Sabtu, 25 Mei 2013

Biografi Abon Samalanga | Syeikh Abdul Aziz Samalanga

Biografi Abon Samalanga | Syeikh Abdul Aziz Samalanga - Pada kesempatan ini kita akan mengenal sosok yang sangat berpengaruh bagi perkembangan pesantren/dayah MUDI mesra Samalanga. Sosok ini tidak lain tidak bukan melain ABON samalanga yang merupakan murid kesayangan dari seorang mujaddid yaitu Hadhratu Syeikh Abuya Muda Waly Al-Khalidy. Bukan hanya berpengaruh bagi Mudi Mesjid raya, akan tetapi beliau adalah seorang ulama besar yang begitu penting bagi perkembangan Islam di Aceh. Mari kita telusuri lebih jauh tentang kehidupan beliau.

Syeikh Abdul Aziz Samalanga

Biografi Abon Samalanga

Nama asli beliau adalah Syeikh. H. Abdul Aziz bin Muhammad Shaleh, beliau lebih akhrab disapa Abon `Aziz Samalanga atau Abon Mesjid Raya Samalanga. Beliau lahir di Desa Kandang Samalanga Kabupaten Aceh Utara (Kabupaten Bireuen sekarang ini), pada bulan Ramadhan tahun 1351 H/1930 M. Abon menikah dengan seorang putri dari Syeikh Abi Hanafiah, gurunya (Pimpinan Dayah LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga) pada waktu itu. Dari pernikahannya dengan putri gurunya itu, Abon dikaruniai 4 orang anak, yaitu Alm. Hj. Suwaibah, Hj. Shalihah, Tgk H. Athaillah, dan Hj. Masyitah. Abon Aziz dipanggil kehadhirat-Nya pada tanggal 9 Jumadil Akhir 1409/17 Januari 1989 dengan usia 58 tahun. Jenazahnya dikebumikan di komplek putra dayah LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga Kabuapten Bireuen.

Pendidikan Syeikh Abdul Aziz Samalanga

Abon mulai belajar pada pendidikan formal pada tahun 1937, Abon memasuki Sekolah Rakyat (SR) dan menamatkan pendidikan dasarnya pada tahun 1944. Dari tahun 1944 beliau belajar pada orang tuanya selama 2 tahun, kebetulan ayahandanya merupakan salah seorang pendiri Dayah Darul `Atiq Jeunieb sehingga Abon dari masa kecilnya sudah mulai belajar ilmu pendidikan agama di Dayah tersebut. Pada tahun 1946 beliau pindah belajar ke Dayah LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga yang pada waktu itu dipimpin oleh Tgk. H. Hanafiah (Teungku Abi) lebih kurang selama 2 tahun.

Pada tahun 1948 Abon melanjutkan pendidikannya ke salah satu dayah yang dipimpin oleh teungku Ben (teungku Tanjongan) di Matangkuli Kabupaten Aceh Utara. Di dayah ini Abon belajar pada Teungku Idris Tanjongan sampai dengan tahun 1949, dan pada tahun tersebut beliau kembali lagi ke Dayah LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga untuk mengabdikan diri menjadi guru di dayah tersebut. Setelah beliau mengabdi menjadi guru beberapa tahun, pada tahun 1951 Abon melanjutkan pendidikannya ke Dayah Darussalam Labuhan Haji Kabupaten Aceh Selatan yang dipimpin oleh Almarhum Teungku Syeikh Muhammad Waly Al-Khalidi yang lebih dikenal dengan panggilan Abuya Mudawali. Abon belajar di Dayah Darussalam lebih kurang tujuh tahun.

Selama di Darsussalam beliau belajar dengan tekun, pernah di ceritakan oleh Tgk. Muhammad Amin Tanjongan (abon tanjongan) yang merupakan murid Abon yang juga belajar di Labuhan Haji, bahwa pada saat muthala`ah beliau membuka segala kitab yang berkenaan dengan pelajaran yang sedang beliau pelajari, sehingga kamar beliau terlihat berserakan dengan kitab.

Pada tahun 1958 Abon kembali lagi ke Dayah LPI MUDI Mesjid Raya samalanga untuk mengembangkan ilmunya. Pada tahun tersebut pimpinan Dayah LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga meninggal dunia, sehingga Abon diangkat menjadi pimpinan dayah tersebut. Semenjak dayah LPI MUDI Mesjid Raya berada di bawah kepemimpinannya, banyak perubahan terjadi, terutama menyangkut tentang kurikulum pendidikan yang semula tidak terlalu fokus pada ilmu-ilmu alat (bantu) seperti ilmu manthiq, ushul al-fiqh, bayan, ma‘ani, dan lain-lain.

Keahlian Abon yang sangat menonjol adalah dalam bidang ilmu manthiq, sehingga Abon digelar dengan al-Manthiqi. Bahkan kepiawan Abon dalam penguasaan ilmu agama di akui oleh Syeikh Arsyad Lubis. Pernah Abuya Jamaluddin Waly menceritakan, pada suatu hari Syekh Arsyad Lubis dari Medan menemui Abon, beliau sangat kagum mendengar uraian kitab yang disampaikan oleh Abon. Syekh Arsyad Lubis bertanya kepada Abon "Apakah sudah habiskah ilmu yang dimiliki oleh Syekh Muda Waly diajarkan kepada Abon’’. Abon menjawab bahwa ilmu Abon belumlah 10 % dari ilmu yang dimiliki oleh Syekh Muda Waly.

Abon sangat disiplin dan memiliki semangat luar biasa dalam mengajar, sehingga dalam keadaan beliau sakit pun beliau tetap antusias mengajar. Dalam bulan Ramadhan dimana sebagian besar santri pulang kampung halaman dan sebagian besar pengajian di dayah di Aceh diliburkan, Abon masih mengajar santri-santrinya yang masih menetap di Dayah tidak pulang kekampung halaman. Beliau tidak membacakan kitab kitab yang besar, tetapi hanya kitab yang kecil yaitu kitab Awamel, sebuah kitab nahu yang lazimnya dipelajari oleh para santri pemula. Dalam membacakan kitab ini beliau menjelaskan penjelasan beringkat, mulai dari pembahasan yang rendah yang mampu di pahami oleh santri kelas rendah kemudian di lanjutkan dengan pemahaman yang lebih tinggi untuk santri kelas tinggi dan para dewan guru Maka tidak heran jika dalam nasehatnya, beliau selalu mengamanatkan kepada murid-muridnya untuk selalu belajar-mengajar (beut-seumubeut). Dalam pengajarannya, Abon sangat membenci faham Wahabiyyah sehingga beliau tidak pernah bosan dalam mengurai kesesatan faham tersebut. Bahkan hampir setiap hari Abon menyinggung tentang kesesatan faham tersebut.

Kemajuan dayah pada masa kepemimpinan Abon meningkat pesat, jumlah santri dari jumlah ratusan menjadi ribuan, bangunan fisik dayah pun juga berkembang sesuai dengan perkembangan zaman yang terus maju. Selain dari aktifitas Abon di dayah, Abon juga membuka pengajian mingguan di Jeunieb yang dikenal dengan Balee Hameh, karena pengajian diadakan seminggu sekali pada hari Kamis.

Disamping aktifitas dakwah melalui majelis pengajian, Abon juga ikut dalam pembangunan fisik, seperti membangun jalan menuju perkebunan di Desa Gle Mendong Samalanga, dan menggarap sawah yang telah terlantar bertahun-tahun. Bersama-sama dengan murid-muridnya serta dibantu oleh masyarakat sekitar, Abon menata kembali perkebunan dan persawahan telantar, semua beliau lakukan demi hidupnya perekonomian masyarakat.

Dalam dunia perpolitikan, Abon pernah memberi dukungan kepada partai PERTI. Abon memilih partai tersebut karena partai ini berlatarbelakang faham ahlussunnah waljama‘ah.

Dari semua aktifitas Abon, tidak ada yang lebih utama bagi beliau selain mengajar. Alokasi waktu untuk kegiatan ekonomi atau politik diatur dalam skedul yang tidak mengganggu jadwal mengajar. Kristalisasi dari sikap inilah yang mendasari beliau untuk selalu berpesan kepada murid-muridnya agar selalu mengutamakan belajar-mengajar (beut-seumubeut), di mana pun dan dalam kondisi bagaimana pun sepulang dari dayah nantinya, walau hanya bermodal sebuah balai di depan rumah dan hanya mampu mengajarkan cara membaca al-quran saja.

Pesan tersebut telah menjadi doktrin yang menjiwai pemikiran murid-murid beliau. Kiranya inilah misi utama beliau yang sekarang telah nyata hasilnya. Terbukti dari banyak dayah dan balai pengajian di sebagian besar wilayah Aceh, merupakan lembaga yang dipimpin oleh alumni Dayah LPI MUDI Mesjid Raya. Dari seluruh murid Syeikh Abuya Muda Waly al-Khalidy, Abon Abdul Aziz merupakan ulama yang paling banyak melahirkan penerus. Beliau berhasil mendidik kader ulama melebihi dari murid-murid Abuya yang lain.

Selain pesan untuk selalu beut seumebeut (belajar mengajar) dalam hal mencari nafakah Abon juga selalu menekankan murid-murid beliau supaya bekerja dan memiliki usaha jangan hanya berpangku tangan mengharap bantuan dan sedekah orang lain yang Abon istilah dengan kata beliau “leubee lam aree”.

