Sabtu, 24 Agustus 2013

Abu Ahmad Perti Ulama Tegas Yang Istiqamah Dalam Ilmu dan Amal

Abu Ahmad Perti Ulama Tegas Yang Istiqamah Dalam Ilmu dan Amal

Abu Muhammad bin Zamzami biasa masyarakat memanggil beliau dengan sebutan Abu Ahmad Perti, Ia Dilahirkan pada tahun 1936 di desa Lambro Deyah, Kecamatan Kuta Baro, Aceh Besar. Beliau merupakan keturunan keluarga ulama dan pejuang yang kental dalam melawan kolonialisme Belanda dan pendudukan Jepang. Pada masa pendudukan, kedua orang tua beliau (Tgk. Zamzami dan Ummi Sakdiah) mengalami masa-masa sulit dan hidup dalam keadaan berpindah-pindah. Keadaan ini membuat ayah beliau bercita-cita agar Muhammad kecil nantinya dapat fokus dalam dunia ilmu pengetahuan sehingga dapat menjadi seorang alim ulama yang dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa ini, sekaligus meneruskan garis keturunan keluarga yang telah bersemi. Beliau masih ada hubungan keturunan dengan Tgk. Chik. Tanoh Merah boengcala aceh besar, yaitu seorang ulama besar dan juga pejuang yang melawan penjajahan belanda bersama-sama dengan Tgk. Chik Ditiro dan Tgk. Chik Tanoh Abei. Dayahnya yang berada di boengcala, aceh besar pada saat itu, telah dibakar oleh kolonialis belanda. Almarhum Tgk. Chik. akhirnya syahid di medan pertempuran tepatnya di Tangse, Kabupaten pidie, dan dikuburkan disana juga, (ada yang mengatakan Almarhum syahid di boengcala, namun pendapat kuat mengatakan di Tangse).
Abu Muhammad Zamzami atau Abu Ahmad Perti, tokoh yang dikenal sangat vokal dan teguh dalam pendirian ini, melakukan pengembaraan dalam menuntut ilmu dari dayah ke dayah. Setelah belajar di Sekolah Rakyat di Boengcala, Aceh Besar, beliau menuntut ilmu agama untuk pertama kalinya secara formal di Dayah Ulee Titie pada seorang Ulama Kharismatik saat itu, yaitu Almarhum Abu Ishak (Abu dari Tgk. Athailah Ulee Titie) selama 5 tahun. Setelah itu beliau memutuskan untuk mengembara hingga ke Aceh Selatan, tepatnya di Desa Trieng Meudoro, Sawang, dan belajar pada Abu Ishak selama 3 tahun. Karena merasakan pendidikan agama Islam dirasakannya masih belum cukup, beliau ‘hijrah’ lagi dalam pergulatannya mencari ilmu, hingga akhirnya berlabuh di Dayah Darussalam, Labuhan Haji, (Labuhan Haji Barat sekarang- red) dan berguru pada Abuya Syeikh Muda Waly al Khalidy, selama lebih dari 14 tahun. Kalau kita perhatikan dari perjalanan Abu Ahmad Perti dalam mencari ilmu, nampak ciri khas masa lalu dari ulama Aceh yang murni dan haus akan pencarian ilmu pengetahuan. Dan hal ini menjadi wajar jika beliau sangat bersemangat, dikarenakan juga garis keturunannya ulama yang ada padanya.
Abu Ahmad dikenal sebagai Abu Ahmad Perti, dikarenakan kiprah beliau didalam organisasi islam ahlis sunnah wal jama’ah tersebut begitu besar. Baik itu berupa perjuangan hingga pengorbanan beliau dalam menegakkan dan mempertahankan tujuan, visi dan misi organisasi islam tersebut.
