Rumoh Tgk. Chik Di Awe Geutah, Peusangan Siblah Krueng.
Di Desa Awe Geutah, Kecamatan Peusangan Siblah Krueng, Kabupaten Bireuen, ada rumah adat asli Aceh yang masih berdiri kokoh walau usianya sudah ratusan tahun lamanya. Namun, dibalik itu banyak yang tidak mengetahui riwayat tentang pendirinya, Teungku Chik Awe Geutah, seorang ulama yang sangat berperan dalam mengembangkan agama Islam di Aceh.
Sayangnya jasa-jasa Teungku Awe
Geutah seperti terlupakan. Belum ada sejarawan yang menulis riwayat
tentang ulama Sufi itu. Kebanyakan mereka hanya datang untuk melihat
pesona Rumoh Aceh yang masih terpelihara keasliannya sampai kini. Tanpa
ada yang mau peduli untuk mengabadikannya untuk kita kenang sepanjang
masa. Sehingga dikhawatirkan sejarah tentang tokoh ulama besar Aceh
tersebut akan punah ditelan masa.
Pihak keluarga Teungku Chik Awe
Geutah sendiri sudah banyak yang tidak mengetahui lagi secara mendetail
tentang riwayat ulama yang dikenal keramat itu. Makanya untuk menulis
kisah tentang Teungku Chik Awe Geutah sangat sulit. Sebab, tidak ada
literatur atau referensi sebagai pedoman untuk menguatkan kebenaran
penulisan sejarahnya itu.
Untunglah ada seorang peminat sejarah, khususnya tentang riwayat Teungku Chik Awe Geutah, yang masih tersisa di sana. Namanya Teungku Syamaun Cut alias Cut Teumeureuhom.
Sebenarnya dia bukan bukan keturunan Teungku Chik Awe Geutah. Tapi
kakeknya dulu pernah tinggal bersama anggota keluarga keturunan Teungku
Chik Awe Geutah.
Dari cerita-cerita kakeknya
itulah dia banyak mengetahui sejarah Teungku Chik Awe Geutah. Malah
buruh kilang padi itu punya dokumentasi khusus, dan mengetahui silsilah
Teungku Chik Awe Geutah sampai tujuh keturunan hingga saat ini. Nah,
tulisan ini berdasarkan penuturannya kepada saya beberapa waktu lalu di
bawah rumah Aceh tersebut. Keterangan laki-laki berusia 70 tahun itu,
juga dibenarkan beberapa anggota keluarga keturunan Teungku Chik Awe
Geutah yang mendampingi kami ketika itu.
Dikisahkan Cut Teumeuruhom, Teungku Chik Awe Geutah bernama asli Abdul Rahim bin Muhammad Saleh. Dia seorang ulama Sufi, yang berasal dari Kan’an, Iraq.
Kemudian merantau dan menetap di Desa Awe Geutah, sampai dia meninggal
di sana. Namun tidak diketahui persisnya tahun berapa dia pertama kali
menginjakkan kaki di desa pedalaman Kecamatan Peusangan Siblah Krueng
itu. Di batu nisannya pun tidak tertera tahun meninggal ulama besar
tersebut.
Perjalanannya mencari Awe Geutah
sebagai tempat menetap, sekaligus mengembangkan agama Islam yang aman
dan damai, punya kisah tersendiri. Syahdan sekitar abad ke 13 yang
lampau, Abdul Rahim bin Muhammad Saleh sekeluarga, serta tiga pria
saudara kandungnya, dan sejumlah pengikutnya melakukan hijrah.
Mereka meninggalkan tanah
kelahirannya.Sebab, waktu itu ada pertentangan antar pemeluk agama Islam
di sana, meyangkut perbedaan khilafiyah. Untuk menghindari perselisihan
yang bisa berakibat perpecahan antar pemeluk agama Islam itulah Abdul
Rahim bersama keluarga dan para pengikutnya berinisiatif melakukan
hijrah ke tempat lain.
Pencarian untuk mendapatkan
negeri yang aman dan tenteram itu, membuat mereka harus
menyingggahi beberapa tempat. Pertama Abdul Rahim beserta rombongan
mendarat di kepulauan Nicobar dan Andaman di Samudera Hindia. Kemudian
singgah di pulau Weh. Lalu ke pulau Sumatera, yang waktu itu mereka
menyebutnya pulau Ruja. Di pulau tersebut mereka menetap beberapa saat
di Gampong Lamkabeu, Aceh Besar.
Merasa belum menemukan tempat
yang cocok sebagai tempat menetap, lalu mereka melanjutkan lagi
pelayaran. Namun seorang saudara kandung Abdul Rahim tidak mau lagi
melanjutkan perjalanan. Namanya tidak diketahui persis. Dia saat itu
sudah memantapkan pilihan hatinya untuk bertahan di sana. Konon kabarnya
dia kemudian menetap di Tanoh Abee. Di sana dia membangun tempat
pengajian. Kelak dia lebih dikenal dengan nama Teungku Chik Tanoh Abee.
Sedangkan pengikut rombongan
Abdul Rahim kemudian melanjutkan pengembaraannya. Rombongan tersebut
akhirnya mendarat di Kuala Jangka (Kecamatan Jangka, Kabupaten
Bireuen-red). Sebab, mereka melihatdi situ banyak pelayar yang singgah.