Selain itu, Abon juga memiliki firasat yang tajam dan kuat. Ini merupakan salah satu karamah beliau. Beberapa perkataan beliau terbukti kebenarannya. Beberapa kisah ketajaman firasat Abon yang kami dengar antara lain:
  1. Diceritakan oleh Abu Mudi, pada suatu hari datang dua santri baru di dayah Mudi. Pada saat menghadap Abon, salah seorang dari santri baru tersebut dipandang oleh Abon dengan cukup lama, setelah ke dua santri tersebut keluar, Abu Mudi yang menyaksikan hal tersebut bertanya kepada Abon, mengapa Abon berlaku demikian, Abon menjawab “esok hari ia akan pergi meninggalkan dayah”. Abu Mudi pun bertanya :”Bagaimana dengan santri yang satu lagi?” Abon menjawab bahwa ia akan bertahan did ayah selama beberapa saat. Esok harinya hal ini terbukti, santri yang dipandang oleh Abon tersebut langsung hengkang dari dayah, sedangkan yang satu lagi tetap bertahan sampai beberapa tahun.
  2. Abon pernah ditanyakan oleh salah satu murid mengapa Abon tidak membentuk ikatan alumni sebagaimana dilakukan oleh Abu Tepin Raya pada Dayah beliau, Darus Sa`adah. Abon menjawab: itu tidak perlu saya pikirkan, suatu saat akan dipikirkan oleh mereka sendiri. Hal ini terbukti, saat ini alumni Mudi telah memiliki satu ikatan organisasi yang tergabung dalam Yayasan al-Aziziyah.
  3. Abu Mudi menceritakan, Pada awalnya waled Nu (Tgk.Nuruz Zahri, pimpinan pesantren Nurul Aiman, Samalanga) hanya mendirikan panti asuhan bukan sebuah dayah. Pada suatu ketika Abon mengatakan bahwa "nyak Nu (waled Nu) suatu saat akan mendirikan Dayah." Hal ini terbukti bahwa sekarang ini panti asuhan yang dikelola Waled Nu telah berkembang menjadi satu dayah yang besar yang terletak tidak jauh dari Dayah Mudi Mesra.
Dalam hal mendidik muridnya, Abon juga mencoba mental murid-murid beliau. Hal ini semua bertujuan untuk tazkiyah hati murid. Seperti yang oleh Abu Mudi, pada suatu hari Abu Mudi sudah siap dengan pakaian yang rapi ingin menuju ke pasar Samalanga, tiba-tiba beliau dipanggil oleh Abon, setelah sampai didepan Abon, beliau mengajak Abu Mudi menuju kesawah tanpa menunggu Abu Mudi mengganti pakain. Akhirnya Abu Mudi ikut bersama Abon menuju sawah dengan pakaian yang rapi. Sampai disawah, Abon menyuruh kepada Abu Mudi untuk memperbaiki pematang sawah. Abu Mudi segera melakukannya, sedangkan Abon memperhatikan bagaimana pekerjaan Abu Mudi. Setelah selesai barulah Abon mengatakan bahwa hasil kerja Abu Mudi salah, sehingga Abu Mudi harus memulainya dari pertama lagi. Rupanya Abon sengaja tidak menegur kesalahan Abu Mudi dari awal Karena ingin mencoba Abu Mudi. Contoh yang lain adalah sikap Abon terhadap murid yang bersifat bakhil dan kikir. Abon akan mengujinya dengan cara meminta pinjam milik murid tersebut, pernah suatau saat salah seorang murid Mudi yang dikenal kikir dan memilki sebuah sepeda baru, maka Abon langsung meminjam sepeda tersebut.
Makam Abon Samalanga | Syeikh Abdul Aziz Samalanga
Abon berpulang ke hadharat-Nya pada tanggal 9 Jumadil Akhir 1409/17 Januari 1989 dalam usia 58. Beliau dikebumikan di Samalanga, di komplek putra Dayah LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga Kabuapten Bireuen. Semoga Allah memberi pengampunan kepada beliau, menempatkan beliau dalam satu kebun daripada kebun syurga sesuai dengan amal baik yang telah beliau lakukan. Amiin!

Sebagai tambahan, silakan click di Syaikh Abdul Aziz bin Shaleh (Abon Samalanga)

Ref:
- http://islamiccenterr.blogspot.com/
- http://iwanms.blogspot.com/2012/07/abon-aziz-samalanga-1930-1989.html

Biografi Abuya Muda Waly al Khalidy

Biografi Sheikh Muda Waly al Khalidy - Pada kesempatan ini kita akan mengenal sosok ulama besar Aceh yang ilmunya menyebar ke se antoro Aceh, karena murid-muridnya menjadi ulama-ulama besar Aceh, beliau adalah Abuya Muda wali al-khalidy.

Abuya Muda Waly Al khalidy dilahirkan diDesa Blang poroh, kecamatan Labuhan Haji, kabupaten Aceh Selatan, pada tahun 1917. Beliau adalah putra bungsu dari Sheikh H. Muhammad Salim bin Malin Palito. Ayah beliau berasal dari Batu sangkar, Sumatra Barat. Beliau datang ke Aceh Selatan selaku da`i. Sebelumnya, paman beliau yang masyhur dipanggil masyarakat oleh Labuhan Haji dengan Tuanku Pelumat yang nama aslinya Sheikh Abdul Karim telah lebih dahulu menetap di Labuhan Haji.
Biografi Abuya Muda Waly al Khalidy
Tak lama setelah Sheikh Muhammad salim menetap di Labuhan Haji, beliau dijodohkan dengan seorang wanita yang bernama Siti Janadat, putri seorang kepala desa yang bernama Keuchik Nya` Ujud yang berasal dari Desa Kota Palak, Kecamatan Labuhan Haji, Aceh Selatan. Siti Janadat meninggal dunia pada saat melahirkan adik dari Sheikh Muda Waly. Beliau meninggal bersama bayinya. Syekh Muhammad salim sangat menyayangi Sheikh Muda Wali melebihi saudaranya yang lain. Kemana saja beliau pergi mengajar dan berda`wah Sheikh Muda Waly selalu digendong oeh ayahnya. Mungkin Sheikh Muhammad Salim telah memiliki firasat bahwa suatu saat anaknya ini akan menjadi seorang ulama besar, apalagi pada saat Sheikh Muda Waly masih dalam kandungan, beliau bermimpi bulan purnama turun kedalam pangkuannya.

Nama Abuya Muda Waly pada waktu kecil adalah Muhammad Waly. Pada saat beliau berada di Sumatra Barat, beliau dipanggil dengan gelar Angku Mudo atau Angku Mudo Waly atau Angku Aceh. Setelah beliau kembali ke Aceh masyarakat memanggil beliau dengan Teungku Muda Waly. Sedangkan beliau sering menulis namanya sendiri dengan Muhammada Waly atau lengkapnya Syekh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy.

Perjalanan pendidikan Abuya Muda Waly

Syekh Muda Waly belajar belajar A-Qur an dan kitab-kitab kecil tentang tauhid, fiqh, dan dasar ilmu bahasa arab kepada ayahnya. Disamping itu beliau juga masuk sekolah Volks-School yang didirikan oleh Belanda. Setelah tamat sekolah Volks School, beliau dimasukkan kesebuah pesantren di ibu kota Labuhan Haji, Pesantren jam`iah Al-Khairiyah yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Ali yang dikenal oleh masyarakat dengan panggilan Teungku Lampisang dari Aceh Besar sambil beliau sekolah di Vervolg School. Setelah lebih kurang 4 tahun belajar di pesantren Al-Khairiyah, beliau diantarkan oleh ayahnya ke pesantren Bustanul Huda di ibukota kecamatan Blangpidie. Sebuah pesantren Ahlussunnah wal jama'ah sama seperti Pesantren Al-Khairiyah yang dipimpin oleh seorang ulama besar yang datang dari Aceh Besar, Syekh Mahmud. Dipesantren Bustanul Huda barulah beliau mempelajari kitab-kitab yang masyhur dikalangan ulama Syafi`iyah seperti I`anatut Thalibin, Tahrir, dan Mahally dalam ilmu fiqh, Alfiyah dan Ibn 'Aqil dalam ilmu nahwu dan sharaf.
Gambar Abuya muda wali
Setelah beberapa tahun di Pesantren Bustanul Huda, terjadilah satu masalah antara beliau dengan gurunya, Teungku Syekh Mahmud. Yaitu perbedaan perdapat antara beliau dengan gurunya tentang masalah berzikir dan bershalawat sesudah shalat didalam masjid secara jahar. Dikemudian harinya Syeikh Muda waly ingin melanjutkan pendidikan kepesantren lainnya di Aceh Besar, tetapi sebelumnya, ayah syekh Muda Waly, Haji Muhammad Salim meminta izin kepada Syekh Mahmud, minta do'anya untuk dapat melanjutkan pendidikan kepesantren lainya dan yang terpenting meminta maaf atas kelancangan Syekh Muda Waly berbeda pendapat dengan gurunya dalam masalah tersebut. Berkali-kali beliau dan ayahnya meminta ma'af kepada Syekh Mahmud tetapi beliau tidak menjawabnya. Pada akhirnya setelah beliau kembali dari Sumatra Barat dan Tanah suci Makkah, maka timbullah kasus di kecamatan Blang Pidie. Ada seorang ulama dari kaum Muda dari PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh)yang bernama Teungku Sufi, mendirikan Madrasah Islahul Umum di Susuh, Blang Pidie, berda`wah dan membangkitkan masalah-masalah khilafiyah. Dalam satu perdebatan terbuka di ibukota kecamatan Blang Pidie, dia mengungkapkan dalil dan alasannya sehingga hampir kebanyakan ulama termasuk Teungku Haji Muhammad Bilal Yatim dapat dikalahkan. Tetapi pada waktu giliran perdebatan Teungku Sufi tersebut dengan Syekh Muda Waly semua dalil dan alasannya beliau tolak, beliau hancurkan tembok-tembok alasannya sehingga kalah total didepan umum. Tak lama setelah itu barulah Syeikh Mahmud mema'afkan kesalahan Syekh Muda Waly yang berani berbeda pendapat dengan gurunya tersebut pada waktu masih belajar di Bustanul Huda.

Setelah beberapa tahun belajar di Bustanul Huda, beliau mengungkapkan niatnya untuk melanjutkan pendidikannya kepesantren di Aceh Besar kepada ayahnya, Syekh H.Muhammad Salim. Ayah beliau sangat senang mendengarkan niat beliau. Apalagi Syekh H.Muhammad Salim telah mengetahui bahwa putranya ini telah menamatkan kitab-kitab agama yang dipelajari di Pesantren Bustanul Huda. Sebagai bekal dalam perjalanan beliau dari Labuhan Haji, ayahanda beliau memberikan sebuah kalung emas yang lain merupakan milik kakak kandung Syekh Muda Waly, yaitu Ummi Kalsum. Beliau diantar oleh ayahanda beliau dari desanya sampai ke kecamatan Manggeng. Setelah sampai ke Manggeng, ayahanda beliau berkata "Biarkan aku antarkan engkau sampai ke Blang Pidie". Sesampainya di Blang Pidie, Syekh Muhammad Salim berkata kepada putranya Syekh Muda Waly "biarkan aku antarkan engkau sampai ke Lama Inong".Pada kali yang ketiga ini Syekh Muda Waly merasa keberatan, karena seolah-olah beliau seperti tidak rela melepaskan anaknya merantau jauh untuk menuntut ilmu. Syeikh Muda Waly berangkat ke Aceh Besar ditemani seorang temannya yang juga merupakan tamatan dari pesantren Busranul Huda, namanya Teungku Salim, beliau merupakan seorang yang cerdas dan mampu membaca kitab-kitab agama dengan cepat dan lancar.

