaannya di alam malakut hingga kapanpun. Ketika ruh disimpan disatu tempat menunggu terciptanya tubuh, Allah bertanya kepada ruh “bukankan Aku ini Tuhanmu”, dialog ini untuk memperjelas tentang kewajiban ruh manusia tunduk patuh kepada Allah untuk selamanya. Dalam dialog antara Allah dan ruh manusia tersebut terdapat perjanjian ke-Tuhanan.

Menurut Abi Karimuddin, kesadaran terhadap makna perjanjian ke-Tuhanan tersebut harus terus di bangun melalui pelaksanaan tawajjuh selama praktek suluk berlansung. Suluk juga membangun kesadaran terhadap pase-pase yang telah atau akan dilalui manusia, sejak dari penciptaan ruh hingga berdiri di hadapan Tuhan di padang masyar. Setelah lahir ke dunia, manusia tidak mampu mengingat peristiwa dialog dengan Allah di alam malakut tersebut, karena itu untuk menyadarkan manusia tentang hal tersebut perlu dilakukan suluk. Inilah maksud dari suluk, untuk mengembalikan kesadaran manusia tentang adanya perjanjian antara ruh manusia dengan Allah sebelum ia lahir ke dunia. Begitulah peran Abi Karimuddin atau Abu Alue Bili semasa hidupnya dalam membina spiritual umat untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Referensi:
  • Iskandar Ibrahim, 2011, Islam Mistik: Praktek Dan Kebangkitan Suluk Di Pesisir Utara Aceh, Diposkan oleh anasir, (online), melalui situs: http://sosiologitareqat.blogspot.com/2011/01/islam-mistik-praktek-dan-kebangkitan.html
  • Harian Serambi Indonesia, Abu Karimuddin Alue Bili Meninggal Dunia, Edisi Minggu, 18 Desember 2011.
  • Aceh Saketi, Wafat Guru Kita Semua, Posted on Desember 18, 2011.
  • Harian Aceh, Ulama Aceh Meninggal, Adakah Pengganti- nya?, Edisi 22 Desember 2011.