Di sana mereka mendapati beberapa toke dari India yang melakukan
transaksi penjualan pinang di Kuala Jangka. Salah satunya bernama Cende.
Dia mengaku kepada Abdul Rahim, sudah sering pulang-pergi ke Kuala
Jangka. Waktu itu Kuala Jangka sudah menjadi pelabuhan yang maju, dan
disinggahi para pedagang dari berbagai negara.
Rombongan Abdul Rahim kemudian
menetap di Asan Bideun (Sekarang Desa Asan Bideun,
Kecamatan Jangka-red). Mereka tinggal beberapa waktu dan mendirikan
balai pengajian untuk mengembangkan dan mengajarkan ilmu agama Islam
kepada penduduk di sana. Suatu hari Abdul Rahim melihat beberapa
perempuan setempat, termasuk istrinya, yang kemudian dikenal dengan nama
Teungku Itam, pulang mencuci di sungai dengan berkemben (memakai kain
yang menampakkan bagian dada atas). Melihat pemandangan yang tidak
biasanya itu, Abdul Rahim punya firasat lain. Dia berkesimpulan, Asan
Bideun bukanlah tempat yang cocok sebagai tempat mereka menetap. Negeri
itu sudah laklim.
Lalu mereka sepakat pindah ke
tempat lain. Kali ini rombongan terpecahb lagi, mereka terbagi tiga
kelompok. Satu kelompok yang dipimpin adiknya Abdul Rahim menuju Paya
Rabo dan menetap di sana (Sekarang Desa Paya rabo masuk wilayah
Kecamatan Sawang, Kabupaten Aceh Utara). Kelompok yang dipimpin adiknya
yang lain pergi dan menetap di Pulo Iboh (Sekarang masuk wilayah
Kecamatan Jangka).
Sedangkan satu kelompok lagi
yang dipimpin Abdul Rahim sendiri hijrah ke Keudee Asan (Sekarang masuk
wilayah Kecamatan Peusangan Selatan). Di sana rombongan tersebut sempat
menetap beberapa waktu, dan mengadakan pengajian bagi penduduk setempat.
Namun setelah sekian lama
menetap di Keudee Asan, dia merasa tempat itu belum cocok untuk
dijadikan tempat menetap yang benar-benar sesuai keinginannya. Untuk
itulah Abdul Rahim melaksanakan shalat istikharah empat malam
berturut-turut, untuk memohon petunjuk dari Allah, dan harus naik ke
atas bukit menghadap empat arah penjuru mata angin.
Malam pertama setelah Abdul
Rahim melaksanakan shalat istikharah tengah malam, dia naik ke sebuah
bukit yang cukup tinggi, namanya Gle Sibru (Sekarang masuk wilayah Desa
Cibrek, Kecamatan Peusangan Selatan). Di atas bukit itu Abdul Rahim
berdiri menghadap ke arah selatan. Agak lama juga dia menatap ke sana,
namun tidak tampak apa-apa. Yang terlihat hanya pucuk labu. Konon
kabarnya, pucuk labu yang dilihat Abdul Rahim itu adalah Desa
Geulanggang Labu, Kecamatan Peusangan Selatan sekarang.
Malam kedua, setelah shalat
istikharah, Abdul Rahim naik lagi ke atas bukit tersebut. Kali ini dia
menghadap ke arah barat, tapi dia tidak melihat apapun. Malam berikutnya
dia juga melakukan hal yang sama, dengan menghadap ke arah utara.
Hasilnya tetap nihil, tidak mendapatkan petunjuk apa-apa.
Baru pada malam keempat Abdul
Rahim mendapatkan hasilnya. Ketika dia menghadap ke arah
timur, pandangan matanya terlihat sesuatu. Seberkas cahaya putih bersih
dia lihat menyembul di sana. Abdul Rahim berkeyakinan, di daerah
sembulan kilauan cahaya itulah tempat yang aman dan damai sebagai tempat
tinggal yang permanen.
Maka keesokan harinya mereka
langsung berangkat menuju ke daerah asal cahaya tadi. Singkat cerita,
sesuai petunjuk Abdul Rahim yang memimpin perjalanan, tibalah mereka di
sebuah tempat yang diyakininya sebagai daerah asal cahaya itu.
Saat itu, di sana masih berhutan
belantara. Kemudian hutan-hutan itu mereka tebang dan bersihkan untuk
dijadikan perkampungan. Suatu hari sambil melepas lelah, setelah capek
bergotong-royong, Abdul Rahim menanyakan pada rekan-rekannya, apa nama
yang cocok ditabalkan untuk tempat pemukiman baru itu. Ada beberapa nama
yang diusulkan mereka, tapi dirasakan tidak ada yang cocok.
Seorang di antara mereka, sambil
duduk-duduk membersihkan getah rotan yang lengket di
tangannya, mengusulkan sebuah nama. “Untuk apa capek-capek memikirkan
nama. Bagaimana kalau kita namai saja Awe Geutah?” tanya orang itu.
Usulan itu pun diterima Abdul Rahim dan rekan-rekan mereka yang lain.
Nah, sejak saat itulah tempat pemukiman baru mereka itu dinamakan Awe
Geutah.
***