Sesampainya di Banda Aceh, beliau berniat memasuki Pesantren di Krueng Kale yang dipimpin oleh Syeikh H.Hasan Krueng Kale, ayahanda dari Syekh H.Marhaban, menteri muda pertanian Indonesia para masa Sukarno. Beliau sampai di Pesantren Krueng kale pada pagi hari, pada saat syeikh Hasan Krueng Kale sedang mengajar kitab-kitab agama. Diantara kitab yang dibacakan adalah kitab Jauhar Maknun. Syekh Muda Waly mengikuti pengajian tersebut. Sebelum Dhuhur selesailah pembacaan kitab tersebut, dengan kalimat terkhir Wa huwa hasbi wa ni'mal wakil. Setelah selesai pengajian Syeikh Muda Waly merasa bahwa syarahan-syarahan yang diberikan oleh Syekh Hasan Krueng Kale tidak lebih dari pengetahuan yang beliau miliki dan apabila beliau membacakan kitab tersebut maka beliau juga akan sanggup menjelaskan seperti syarahan yang dipaparkan oleh Syekh Hasan. Walaupun demikian beliau tetap menganggap Syekh Hasan Krueng Kale sebagai guru beliau. Bagi Syekh Muda Waly cukuplah sebagai bukti kebesaran Syekh Hasan Krueng Kale, apabila guru beliau Syeikh Mahmud Blang Pidie adalah seorang alumnus Pesantren Kuerng Kale. Syekh Muda Waly hanya satu hari di Pesantren krueng Kale. Beliau bersama Tengku Salim mencari pesantren lain untuk menambah ilmu. Akhirnya merekapun berpisah. Pada saat itu ada seorang ulama lain di Banda Aceh yaitu Syekh Hasballah Indrapuri, beliau memiliki sebuah Dayah di Indrapuri. Pesantren ini lebih menonjol dalam ilmu Al-Qur an yang berkaitan dengan qiraat dan lainnya. Syeikh Muda Waly merasakan bahwa pengetahuan beliau tentang ilmu Al–Quran masih kurang. Inilah yang mendorong beliau untuk memasuki Pesantren Indrapuri. Pesantren Indrapuri tersebut dalam symtem belajar sudah mempergunakan bangku, satu hal yang baru untuk kala itu. Pada saat mengikuti pelajaran kebetulan ada seorang guru yang membacakan kitab-kitab kuning, Syekh Muda Waly tunjuk tangan dan mengatakan bahwa ada kesalahan pada bacaan dan syarahannya, maka beliau meluruskan bacaan yang benar beserta syarahannya. Dari situlah Ustad dan murid-murid kelas itu mulai mengenal anak muda yang baru datang kepesantren itu dan memiliki pengetahuan yang luas. Maka ustaz tersebut mengajak beliau kerumahnya dan memerintahkan kepada pengurus pesantren untuk mempersiapkan asrama tempat tinggal untuk beliau, kebetulan sekali pada saat itu perbekalan yang dibawa Syeikh Muda Waly sudah habis, maka dengan adanya sambutan dari pengurus pesantren tersebut beliau tidak susah lagi memikirkan belanja.

Pimpinan Pesantren Indrapuri tersebut, Teungku Syekh Hasballah Indrapuri sepakat untuk mengangkat Syekh Muda Waly sebagai salah satu guru senior di Pesantren tersebut. Semenjak saat itu Syekh muda Waly mengajar di pesantren tersebut tanpa mengenal waktu. Pagi, siang, sore dan malam semua waktunya dihabiskan untuk mengajar. Tinggallah sisa waktu luang hanya antara jam dua malam sampai subuh. Waktu waktu itupun tetap diminta oleh sebagian santri untuk mengajar. Selama tiga bulan beliau mengajar di Dayah tersebut. Karena padatnya jadwal beliau dan beliau kelihatan kurus, tetapi alhamdulillah walaupun demikian beliau tidak sakit. Setelah sekian lamanya di Pesantren Indrapuri, datanglah tawaran dari salah seorang pemimpin masyarakat yaitu Teuku Hasan Glumpang payung kepada Syekh Muda Waly untuk belajar ke sebuah perguruan di Padang, Normal Islam School yang didirikan oleh seorang ulama tamatan Al-Azhar, Mesir Ustad Mahmud Yunus. Teuku Hasan tersebut setelah memperhatikan pribadi syekh Muda Waly, timbullah niat dalam hatinya bahwa pemuda ini perlu dikirim ke Al-Azhar, Mesir. Tetapi karena di Sumatra Barat sudah terkenal ada seorang Ulama yang telah menamatkan pendidikannya di Al Azhar dan Darul Ulum di Cairo, Mesir yang bernama Ustad Mamud Yunus yang telah mendirikan sebuah perguruan di Padang yang bernama Normal Islam School yang sudah terkenal kala itu melebihi perguruan perguruan sebelumnya seperti Sumatra Thawalib. Oleh sebab itu Teuku Hasan mengirimkan Syekh Muda Waly ke pesantren tersebut sebagai jenjang atau pendahuluan sebelum melanjutkan ke al Azhar. Berangkatlah Syekh Muda Waly menuju Sumatra barat dengan kapal laut. Beliau sama sekali tidak mengetahui tentang Sumatra Barat sedikit pun, dimana letak Normal Islam School dan kemana beliau harus singgah. Tiba-tiba saja ada seorang penumpang yang telah lama memperhatikan tingkah laku dan gerak gerik Syekh Muda Waly selama di kapal, orang tersebut bersedia membantu Syekh Muda Waly untuk bisa sampai ketempat yang beliau tuju.

Abuya muda waly

Setelah sampai di Normal Islambeliau segera mendaftarkan diri di Sekolah tersebut. Lebih kurang tiga bulan beliau di Normal Islam dan akhirnya beliau mengundurkan diri dan keluar dengan hormat dari Lembaga pendidikan tersebut. Hal ini beliau lakukan dengan beberapa alasan:
  1. Cita-cita melanjutkan pendidikan kemana saja termasuk ke Normal Islam dengan tujuan memperdalam ilmu agama, karena cita-cita beliau mudah-mudahan beliau menjadi seorang ulama sperti ulama-ulama besar lainnya. Tetapi rupanya ilmu agama yang diajarkan di normal Islam amat sedikit. Sehingga seolah olah para pelajar disitu sudah dicukupkan ilmu agamanya dengan ilmu yang didapati sebelum memasuki pesantren tersebut.
  2. Di normal Islam pelajaran umum lebih banyak diajrakan ketimbang pelajaran agama. Disana diajarkan ilmu matematika, kimia, biologi, ekonomi, ilmu falak, sejarah Indonesia, bahasa inggris, bahasa belanda, ilmu khat dan pelajaran olahraga.
  3. Di normal Islam beliau harus menyesuaikan diri dengan peraturan-peraturan di lembaga tersebut, Di situ para pelajar diwajibkan memakai celana, memakai dasi, ikut olah raga disamping juga mengikuti pelajaran umum diatas. Menurut hemat Syeikh Muda Waly, kalau begini, lebih baik beliau pulang ke Aceh mengamalkan dan mengembangkan ilmu yang telah beliau miliki daripada menghabiskan waktu dan usia di Sumatra Barat.

Setelah beliau keluar dari Normal Islam, beliau bertemu dengan salah seorang pelajar yang juga berasal dari Aceh dan sudah lama di Padang yaitu Ismail Ya`qub, penerjemah Ihya `ulumuddin. Bapak Ismail Ya`qub menyampaikan kepada Syekh Muda Waly supaya jangan cepat cepat pulang ke Aceh,tetapi menetaplah dulu di Padang,barangkali ada manfaatnya. Pada suatu sore beliau mampir untuk berjamaah maghrib di sebuah surau yaitu di Surau Kampung Jao. Setelah shalat maghrib kebiasaan disurau itu diadakan pengajian dan seorang ustaz mengajar dengan membaca kitab berhadapan dengan para jamaah. Rupanya apa yang di baca oleh ustaz itu beserta syarahan yang di sampaikan menurut Syekh Muda Waly tidak tepat, maka beliau membetulkan. Sehingga ustaz itu dapat menerima. Sedangkan jamaah para hadirin bertanya-tanya tentang anak muda yang berani bertanya dan membetulkan pendapat ustaz itu. Akhirnya para jamaah beserta ustaz tersebut meminta beliau supaya datang kesurau itu untuk menjadi imam solat dan mengajarkan ilmu agama. Begitulah dari hari ke hari, ayahku mulai dikenal dari satu surau ke surau yang lain, dan dari satu mesjid ke mesjid yang lain. Apalagi beliau bukan orang padang, tetapi dari daerah Aceh dan nama Aceh sangat harum dalam pandangan ummat islam Sumatra barat. Dan yang lebih mengagumkan lagi ialah kemahiran beliau dalam ilmi fiqh, tasawwuf, nahu dan lain. Barulah sejak itu beliau dipangil oleh masyarakat dengan Angku Mudo atau Angku Aceh. Pada masa itu pula sedang hangat-hangatnya di Sumatra Barat tentang masalah- masalah keagamaan yang sifatnya adalah sunat-sunat, seperti masalah usalli, masalah hisab dalam memulai puasa Ramadan, hari raya ‘Id al –fitr dan lain lain. Terjadilah perdebatan antara kelompok kaum tua dengan kelompok kaum muda. Syekh Muda Waly berasal dari Aceh dalam kelahiran, dan pendidikannyai, tentu saja berpendirian dalam semua masalah masalah itu seperti pendirian para ulama Aceh sejak zaman dahulu, karena semua ulama Aceh khususnya dalam bidang syari’at dan fiqh islam tidak ada bertentangan antara yang satu dengan yang lain. Apalagi ulama ulama Aceh zaman dahulu seperti syeikh Nuruddin al-Raniri, Syeikh Abdul Rauf al-singkili [Syiahkuala], Syeikh Hamzah Fansuri, Syekh Syamsuddin Sumatrani dan lain lain.
syeikh abuya muda waly
Semuanya bermazhab Syafi'i dan antara mereka tidak terjadi pertentangaan dalam syari`at dan fiqh Islam kecuali hamya perbedaan pendapat dalam masalah tauhid yang pelik dan sangat mendalam, yaitu masalah Wahdah al-Wujud, juga masalah hukum Islam yang berkaitan dengan politik, seperti masalah wanita menjadi raja. Karena itulah maka semua masalah masalah kecil di atas sangat dikuasai oleh Syeikh Muda Waly dalil-dalil hukum dan alasan alasannya, al Qur’an dan hadist, dan juga dari kitab kitab kuning. Karena itulah, maka terkenallah beliau di kota padang dan mulai dikenal pula oleh seorang ulama besar di kota padang itu, yaitu syeikh Haji Khatib Ali, ayahandanya Prof.Drs.H. Amura. Syeikh Khatib Ali ulama besar ahli al-sunnah wa al-jama’ah dipadang. Murid daripada Syeikh Ahmad Khatib di Mekkah Al-Mukarramah. beliu mendapat ijazah ilmu agama dari Syeikh Ahmad Khatib dan mendapat pula ijazah Tariqat Naqsyabandiyah daripada Syeikh Ustman Fauzi Jabal Qubais Mekkah al-mukarramah. Yang menjadikan beliu terkenal di padang karena kegigihannya mempertahankan 'aqidah ahli al-sunnah wa al-jama`ah dan mazhab syafi`i, di samping pula beliu adalah menantu seorang ulama besar dalam ilmu syari`at dan tariqat, yaitu Syeikh sa`ad Mungka. Syeikh sa`ad Mungka. Syekh Khatib Ali sangat tertarik kepada Syekh muda Waly sehingga beliau menjodohkan Syeikh Muda Waly dengan seorang family beliau yaitu Hajjah Rasimah, yang akhirnya melahirkan Syeikh prof.Muhibbuddin Waly. Sejak itulah kemasyhuran Syekh Muda Wali semakin meningkat dan terus ditarik oleh ulama-ulama besar lainnya dalam kelompok para ulama kaum tua, tetapi beliau secara tidak langsung juga mengambil hal-hal yang baik dari ulama-ulama lainnya, seperti orang tuanya Buya Hamka, Haji rasul. Kemudian Syeikh Muda waly juga berkenalan dengan Syekh Muhammad Jamil Jaho. Maka beliau mengikuti pengajian yang diberikan oleh Ulama besar Padang tersebut. Hubungan beliau dengan Syeikh Muda Waliy pada mulanya hanya sekadar guru dan murid. Syeikh Jamil Jaho adalah seorang Ulama Minangkabau, murid Syekh Ahmad Khatib. Beliau diakui kealimannya oleh ulama lainnya terutama dalam ilmu bahasa arab. Di Pesantren jaho itulah Syekh Muhammad Jamil Jaho mengumpulkan murid-muridnya yang pintar untuk mencoba pengetahuan Syekh Muda Waly pada lahiriyahnya mereka seperti mengaji pada Syekh Muda Waly tapi pada hakikatnya adalah untuk menguji dan mencoba Syeikh Muda Waly dengan berbagai ilmu alat. Rupanya semua debatan tersebut dapat dijawab oleh Syeikh Muda Waly. Dari situlah, Syekh Muda Waly semakin terkenal dikalangan para ulama Minangkabau. Akhirnya Syeikh Muda Waly dinikahkan dengan putri Syekh Muhammad Jamil Jaho yaitu dengan seorang putrinya yang juga alim, Hajjah Rabi'ah yang akhirnya melahirkan Syekh H.Mawardi Waly. Akhirnya syekh Muda Waly menempati rumah pemberian paman istri beliau yang pertama, Hajjah Rasimah.