Kisah Abu Ahmad Perti Mendirikan Lembaga Pendidikan
Pada tahun 1968 (8 tahun berselang setelah meninggal Abuya Hadratusy Syech H. Muda Waly Al Khalidy) Abu Ahmad Perti masih berada di Dayah Darussalam, Labuhan Haji. Tiba-tiba beliau mendapatkan surat dari abang sepupunya (almarhum Abu Lamche’ pendiri Dayah Daruzzahidin Lam’ateuk Aceh Besar) yang mengabarkan padanya bahwa telah terjadi penganiayaan oleh sekelompok masyarakat terhadap orang-orang yang melakukan I’adah Dzuhur setelah shalat Jum’at di daerah Lam Ateuk, Aceh Besar. Berdasarkan hujjah beliau, bahwa permasalahan I’adah telah diterangkan secara gamblang dalam kitab –kitab Fiqih. Maka pada hari itu juga Abu Ahmad meminta izin kepada semua orang di Dayah Darussalam dan berpamitan kepada para sahabat, guru, murid dan terutama para Ummi almarhum Abuya, untuk dapat pulang ke kampung halamannya. Hal ini beliau lakukan karena telah tiba saatnya bagi beliau untuk mengamalkan ilmunya, menegakkan kebenaran dan memberikan pencerahan I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah yang benar bagi masyarakat di kampung halamannya. Menurut cerita, bahwa Abu Ahmad pulang dari Labuhan Haji menuju Aceh Besar dengan menggunakan sepeda selama 3 hari 3 malam bersama-sama dengan Abu Thantawi Jauhari dan Tgk.Mahyuddin.
Sesampainya di kampung halaman, Abu Ahmad Perti langsung berpidato di depan masyarakat tanpa rasa gentar sedikitpun. Dalam menyampaikan hujjahnya, beliau mengajak siapapun itu untuk berdialog dan berdebat dengan beliau. Alhamdulillah, tidak lama setelah itu, masyarakat dapat kembali melaksanakan I’adah Dzuhur rasa takut. Metode penyebaran Islam oleh beliau dilaksanakan dengan cara tegas dan efektif, jika telah didebatkan suatu permasalahan dan beliau memenangkan debat tersebut, maka tanpa kompromi masalah hukum agama tersebut langsung diamalkan dan direalisasikan di masyarakat.
Pada usia yang masih 32 tahun, Abu Ahmad Perti sudah mendirikan Dayah yang diberi nama Istiqamatuddin Darul Mu’arif. Dayah ini didirikan di tanah seluas 2,5 hektar di Desa Lambro Bileu, Kuta Baro. Pada masa itu di tanah tersebut banyak pohon Mangga Golek, sehingga beliau juga terkenal dengan panggilan Abu Ahmad Mamplam Golek. Untuk membeli pengeras suara (mix) pertama kalinya adalah dari hasil penjualan Mangga Golek dari kebun di Dayah tersebut.
Hal ikhwal nama Istiqamatuddin memiliki latar belakang cerita. Bahwa sepulang dari musyawarah untuk menentukan waktu awal puasa, beliau berbeda pendapat dengan sekelompok hadirin yang ada di musyawarah tersebut (ulama-ulama inshafuddin aceh besar dan se-kotamadya di rumah abu krueng kalee di kedah). Permasalahan saat itu adalah soal penetapan rukhyatulhilal untuk memulai puasa. Abu mengambil jalan untuk melihat bulan dengan hisab khumasy, tetapi bukan beramal dengan hisab khumasy, umpamanya orang memburu rusa dengan memakai anjing, dalam hal ini bukan anjingnya yang dimakan tapi rusanya yang dimakan.
Abu juga pernah bertanya masalah puasa pada Abu Chik Kuta Blang (ulama Aceh Utara yang belajar di Masjidil Haram selama 30 tahun). Dalam dialognya, Abu bertanya :
Abu Ahmad : hisab apa yang tidak pernah kacau di mekah?
Abu Chik : selama saya dimekah 30 tahun hisab yang tidak pernah kacau dimekah adalah hisab khumasy.