Rumah itu terdiri dari dari dua tingkat. Pada bagian bawahnya di gunakan sebagai madrasah tempat majlis ta`lim Apabila datang hari-hari besar Islam ummat Islam di Kota Padang beramai ramai datang kerumah tersebut. Para Ulama Kota Padang khususnya sering berdatangan ke rumah tersebut karena bila tak ada undangan Syekh Muda Waly sibuk mengajar dan berdiskusi dengan para ulama lainnya Apalagi dalam rumah itu juga tinggal seorang ulama besar lain, Syekh Hasan Basri, menantu dari Syekh Khatib `Ali Padang dan suami dari Hajjah Aminah, ibunda dari istri beliau Hajjah Rasimah. Pada tahun 1939 Syekh Muda Waly menunaikan ibadah haji ketanah suci bersama salah seorang istri beliau Hajjah rabi`ah. Selama di Makkah beliau tidak menyia-nyiakan waktu dan kesempatan. Selain menunaikan ibadah haji, beliau juga memanfaatkan waktu untuk menimba ilmu pengetahuan dari ulama ulama yang mengajar di Masjidil Haram antara lain Syekh Ali Al Maliki, pengarang Hasyiah al- Asybah wan nadhaair bahkan beliau mendapat ijazah kitab kitab hadis dari Syekh Ali Al Maliki. Selama di Makkah Syeikh Muda Waly seangkatan dengan Syeikh Yasin Al fadani, seorang ulaam besar keturunan Padang yang memimpin Lembaga Pendidikan Darul Ulum di Makkah al mukarramah .

Abuya muda waly Pulang ke Aceh

Setelah Syekh Muda Waly berjuang menuntut ilmu pengetahuan melalui pendidikan yang secara lahiriahnya seperti tidak teratur,tetapi pada hakikatnya bagi Allah S.W.T., perjalanan pendidikan beliau selama ini membawa beliau naik ke tingkat martabat ulama dan hamba Allah yang shalih. Maka dengan hasil perjalanan pandidikannya serta pengalaman-pengalaman yang beliau dapati selama ini, rasanya bagi beliau sudah cukup dijadikan pokok utama untuk mengembangkan agama Allah ini dengan pendidikan pesantren di tempat beliau dilahirkan, di blang poroh Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan. Meskipun pada waktu itu kata Darusssalam itu belum ada, dan adanya nama ini setelah beliau mendirikan pesantrten di desa beliau sendiri. Lebih kurang pada akhir tahun 1939, beliau kembali ke Aceh Selatan melalui parahu layar dari Padang ke Aceh di kecamatan Labuhan haji.Beliau disambut dengan meriah oleh ahli famili, para teman dan masyarakat, Labuhan Haji.

Setelah beberapa hari beliau berada di desanya, maka beliau bertekad membagun sebuah pasantren. Pembangunan sebuah pesantren kali pertama tentu seadanya saja. Maka beliau hanya mendirikan sebuah surau bertingkat dua. Pada tingkat dua di atas sebagai tempat tinggal beliau beserta keluarga, sedangkan pada tingkat bawah dan yang masih tersisa di atas dipergunakan sebagai tempat ibadah. Lahan tempat mendirikan musholla yang diberi oleh famili beliau sangat terbatas, sedangkan jamaah sudah mulai kelihatan berbondong-bondong datang ke surau beliau. Ibu-ibu pada malam selasa dan harinya, sedangkan bapak-bapak pada malam rabu dan harinya pula. Oleh karena itu, maka beliau ingin memperluas lahan untuk betul-betul memulai sebuah pesantren yang dapat menampung santri-santri dengan tempat tinggalnya sekalian, yang dalam istilah Aceh, disebut dengan rangkang-rangkang. Maka beliau berusaha untuk membeli tanah sekitar surau yang ada.

Beliau membeli tanah untuk pembangunan pesantren sedikit demi sedikit, hingga mencapai ukuran 400x250 m2. Di atas tanah itulah beliau menampung santri-santri yang berdatangan sedikit demi sedikit, dari Kecamatan Labuhan Haji, dari kecamatan-kecamatan di Aceh Selatan, bahkan juga dari berbagai kabupaten di Daerah Istimewa Aceh. Berkembanglah pesantren itu, sehingga pelajar-pelajar dari luar daerahpun pada berdatangan, khususnya dari berbagai propinsi di Pulau Sumatra. Pesantren itu beliau bagi-bagi atas berbagai nama, sebagai berikut;
Pertama: Darul-Muttaqin;di bagian ini terletak lokasi madrasah, mulai dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi dan di sampingnya dibangun sebuah surau besar selaku tempat ibadah. Khususnya dalam pengembangan tariqat Naqsyabandiyah dan dijadikan tempat khalwat atau suluk 40 hari selama ramadhan dengan 10 hari sebelumnya, 10 pada awal zulhijjah, 10 hari pada bulan Rabiul awal
Kedua : Darul `Arifin dilokai ini bertempat tinggal guru guru yang sebagian besar sudah berumah tangga. Lokasinya agak berdekatan dengan pantai Laut Samudra Hindia
Ketiga: Darul Muta`allimin Ditempat ini bertempat tinggal para santri pilihan diantaranya anak syekh Abdul ghani Al kampari,guru tasauf Syekh muda Waly.
Keempat : Darus salikin ;dilokasi ini banyak asrama asrama tempat tinggal para pelajar penuntut ilmu yang juga digunakan sebagai tempat berkhalwat.
Kelima : Darul zahidin ;lokasi yang paling ujung dari lokasi pesantren Darussalam ini .Kalau bukan karena tempat lainnya sudah penuh,maka jarang seklai santri yang mau tinggal di lokasi ini apalagi tempat ini pada mulanya merupakan tambak udang dan ikan .
Keenam : Darul Ma`la ;lakasi ini merupakan lokasi nomr satu karena tanhnya tinggi dan udaranyapun bagus dan terletak dipinggir jalan. Semua lokasi ini dinamakan oleh syekh Muda waly dengan nama demikian sebagai tafaul kepada Allah semoga semua santri yang belajar disitu menjadai hamba hamba Allah yang senatiasa menuntut ilmu (Al Muta`allimin), hamba hamba yang zahid, mengutamakan akhirat dari pada dunia (Az-Zahidin),hamba hamba yang shalih mendapat tempat terhormat baik disisi Allah maupun dalam pandangan masyarakat. Tak lama kemudian beliau menikah dengan seorang wanita dari desa pauh, Labuhan Haji. Kemudian beliau mendirikan sebuah pesantren lain di ibu kpta kecamatan.Pesantren ini merupakan sebuah pesantren khusus,pelajarnya juga tidak banyak. Para pelajar di pesantren ini secara langsung berhadapan dengan kaum orang orang yang berfaham wahabi sewhingga mendatangkan persaingan pengembangan ilmu pengetahuan agama melalui perdebatanm yang diadakan para pelajar membahas masalah masalah khilafiyah dengan dalil dalilnya menurut pendirian ulama ahlussunnah waljamaah. Dipesantren inilah diadakan pengajian yang dikuti oleh semua lapisan masyarakat bahkan juga dikuti oleh kalanganMuhammadiyah dan golongan Salik Buta sehingga menjadikan majlis ini majlis yang dipenuhi dengan pertanyaan dan debatan yang ditujukan kepada Syekh Muda Waly. Namun semuanya dapat di jawab oleh Syekh Muda Waly dengan jawaban ilmiah yang memuaskan

Murid-Murid Abuya Muda Waly

  1. Al Marhum Tgk. H.Abdullah Hanafiah Tanoh Mirah, pimpinan Dayah darul Ulum, Tanoh Mirah, Bireun
  2. Al Marhum Tgk.Abdul Aziz bin Shaleh, pimpinan pesantren MUDI MESRA (Ma`hadal Ulum Diniyah Islamiyah) Samalanga, Bireun.
  3. Al Marhum Tgk. Muhammad Amin Arbiy. Tanjongan, Samalanga, Bireun.
  4. Tgk. H.Muhammad Amin Blang Bladeh (Abu Tumin) pimpinan pesabtren Al Madinatut Diniyah Babussalam, Blang Bladeh Bireun.
  5. Teungku H.Daud Zamzamy.Aceh Besar.
  6. Al Marhum Tgk. Syekh Syihabuddin Syah(Abu Keumala)pimpinan pesantren Safinatussalamah , Medan.
  7. Teungku Adnan Mahmud pendiri pesantren Ashabul Yamin Bakongan Aceh Selatan
  8. Al Marhum.Tgk Syekh Marhaban Krueng Kalee(putra Syekh Hasan Krueng kale) mantan menteri muda era Sukarno
  9. Al Marhum Tgk.Muhammad Isa Peudada
  10. Al Marhum Tgk.ja`far Shiddiq Kuta Cane
  11. Al Marhum Tgk. Abu Bakar sabil, Meulaboh Aceh Barat
  12. Al Marhum Tgk.Usman fauzi. Cot Iri, Aceh Besar.
  13. Syekh.prof. Muhibbuddin waly (putra beliau sendiri yang paling tua)
  14. Al Marhum Syekh Jailani
  15. Al Marhum Syekh Labai sati, Padang Panjang
  16. Al Marhum Tgk. Qamaruddin, Teunom. Aceh Barat
  17. Tgk.Syekh Jamaluddin Teupin Punti, Lhok sukon, Aceh utara
  18. Tgk.Syekh Ahmad Blang Nibong Aceh Utara
  19. Tgk.Syekh Abbas Parembeu, Aceh Barat
  20. Tgk.Syekh Muhahammad Daud, Gayo
  21. Tgk.Syekh Ahmad, Lam Lawi, Aceh Pidie
  22. Tgk.Muhammad Daud Zamzami, Aceh Basar.
  23. Tuanku Idrus, Batu Basurek, Bangkinang
  24. Al Marhum Tgk.Syekh Amin Umar, Panton labu
  25. Syekh Nawawi Harahap, Tapanuli
  26. Al Marhum Tgk Syekh Usman Basyah, Langsa
  27. Tgk.Syekh Karimuddin, Alue Bilie, Aceh Utara
  28. Tgk.Syekh Basyah Kamal Lhoung, Aceh Barat Dan lain lain banyak lagi…..
Selain meninggalkan murid,beliau juga meninggalkan beberapa tulisan diantaranya:

Karya-karya Abuya Muda Waly

  1. Al fatwa, Sebuah kitab dalam bahasa indonesia dengan tulisan arab, berisi kumpulan fatwa beliau mengenai berbagai macam permasalahan agama
  2. Tanwirul anwar, berisi masalah masalah aqidah
  3. Risalah adab zikir ismuz Zat
  4. Permata Intan, sebuah risalah singkat berbentuk soal-jawab mengenai masalah i`tidaq
  5. Intan Permata, risalah singkat berisi masalah tauhid Dalam risalah yang terakhir (Intan Permata) beliau memberi keputusan tentang perdebatan Syeikh Ahmad Khatib dengan Syekh Sa`ad Mungka.
Beliau menyebutkan: “Ketahuilah hai segala ummat Ahlissunnah waljamah, bahwasanya karangan yang mulia Syekh Ahmad al Khatib yang bernama: Izhar Zighlil-Kazibin, tentang membantah Rabithah dan Thariqat naqsyabandiyah itu adalah silap dan salah paham dari Syekh yang mulia itu, karena beliau itu telah ditolak oleh yang mulia Syekh Sa`ad Mungka Paya kumbuh (Sumatra Tengah) dengan kitabnya Irghamu Unufil Muta`annitin. Kemudian kitab ini dijawab pula oleh yang mulia Syekh Ahmad al khatib dengan kitabnya as Saiful Battar. Kitab ini pun ditolak oleh yang mulia Syekh As`ad Mungka dengan kitabnya yang bernama Tanbihul `Awam. Pada akhirnya patahlah kalam Tuan Syekh Ahmad al-Khatib. karena itu maka hamba yang faqir ini, Syekh Muhammad waly al Khalidy sebabnya mengambil Thariqat Naqsyabandiyah adalah setelah muthala`ah pada karangan karangan Syekh Ahmad Khathib dan karangan karangan Syekh Sa`ad Mungka dimana antara karangan kedua-dua orang ulama itu sifatnya soal jawab dan debat-berdebat. Perlu diketahui bahwa Tuan Syekh Ahmad Khatib itu murid Sayyid syekh Bakrie bin sayyid Muhammad Syatha. Sedangkan Tuan Syekh As`ad Mungka murid Mufti Az Zawawy, gurunya Syekh Usman Betawi yang masyhur itu. Maka muncullah kebenaran ditangan Tuan Syekh Sa`ad Mungka apalagi saya telah melihat pula kitab as Saiful Maslul karangan ulama Madinah selaku menolak kitab Izhar Zighlil Kazibin. Oleh sebab itu bagi murid muridku yang melihat karangan syekh Ahmad Khatib itu janganlah terkejut, karena karangan beliau itu ibarat harimau yang telah dipancung kepalanya.”

Biografi Syeikh Muhammad Alawi Al-Maliki Al-Hasani Al-Makki

Biografi Syeikh Muhammad Alawi Al-Maliki Al-Hasani Al-Makki - Beliau adalah seorang besar yang sangat harum namanya bahkan sangan dihormati di Makkah. Beliau merupakan keturunan Rasulullah SAW, penghulu Ahlil Bait, Imam Hadis di zaman nya, pemimpin keempat-empat mazhab, ketua rohani yang paling berkaliber, pendakwah ke jalan Allah, seorang yang tidak goyah dengan pegangannya di dunia ilmiah Islam turath.
Biografi Syeikh Muhammad Alawi Al-Maliki

Keluarga Syeikh Muhammad bin Alawi Al-Maliki

Keturunan Sayyid merupakan keturunan mulia yang bersambung secara langsung dengan Junjungan kita Muhammad SAW. Beliau merupakan waris keluarga Al-Maliki Al-Hasani di Makkah yang masyhur, dan merupakan keturunan SAW, melalui cucu Baginda, Imam Al-Hasan bin Ali, Radhiyallahu ‘Anhum. Keluarga Maliki merupakan salah satu keluarga yang paling dihormati di Makkah dan telah melahirkan alim ulama besar di Makkah yang telah mengajar di Makkah dalam tempo yang lama.

Lima orang dari keturunan Sayyid Muhammad, telah menjadi Imam Mazhab Maliki di Haram Makkah. Datuk beliau, Al-Sayyid Abbas Al-Maliki, merupakan Mufti dan Qadhi Makkah dan khatib di Masjidil Haram. Beliau memegang jawatan ini ketika pemerintahan Usmaniah serta Hashimiah, dan seterusnya terus memegang jawatan tersebut setelah Kerajaan Saudi diasaskan. Raja Abdul Aziz bin Sa’ud sangat menghormati beliau. Riwayat lanjut beliau boleh dirujuk pada kitab Nur An-Nibras fi Asanid Al-Jadd As-Sayyid Abbas oleh cucunya As-Sayyid Muhammad Al-Maliki.

Bapak beliau (sayed Alawi Al-Maliki) merupakan salah seorang ulama Makkah yang sangat unggul di abad yang lalu. Beliau telah mengajar berbagai ilmu Islam turath di Masjidil Haram selama hampir 40 tahun. Ratusan murid dari seluruh penjuru dunia telah mengambil manfaat daripada beliau dari pengajaran beliau di Masjidil Haram, dan banyak di kalangan mereka telah memegang posisi penting agama di negara masing-masing.
Biografi Syeikh Muhammad Alawi Al-Maliki
Raja Faisal tidak akan membuat apa-apa keputusan berkaitan Makkah melainkan setelah meminta nasihat daripada As-Sayyid Alawi. Beliau telah meninggal dunia pada tahun 1971 dan upacara pemakamannya merupakan upacara yang terbesar di Makkah sejak seratus tahun. Dalam masa 3 hari daripada wafat beliau, Radio Saudi tempatan hanya menyiarkan bacaan Al-Quran, sesuatu yang tidak pernah dilakukan kecuali hanya untuk beliau.

Informasi selanjutnya tentang As-Sayyid Muhammad bin Alawi boleh dilihat pada biografinya yang berjudul Safahat Musyriqah min Hayat Al-Imam As-Sayyid As-Syarif Alawi bin Abbas Al-Maliki oleh anaknya, yang juga merupakan adik kepada As-Sayyid Muhammad, As-Sayyid Abbas Al-Maliki, juga seorang ulama tetapi lebih dikenali dengan suara merdunya dan pembaca Qasidah yang paling utama di Arab Saudi. Biografi ini mengandung tulisan mengenai As-Sayyid Alawi dari ulama seluruh dunia Islam.

Keluarga Maliki juga telah banyak melahirkan ulama-ulama yang lainnya, tetapi penulis hanya menyebut bapa dan datuk kepada As-Sayyid Muhammad. Untuk maklumat lanjut, rujuk tulisan-tulisan berkaitan sejarah Makkah dan ulamaknya di abad-abad mutakhir.

Kelahiran dan Pendidikan Awal Syeikh Muhammad Alawi

As-Sayyid Muhammad Al-Hasani bin Alawi bin Abbas bin Abdul Aziz, dilahirkan pada tahun 1946, di kota suci Makkah, dalam keluarga Al-Maliki Al-Hasani yang terkenal, keluarga Sayyid yang melahirkan ulamak tradisi. Beliau amat beruntung kerana memiliki bapa seperti As-Sayyid Alawi, seorang ulamak paling berilmu di Makkah. Bapa beliau merupakan guru pertama dan utama beliau, mengajar beliau secara peribadi di rumah dan juga di Masjidil Haram, di mana beliau menghafal Al-Quran sejak kecil. Beliau belajar dengan bapa beliau dan diizinkan untuk mengajar setiap kitab yang diajarkan oleh bapa beliau kepada beliau.

Pendidikan Lanjut Syeikh Muhammad Alawi

Dengan arahan bapaknya, beliau juga turut mempelajari dan mendalami berbagai ilmu turath Islam, seperti: Aqidah, Tafsir, Hadith, Feqh, Usul, Mustalah, Nahw dan lain-lain, di tangan ulama-ulama besar lain di Makkah serta Madinah. Kesemua mereka telah memberikan ijazah penuh kepada beliau untuk mengajar ilmu-ilmu ini kepada orang lain. Ketika berumur 15 tahun lagi, As-Sayyid Muhammad telah mengajar kitab-kitab Hadith dan Fiqh di Masjidil Haram, kepada pelajar-pelajar lain, dengan arahan guru-gurunya. Setelah mempelajari ilmu turath di tanah kelahirannya Makkah, beliau dihantar oleh bapakanya untuk menuntut di Universitas Al-Azhar As-Syarif.

Beliau menerima ijazah PhD daripada Al-Azhar ketika berusia 25 tahun, menjadikan beliau warga Arab Saudi yang pertama dan termuda menerima ijazah PhD dari Al-Azhar. Tesis beliau berkenaan Hadith telah dianggap cemerlang dan menerima pujian yang tinggi dari alim ulama unggul di Al-Azhar ketika itu, seperti Imam Abu Zahrah.

Perjalanan Sayed Alawi Mencari Ilmu

Perjalanan menuntut ilmu merupakan jalan kebanyakan ulama. As-Sayid Muhammad turut tidak ketinggalan. Beliau bermusafir sejak usia muda untuk menuntut ilmu dari mereka yang memiliki ilmu. Beliau telah bermusafir dengan banyak ke Afrika Utara, Mesir, Syria, Turki, dan rantau Indo-Pak untuk belajar dari alim-ulama yang hebat, bertemu para Wali Allah, menziarahi masjid-masjid dan maqam-maqam, serta mengumpul manuskrip-manuskrip dan kitab. Di setiap tempat ini, beliau menemui para ulama dan aulia yang agung, dan mengambil faedah daripada mereka. Mereka juga turut tertarik dengan pelajar muda dari Makkah ini dan memberi perhatian istimewa untuk beliau. Kebanyakan mereka sangat menghormati bapak beliau yang alim, dan merupakan satu kebanggaan memiliki anak beliau sebagai murid.
Biografi Syeikh Muhammad Alawi Al-Maliki

Ijazah-ijazah Sayed Alawi

Sistem pengajian tradisi atau turath berasaskan kepada ijazah atau "keizinan untuk menyampaikan ilmu". Bukan semua orang boleh mengajar. Hanya mereka yang memiliki ijazah yang diktiraf dari alim-ulama yang terkenal saja yang boleh mengajar. Setiap cabang pengetahuan dan setiap kitab Hadith, Fiqh, Tafsir dan lain-lain, mempunyai Sanad-sanad, atau rantaian riwayat yang bersambung sehingga kepada penyusun kitab tersebut sendiri melalui anak-anak muridnya dan seterusnya anak-anak murid mereka. Banyak sanad-sanad yang penting, seperti sanad Al-Qur’an, Hadith dan Tasawwuf, bersambung sehingga kepada Rasulullah SAW.