Istiqamatuddin berarti ketetapan dan keteguhan dalam beragama. Darul Mu’arrif artinya adalah sebuah negeri yang memperkenalkan hak dan bathil, Abu mengkasadkan didalam hatinya bilamana suatu ketika dunia ini bergejolak dengan berbagai prinsip yang berbeda tapi Insya Allah pesantren ini akan tetap dan teguh dalam prinsipnya yang suci. Beliau sering mengatakan dalam berbagai kesempatan,  “Yang hak tetap benar dan yang bathil tetap harus dikesampingkan, sekalipun dipoles dengan berbagai keindahan”. ungkap Abu.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Ketegasan Abu Ahmad Perti dapat terlihat dari sikap beliau ketika menanggapi masyarakat yang melakukan perbuatan maksiat. Dikisahkan jika Abu Ahmad Perti melihat orang-orang di warung kopi sedang bermain batu, maka beliau tidak segan-segan untuk membubarkan mereka sehingga masyarakat di sekitar akan berpikir dua kali kalau ingin berbuat yang tidak-tidak. Tindakan berani itu juga dilakukan pada masalah pemahaman agama dan diterapkan juga kepada para santrinya. Beliau termasuk ulama yang mengharamkan rokok dan tidak segan-segan untuk memukul santrinya dengan rotan apabila ketahuan ada yang merokok. Di dalam proses belajar mengajar, Abu Ahmad Perti selalu membukanya dengan berdo’a : ”Ya Allah, jadikanlah kami daripada golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah,dan jangan jadikan kami daripada golongan ahli bid’ah dan Wahabi”.
Pada sisi yang tegas dan gagah berani tersebut, juga tersimpan adanya keterbukaan dalam memberikan kesempatan bagi orang-orang yang berbeda paham. Abu tidak pernah lupa untuk menawarkan sebuah diskursus dan perdebatan terbuka mengenai hujjah yang dipegang. Ada sebuah cerita, Abu mendapatkan surat yang meminta kepada beliau untuk menyelesaikan masalah ajaran Salik yang telah meresahkan masyarakat di Kuta Iboeh (salah satu nama kampung di Labuhan Haji). Kemudian beliau datang ke masyarakat tersebut dan berpidato dengan judul “Membasmi Salik”. Pada penutup pidato beliau mengatakan, “Saya datang dari Banda Aceh tanpa membawa apa-apa, kalau ada yang tidak senang dengan ucapan saya dan mau berdebat, datanglah ke Dayah Darussalam akan saya tunggu dengan senang hati. Dan kalau ada yang mau menyihir saya, sihir saja sekarang kalau mampu, sesungguhnya Allah SWT menjadi pelindung setiap kebenaran!” Sungguh sebuah tindakan lugas yang terukur dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Seperti halnya pepatah : “tak kenal maka tak sayang”, Kharisma dan kewibawaan Abu Ahmad Perti membuat semua orang yang ditinggalkannya merasa sangat rindu dan kehilangan.
Abu mengambil tarekat pada Almarhum Abuya Prof. DR. Muhibbuddin Muhammad Waly, 6 tahun sebelum beliau meninggal dan setelah beliau naik haji. Beliau sudah menyiapkan tempat-tempat suluk di dayahnya. Allah menentukan segalanya, ketika hal tersebut belum tercapai, Abu telah dipanggil untuk selama-lamanya, tepatnya pada tanggal 27 oktober 1999 M / 17 rajab 1420 H.
Tepat dalam usia 63 tahun, beliau menghadap Allah SWT. Beliau meninggalkan 7 orang anak dan dua pesantren besar kepada Tgk. Thantawi Jauhari untuk Dayah Istiqmatuddin Darul Mu’arif dan menantu beliau Tgk. Mahdi M. Daud untuk memimpin Dayah putri Istiqmatuddin Darul Mu’ariffah. Seperti layaknya gurunya, Abu Muhammad Zamzami atau biasa dipanggil Abu Ahmad Perti, berpesan kepada seluruh murid-murid beliau dan seluruh pelajar yang sedang belajar di pesantren “istiqamatuddin” darul mu’arrif agar berdo’a dan berharap agar kedua Dayah yang ditinggalkannya ini dapatlah sampai ke tangan Nabi Isa AS. Amien ya Allah. Amien ya rabbal alamin.
(Ditulis oleh: Tgk. Naqsyabandi, dari berbagai sumber)[TF]