Sayyid Muhammad Alawi mendapat penghormatan dengan menjadi syeikh dengan bilangan ijazah terbanyak dalam waktunya. Beliau juga memiliki rantaian sanad terpendek atau terdekat dengan datuknya, Nabi Muhammad Sallahu Alaihi Wasallam. Di Tanah Arab, tanah kelahirannya, dan dalam permusafiran ilmunya, Sayyid Muhammad mendapat lebih dari 200 ijazah dari alim-ulama teragung di zamannya, di setiap cabang ilmu Islam. Ijazah beliau sendiri yang beliau berikan kepada murid-muridnya adalah antara yang berharga dan jarang di dunia, menghubungkan anak-anak muridnya dengan sejumlah besar para ulama agung.

Para Masyaikh yang memberikan beliau ijazah-ijazah mereka merupakan ulama besar dari seluruh dunia Islam. diantaranya:

Guru-guru Syaikh sayed Muhammad Alawi alMaliki

Dari Makkah:

  1. Bapa beliau yang alim dan guru beliau yang pertama, As-Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki
  2. Shaykh Muhammad Yahya Aman al-Makki
  3. Shaykh al-Sayyid Muhammad al-Arabi al-Tabbani
  4. Shaykh Hasan Sa‘id al-Yamani
  5. Shaykh Hasan bin Muhammad al-Mashshat
  6. Shaykh Muhammad Nur Sayf
  7. Shaykh Muhammad Yasin al-Fadani
  8. Al-Sayyid Muhammad Amin Kutbi
  9. Al-Sayyid Ishaq bin Hashim ‘Azuz
  10. Habib Hasan bin Muhammad Fad‘aq
  11. Habib Abd-al-Qadir bin ‘Aydarus al-Bar
  12. Shaykh Khalil Abd-al-Qadir Taybah
  13. Shaykh Abd-Allah al-Lahji

Dari Madinah:

  1. Shaykh Hasan al-Sha‘ir, Shaykh al-Qurra of Madinah
  2. Shaykh Diya-al-Din Ahmad al-Qadiri
  3. As-Sayyid Ahmad Yasin al-Khiyari
  4. Shaykh Muhammad al-Mustafa al-Alawi al-Shinqiti
  5. Shaykh Ibrahim al-Khatani al-Bukhari
  6. Shaykh Abd-al-Ghafur al-Abbasi al-Naqshbandi

Dari Hadramawt dan Yaman:

  1. Al-Habib Umar bin Ahmad bin Sumayt, Imam Besar Hadramawt
  2. Shaykh As-Sayyid Muhammad Zabarah, Mufti Yaman
  3. Shaykh As-Sayyid Ibrahim bin Aqeel al-Ba-Alawi, Mufti Ta‘iz
  4. Al-Imam al-Sayyid Ali bin Abd-al-Rahman al-Habshi
  5. Al-Habib Alawi ibn Abd-Allah bin Shihab
  6. As-Sayyid Hasan bin Abd-al-Bari al-Ahdal
  7. Shaykh Fadhl bin Muhammad Ba-Fadhal
  8. Al-Habib Abd-Allah bin Alawi al-Attas
  9. Al-Habib Muhammad bin Salim bin Hafeez
  10. Al-Habib Ahmad Mashhur al-Haddad
  11. Al-Habib Abd-al-Qadir al-Saqqaf

Dari Syria:

  1. Shaykh Abu-al-Yasar ibn Abidin, Mufti Syria
  2. Shaykh As-Sayyid al-Sharif Muhammad al-Makki al-Kattani, Mufti Maliki
  3. Shaykh Muhammad As‘ad al-Abaji, Mufti Shafi‘i
  4. Shaykh As-Sayyid Muhammad Salih al-Farfur
  5. Shaykh Hasan Habannakah al-Maydani
  6. Shaykh Abd-al-Aziz ‘Uyun al-Sud al-Himsi
  7. Shaykh Muhammad Sa‘id al-Idlabi al-Rifa‘i

Dari Mesir:

  1. Shaykh As-Sayyid Muhammad al-Hafiz al-Tijani, Imam Hadith di Mesir
  2. Shaykh Hasanayn Muhammad Makhluf, Mufti Mesir
  3. Shaykh Salih al-Ja‘fari, Imam Masjid Al-Azhar
  4. Shaykh Amin Mahmud Khattab al-Subki
  5. Shaykh Muhammad al-‘Aquri
  6. Shaykh Hasan al-‘Adawi
  7. Shaykh As-Sayyid Muhammad Abu-al-‘Uyun al-Khalwati
  8. Shaykh Dr. Abd-al-Halim Mahmud, Syeihkul Azhar

Dari Afrika Utara (Maghribi, Algeria, Libya dan Tunisia):

  1. Shaykh As-Sayyid As-Sharif Abd-al-Kabir al-Saqali al-Mahi
  2. Shaykh As-Sayyid Abd-Allah bin Al-Siddiq Al-Ghimari, Imam Hadith
  3. Shaykh As-Sayyid Abd-al-Aziz bin Al-Siddiq al-Ghimari
  4. As-Sharif Idris al-Sanusi, Raja Libya
  5. Shaykh Muhammad At-Tahir ibn ‘Ashur, Imam Zaytunah, Tunis
  6. Shaykh al-Tayyib Al-Muhaji al-Jaza’iri
  7. Shaykh Al-Faruqi Al-Rahhali Al-Marrakashi
  8. Shaykh As-Sayyid As-Sharif Muhammad al-Muntasir al-Kattani

Dari Sudan:

  1. Shaykh Yusuf Hamad An-Nil
  2. Shaykh Muddassir Ibrahim
  3. Shaykh Ibrahim Abu-an-Nur
  4. Shaykh At-Tayyib Abu-Qinayah

Dari Rantau Indo-Pak:

  1. Shaykh Abu-al-Wafa al-Afghani Al-Hanafi
  2. Shaykh Abd-al-Mu‘id Khan Hyderabadi
  3. Al-Imam Al’Arif Billah Mustafa Rida Khan al-Barelawi, Mufti India
  4. Mufti Muhammad Shafi’ Al-Deobandi, Mufti Pakistan
  5. Mawlana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi, Imam Hadith
  6. Mawlana Zafar Ahmad Thanawi
  7. Shaykh Al-Muhaddith Habib-al-Rahman Al-‘Azami
  8. Sayyid Abu-al-Hasan Ali An-Nadawi

Karya-Karya Sayed Muhammad Alawi al-maliki

Sayyid Muhammad merupakan seorang penulis prolifik dan telah menghasilkan hampir seratus buah kitab. Beliau telah menulis dalam pelbagai topik agama, undang-undang, social serta sejarah, dan kebanyakan bukunya dianggap sebagai rujukan utama dan perintis kepada topik yang dibicarakan dan dicadangkan sebagai buku teks di Institusi-institusi Islam di seluruh dunia.

Aqidah:

  1. Mafahim Yajib an Tusahhah
  2. Manhaj As-salaf fi Fahm An-Nusus
  3. At-Tahzir min at-Takfir
  4. Huwa Allah
  5. Qul Hazihi Sabeeli
  6. Sharh ‘Aqidat al-‘Awam

Tafsir:

  1. Zubdat al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an
  2. Wa Huwa bi al-Ufuq al-‘A’la
  3. Al-Qawa‘id al-Asasiyyah fi ‘Ulum al-Quran
  4. Hawl Khasa’is al-Quran

Hadith:

  1. Al-Manhal al-Latif fi Usul al-Hadith al-Sharif
  2. Al-Qawa‘id al-Asasiyyah fi ‘Ilm Mustalah al-Hadith
  3. Fadl al-Muwatta wa Inayat al-Ummah al-Islamiyyah bihi
  4. Anwar al-Masalik fi al-Muqaranah bayn Riwayat al-Muwatta lil-Imam Malik

Sirah:

  1. Muhammad (Sallallahu Alaihi Wasallam) al-Insan al-Kamil
  2. Tarikh al-Hawadith wa al-Ahwal al-Nabawiyyah
  3. ‘Urf al-Ta’rif bi al-Mawlid al-Sharif
  4. Al-Anwar al-Bahiyyah fi Isra wa M’iraj Khayr al-Bariyyah
  5. Al-Zakha’ir al-Muhammadiyyah
  6. Zikriyat wa Munasabat
  7. Al-Bushra fi Manaqib al-Sayyidah Khadijah al-Kubra

Usul:

  1. Al-Qawa‘id al-Asasiyyah fi Usul al-Fiqh
  2. Sharh Manzumat al-Waraqat fi Usul al-Fiqh
  3. Mafhum al-Tatawwur wa al-Tajdid fi al-Shari‘ah al-Islamiyyah

Fiqh:

  1. Al-Risalah al-Islamiyyah Kamaluha wa Khuluduha wa ‘Alamiyyatuha
  2. Labbayk Allahumma Labbayk
  3. Al-Ziyarah al-Nabawiyyah bayn al-Shar‘iyyah wa al-Bid‘iyyah
  4. Shifa’ al-Fu’ad bi Ziyarat Khayr al-‘Ibad
  5. Hawl al-Ihtifal bi Zikra al-Mawlid al-Nabawi al-Sharif
  6. Al-Madh al-Nabawi bayn al-Ghuluww wa al-Ijhaf

Tasawuf:

  1. Shawariq al-Anwar min Ad‘iyat al-Sadah al-Akhyar
  2. Abwab al-Faraj
  3. Al-Mukhtar min Kalam al-Akhyar
  4. Al-Husun al-Mani‘ah
  5. Mukhtasar Shawariq al-Anwar

Lain-lain:

  1. Fi Rihab al-Bayt al-Haram (Sejarah Makkah)
  2. Al-Mustashriqun Bayn al-Insaf wa al-‘Asabiyyah (Kajian Berkaitan Orientalis)
  3. Nazrat al-Islam ila al-Riyadah (Sukan dalam Islam)
  4. Al-Qudwah al-Hasanah fi Manhaj al-Da‘wah ila Allah (Teknik Dawah)
  5. Ma La ‘Aynun Ra’at (Butiran Syurga)
  6. Nizam al-Usrah fi al-Islam (Peraturan Keluarga Islam)
  7. Al-Muslimun Bayn al-Waqi‘ wa al-Tajribah (Muslimun, Antara Realiti dan Pengalaman)
  8. Kashf al-Ghumma (Ganjaran Membantu Muslimin)
  9. Al-Dawah al-Islahiyyah (Dakwah Pembaharuan)
  10. Fi Sabil al-Huda wa al-Rashad (Koleksi Ucapan)
  11. Sharaf al-Ummah al-Islamiyyah (Kemulian Ummah Islamiyyah)
  12. Usul al-Tarbiyah al-Nabawiyyah (Metodologi Pendidikan Nabawi)
  13. Nur al-Nibras fi Asanid al-Jadd al-Sayyid Abbas (Kumpulan Ijazah Datuk beliau, As-Sayyid Abbas)
  14. Al-‘Uqud al-Lu’luiyyah fi al-Asanid al-Alawiyyah (Kumpulan Ijazah Bapa beliau, As-Sayyid Alawi)
  15. Al-Tali‘ al-Sa‘id al-Muntakhab min al-Musalsalat wa al-Asanid (Kumpulan Ijazah)
  16. Al-‘Iqd al-Farid al-Mukhtasar min al-Athbah wa al-Asanid (Kumpulan Ijazah)

Daftar di atas merupakan antara kitab As-Sayyid Muhammad Alawi yang telah dihasilkan dan diterbitkan. Terdapat banyak lagi kitab yang tidak disebutkan dan juga yang belum dicetak.  Kita juga tidak menyebutkan banyak penghasilan turath yang telah dikaji, dan diterbitkan buat pertama kali, dengan nota kaki dan komentar dari As-Sayyid Muhammad. Secara keseluruhannya, sumbangan As-Sayyid Muhammad amat agung.

Banyak hasil kerja As-Sayyid Muhammad telah diterjemahkan ke pelbagai bahasa.

Biografi Syekh Abdul Qadir Al- Jailany

Biografi Syekh Abdul Qadir Al- Jailany - Bismillah. Nama lengkapnya adalah Abu Shalih Sayyidi Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi Shalih Musa (Zonki Dost) bin Abu Abdullah Al-Jily bin Yahya az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa al-Jun bin Abdullah al-Mahdhi bin al-Hasan al-Mutsanna bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib.

Biografi Syekh Abdul Qadir Al- Jailany

Al-Syekh Abu Muhammad Abdul Qadir Jailany adalah keturunan Sayyidina Hasan, cucu Rasulullah dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib; kakeknya adalah Abi Abdillah Al Shuma’I yang berasal dari daerah Jilan, Persia (Iran) dan populer dengan karomah dan kemuliaannya. Adapun ibundanya adalah seorang ibu yang dan istimewa, yaitu Fatimah binti Abi Abdillah Al-Shuma’i, ibundanya juga memiliki karomah dan kemuliaan, keturunan Sayyidina Husein.

Jauh sebelum Syekh Abdul Qadir lahir, ayahandanya bermimpi bertemu Rasulullah saw bersama sejumlah sahabat, para Mujahidin, dan Para Wali. Dalam mimpi itu, Rasulullah saw bersabda :

"Wahai Abu Shalih, Allah swt akan memberi amanah seorang anak laki-laki, yang kelak akan mendapat pangkat tinggi dalam kewalian. Sebagaimana aku mendapat pangkat tertinggi dalam kenabian dan kerasulan."

Abu Shalih wafat saat putranya masih teramat muda, sehingga Syekh Abdul Qadir diasuh dan dibesarkan oleh kakeknya.
Syekh Abdul Qadir lahir pada pertengahan bulan Ramadhan tahun 471 H ( 1051 M ) di daerah Jilan. Di daerah itu beliau melewati masa kecilnya sampai usia 18 tahun. Kemudian pergi ke Baghdad pada tahun 488 H sampai masa akhir hayatnya. Syekh Abdul Qadir berperawakan kurus, tingginya sedang, berdada bidang dengan janggut lebat dan panjang. Warna kulitnya sawo matang, kedua alisnya bersambung, suaranya keras dan lantang, mudah bergaul, punya derajat mulia dan ilmu pengetahuan luas.

Binar mata Syeikh Abdul Qadir Ra terpancar dalam lingkungan yang terkenal dengan ilmu pengetahuannya serta didukung dengan berbagai karomah. Ayahandanya adalah salah seorang tokoh ulama Jilan, sedangkan ibundanya yang juga dikenal dengan karomahnya adalah putri dari Abdullah Al – suma’i, seorang ahli Makrifat, ahli ibadah dan zuhud. Maka bersemilah nuansa keilmuan, fiqih, hakikat dan makrifat didalam dirinya.

Masa kanak-kanak dan remaja.

Ibunda Syekh Abdul Qadir bercerita :
”Semenjak aku melahirkan anakku itu, ia tidak pernah menetek pada siang bulan ramadhan. Suatu kali, lantaran hari berawan, orang-orang tidak bisa melihat bulan sabit guna menentukan telah masuknya bulan Ramadhan. Lalu mereka mendatangiku dan bertanya tentang Abdul Qadir, karena mereka tahu bahwa anakku itu tidak pernah menetek di siang bulan Ramadhan. Aku katakan kepada mereka bahwa abdul Qadir siang itu tidak menetek. Maka mereka pun tahu bahwa hari itu adalah awal Ramadhan. Sejak itu, beliau menjadi terkenal sebagai keturunan orang-orang terhormat (mulia), yang salah satu tandanya adalah beliau tidak mau menetek kepada ibunya pada siang bulan Ramadhan.”

Syekh Abdul Qadir bercerita :
“Ketika masih kecil, setiap hari aku di kunjungi seorang malaikat dalam bentuk seorang pemuda tampan. Dia berjalan bersamaku dari rumah kami ke sekolah dan membuat anak-anak di dalam kelas memberiku tempat di barisan pertama. Dia tinggal bersamaku sepanjang hari dan kemudian membawaku pulang ke rumah. Dalam sehari, aku belajar lebih banyak daripada pelajar-pelajar yang lain belajar dalam satu minggu. Aku tidak tahu siapa dia. Suatu hari aku bertanya kepadanya, dan dia berkata, “aku salah satu malaikat Allah swt. Dia mengirim dan memerintahkanku selama engkau belajar.”

Suatu hari, malam I’dul Adha, Aku pergi ke ladang kami untuk menggarap tanah. Selama aku berjalan di belakang lembu jantan, dia memalingkan kepalanya dan melihatku, seraya berkata:
“Engkau tidak diciptakan untuk ini!”
Aku sangat ketakutan dan berlari ke rumah dan memanjat ke atap rumah petak bertingkat. Ketika mengintai keluar, aku melihat para jama’ah haji berkumpul di padang Arafah tepat di depanku.
Aku pergi ke ibuku, yang waktu itu sudah janda, dan meminta kepadanya:
“Kirimlah aku ke jalan kebenaran, berilah aku ijin untuk pergi ke Baghdad, untuk mendapatkan ilmu pengetahuan bersama-sama dengan orang bijak dan orang-orang yang dekat kepada Allah swt.”
Ibuku bertanya kepadaku,

"Apa alasan untuk permintaan yang tiba-tiba tersebut?"
Aku mengatakan kepadanya apa yang terjadi pada diriku. Dia menangis; tetapi mengeluarkan delapan puluh batang emas, semua adalah warisan ayahku. Dia menyisakan empat puluh untuk saudara laki-lakiku. Empat puluh batang lainnya, dia jahit kebagian ketiak mantelku. Kemudian dia mengizinkan diriku untuk meninggalkan dirinya, tetapi sebelum ibuku membiarkan aku pergi, beliau meminta diriku berjanji kepadanya, bahwa aku akan berkata benar dan menjadi orang yang jujur, apapun yang terjadi. Ibu melepaskan kepergianku dengan kata-kata: "Mudah-mudahan Allah melindungi dan membimbingmu, anakku. Aku memisahkan diriku dari orang yang paling mencintaiku karena Allah swt. Aku tahu bahwa aku tidak akan dapat melihatmu sampai hari pengadilan terakhir."

Aku bergabung dengan sebuah kafilah kecil yang sedang pergi ke Baghdad. Ketika telah meninggalkan kota Hamadan; sekelompok perampok jalanan berjumlah enam puluh orang dengan menunggang kuda menyerang kami. Mereka mengambil segala sesuatu yang setiap orang miliki. Salah seorang di antara mereka datang kepadaku dan bertanya,:
Anak muda, harta apa yang kamu miliki?”
Aku menceritakan kepadanya, bahwa aku mamiliki empat puluh batang emas. Dia bertanya :

"dimana?"
Aku mengatakan :
"Di bawah lenganku."

Dia tertawa dan meninggalkanku sendiri. Perampok lainnya datang dan bertanya hal yang sama, dan aku berkata hal yang sebenarnya. Mereka meninggalkanku sendirian dan melaporkan kepada pemimpin mereka. Lalu pemimpin perampok memanggilku ke tempat dimana mereka sedang membagi hasil rampasan. Dia bertanya apakah aku memiliki sesuatu barang berharga. Aku mengatakan kepadanya bahwa aku memiliki empat puluh batang emas yang dijahit di mantelku dibawah ketiak. Dia mengambil mantelku, merobek bagian lengan mantel dan menemukan emas tersebut. Kemudian dengan rasa takjub, dia menanyaiku:
”Ketika uangmu telah aman, apa yang memaksamu untuk menceritakan kepada kami bahwa kamu memiliki emas dan dimana disembunyikan?”
Aku menjawab,” Aku harus mengatakan sebenarnya dalam keadaan apapun, sebagaimana telah ku janjikan kepada ibuku.”
Ketika pemimpin perampok mendengar hal itu, dia menitikkan air mata dan berkata:
” Aku telah mengingkari janjiku kepada siapa yang telah menciptakanku. Aku mencuri dan membunuh. Apa yang terjadi padaku?”
Dan anak buahnya memandangnya, sambil berkata,
”Engkau telah menjadi pemimpin kami selama bertahun-tahun dalam perbuatan dosa. Sekarang juga menjadi pemimpin dalam penyesalan!”
Semua enam puluh orang memegang tanganku dan menyatakan menyesal serta mengubah jalan hidup mereka. Keenam puluh orang itu adalah orang yang pertama memegang tanganku dan mendapatkan keampunan untuk dosa-dosa mereka.

Syekh Abdul Qadir di Baghdad

Ketika Syekh Abdul Qadir Al-Jailany Ra tiba di Baghdad, beliau berusia 18 tahun. Ketika beliau mencapai pintu gerbang kota, Nabi Khidir muncul dan menghalanginya untuk memasuki pintu gerbang kota. Nabi Khidir berkata kepadanya bahwa hal itu adalah perintah Allah untuk tidak memasuki kota Baghdad selama tujuh tahun yang akan datang.

Biografi Syekh Abdul Qadir Al- Jailany | Nabi Khidir membawanya ke sebuah reruntuhan di gurun pasir dan berkata:”Tinggallah disini dan jangan meninggalkan tempat ini.” Syekh Abdul Qadir tinggal disana selama tiga tahun. Setiap tahun, Nabi Khidir akan muncul kepadanya dan berkata kepadanya dimana beliau harus tinggal.

Syekh Abdul Qadir Al-jailany Ra bercerita mengenai masa tiga tahun yang di alaminya :
“Selama aku tinggal di gurun, diluar kota Baghdad; semua keindahan duniawi dating menggodaku. Allah melindungiku dari gangguan mereka. Setan yang muncul dalam wujud dan bentuk berbeda-beda terus mendatangiku, menggodaku, mengacaukanku dan melawanku. Allah telah memberikanku kemenangan atasnya. Nafsuku mengunjungiku setiap hari dalam wujud dan bentukku sendiri, memintaku untuk menjadi temannya. Ketika Aku akan menolaknya, ia hendak menyerangku. Allah memberiku kemenangan dalam perlawanan dengan nafsuku. Pada waktunya aku dapat menjadikannya tawananku dan menahannya bersamaku selama tahun-tahun itu, memaksanya tinggal di reruntuhan gunung pasir. Satu tahun penuh aku telah memakan rumput-rumputan dan akar-akaran yang dapat kutemukan dan tidak meminum air apapun. Tahun yang lain, aku telah minum air tetapi tidak makan sebutirpun makanan. Tahun lainnya, aku tidak makan, minum ataupun tidur. Sepanjang waktu ini, aku hidup dalam reruntuhan dari raja-raja kuno Parsia di Karkh. Aku berjalan dengan kaki telanjang di atas duri dan onak padang pasir dan tidak merasakan suatu apapun. Kapan saja aku melihat sebuah jurang (karang yang terjal) aku memanjatnya; aku tidak memberikan istirahat satu menitpun atau menyenangkan nafsuku, kepada keinginan-keinginan rendah jasmaniku.

Pada akhir dari masa tujuh tahun itu, aku mendengar sebuah suara pada suatu hari :
”Wahai Abdul Qadir, engkau sekarang diizinkan memasuki Baghdad.”

Aku sampai di Baghdad dan melewatkan beberapa hari disana. Segera aku tidak dapat berada dalam keadaan dimana hasutan, kejahatan, tipu daya telah mendominasi kota. Untuk menyelamatkan diriku sendiri dari kejahatan kota yang mengalami kemerosotan moral dan menyelamatkan keimananku, aku meninggalkannya. Hanya al-Qur’an yang kubawa bersamaku. Ketika tiba di pintu gerbang, dalam perjalanan untuk berkhalwat ku di padang pasir, aku mendengar sebuah suara:

”Kemana engkau akan pergi?” kata suara itu.
”Kembali. Engkau harus melayani orang-orang.”
“Apa yang dapat kupedulikan mengenai orang-orang?” Aku menyanggah. “Aku ingin menyelamatkan keimananku!”
“Kembalilah dan jangan pernah merasa khawatir terhadap keimananmu” suara itu melanjutkan, “Tidak ada sesuatupun yang akan membahayakanmu.”
Aku tidak dapat melihat siapa orang yang berkata tersebut.
Kemudian sesuatu terjadi padaku. Terputus dari kondisi luar, aku masuk dalam keadaan tafakur. Sampai hari berikutnya, aku memusatkan pikiran pada sebuah harapan dan berdo’a kepada Allah swt agar dia membukakan selubung untukku, sehingga tahu apa yang harus kulakukan.
Hari berikutnya, ketika tengah berkeliling di sebuah pemukiman bernama Mudzaffariyyah, seorang lelaki yang aku tidak pernah kulihat membuka pintu rumahnya dan menyilahkan aku masuk,
“Mari Abdul Qadir!”
ketika aku sampai di pintunya, dia berkata,
”Katakan kepadaku, apa yang anda harapkan dari Allah? Do’a apa yang anda panjatkan kemarin?”

Aku ketakutan, dengan penuh ketakjuban. Aku tidak dapat menemukan kata-kata untuk menjawabnya. Laki-laki tersebut memandang ke wajahku dan mengempaskan pintu dengan kasar seperti itu, debu berkumpul di sekelilingku dan menutupi seluruh tubuhku. Aku berjalan pergi, sambil bertanya apa yang telah kuminta kepada Allah sehari sebelumnya. Kemudian aku teringat. Aku balik kembali untuk mengatakan kepada laki-laki tersebut, tetapi tidak dapat menemukan baik rumah ataupun dirinya. Aku sangat khawatur, ketika menyadari bahwa dia adalah seorang yang dekat kepada Allah. Sesungguhnya, belakangan aku mengetahui, dia adalah Hammad ad-Dabbas, yang telah menjadi Syekh (guru) ku.

Pada suatu malam yang dingin dan gerimis, sebuah tangan tak terlihat membawa Syekh Abdul Qadir kepada tekke, tempat bermalam mistis, milik Syekh Hammad bin Muslim ad- Dabbas. Syekh Hammad yang mengetahui dengan inspirasi Ilahiah tentang kedatangannya, menutup pintu-pintu tempat menginap (mistis) dan memadamkan lampu. Ketika Syekh Abdul Qadir duduk di bendul (ambang)pintu yang terkunci, beliau tertidur. Beliau telah mengeluarkan sperma (mimpi basah)di malam hari dan pergi mandi di sungai dan mengambil air wudhu. Beliau tertidur lagi dan hal yang sama terjadi tujuh kali pada malam itu. Setiap kali beliau mandi dan mengambil air wudhu dalam air sedingin es. Pagi harinya, pintu gerbang telah terbuka dan beliau memasuki tempat penginapan sufi. Syekh Hammad berdiri menyambutnya. Meneteskan air mata gembira, dia memeluknya dan berkata:

"Wahai putraku Abdul Qadir, keberuntungan adalah milik kami hari ini, tetapi besok hal itu menjadi milikmu. Jangan pernah meninggalkan jalan ini."

Syekh Hammad menjadi guru pertamanya dalam ilmu pengetahuan tentang mistisme. Dengan memegang tangannya, beliau mengucapkan sumpah dan mengikuti jalan sufi.

Syekh Abdul qadir memahami bahwa menuntut ilmu itu diwajibkan bagi setiap muslimin dan muslimah. Lantas dengan keseriusan dan kesungguhan, berangkatlah beliau menuntut ilmu ke para tokoh Ulama yang selalu membimbingnya. Beliau memulai masa pendidikannya dengan belajar mambaca Al-qur’an kepada Abu Al-Wafa bin Aqil Al-Hambali, Abu Al-Khitab Mahfudz Al-Kalwadany Al-Hambali dan masih banyak lagi yang lainnya, sampai fasih dalam pembacaannya.

Beliau belajar hadits dari para ulama ahli hadits di zamannya seperti Abu Ghalib Muhammad bin Hasan Al-Balakilany dan yang lainnya. Beliau juga belajar ilmu Fiqih dari para fuqaha yang masyhur di zamannya, seperti Abu Sa’id Al-Mukharrimi. Selanjutnya beliau belajar ilmu bahasa dan sastra kepada Abu Zakaria Yahya bin Ali Al-Tibrizi. Akhirnya, beliau mendalami berbagai disiplin ilmu pengetahuan dengan pemahaman yang mendalam : ilmu syari’at, tarekat, bahasa dan sastra; sehingga beliau menjadi pemimpin dan guru besar mazhab Hambali. Allah swt memberikan hikmah dengan perantaraan lisannya yang memberikan wejangan dalam berbagai majelisnya.

Walaupun Syeikh Abdul Qadir belajar sufi kepada Syekh Hammad ad-Dabbas, tapi yang memberikan jubah darwis (symbol dari jubah Rasulullah) adalah Abu Sa’ad Al Mubarak bin Ali Al-Mukharrimi, ulama terbesar pada zamannya di Baghdad, pemilik madrasah di Babulijadz, yang kemudian diserahkan kepada Syekh Abdul Qadir.

Syekh Ja’far bin Hasan Al-Barzanji (penyusun maulid Barzanji) menulis :

Guru-guru Ilmu Fiqih Syeikh Abul Qadir :

  • Abu wafa ali bin Aqiel
  • Abu Khatab Al-Kalwadzani
  • Muhammad bin Abu Ya’la
  • Syekh Abu Sa’ad Al-Mubarak bin Muharrimi Al-Baghdadi (guru besar Mazhab Hanafi )
  • Syekh Abu Khattab Mahfudz bin Ahmad bin Hasan Al-Iraqi

Guru-guru Bahasa dan Sastra beliau :

  • Syeikh At-Tibrisi
  • Abu Zakarya Yahya bin Ali bin Muhammad bin Hasan Bustam As-Syaiban Al-Khotib At-Tibrizi

Guru tasawuf beliau :

  • Syekh Abi Khair Hammad bin Muslim Ad-Dabbas
  • Belajar di Madrasah Nizamiyah, pimpinan Imam Ghazali.

Guru-guru ilmu hadits beliau :

  • Abu Muhammad bin Ja’far bin Ahmad bin Hasan Al-Baghdadi
  • Abu Ghalib Muhammad bin Hasan bin Ahmad bib Hasan bin Khadzadadza Al-Baqilani
  • Syekh Abu shadiq Abu Saad Muhammad bin Abdul Karim bin Kusyasyi Al-Baghdadi
  • Syekh Abu Bakar Ahmad bin Muzaffar bin Husein bin Abdullah At-Tammar
  • Syekh Abulqasim Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Bayan bin Razzaz
  • Syekh Abu Thalib Abdulqadir bin Muhammad bin Abdulqadir bin Yusuf Al-Baghdadi Al-Yusufi, Syekh Abu Barakat

Syekh Ja’far bin Hasan Al-Barzanji berkata :
“Syekh Abdul Qadir menguasai 13 ilmu pengetahuan. Dalam berfatwa beliau selalu menggunakan dua Mazhab, yaitu Mazhab Syafi’i dan Hambali. Beliau memang terkenal sebagai fuqaha yang sangat menguasai ilmu fiqih”
Syekh Abdul Qadir bercerita :
Pada suatu pagi aku melihat Rasulullah saw. Beliau bertanya kepadaku:
”Mengapa engkau tidak bicara?”
Aku menjawab:
Aku tiada lain adalah seorang Persia, bagaimana Aku bisa berbicara dengan bahasa arab yang indah dari Baghdad ?”
“Buka mulutmu” beliau berkata, dan kulakukan perintahnya.
Rasulullah lantas meniupkan nafasnya ke mulutku tujuh kali dan berkata:
“Pergilah, tunjukkan kepada umat manusia dan ajaklah mereka kepada jalan Allah swt dengan bijak dan kata-kata indah.
Kemudian Aku bertemu Imam Ali bin Abi Thalib dan memintaku untuk membuka mulutku, kemudian meniupkan nafasnya sendiri ke dalam mulutku sebanyak enam kali. Aku bertanya:
”mengapa anda tidak melakukannya tujuh kali seperti yang dilakukan Rasulullah saw?”
Beliau menjawab:
“karena rasa hormatku kepadanya.” kemudian beliau menghilang.
Beliau memberikan wejangan pada bulan syawal tahun 521 H di Madrasah Abu Sa’id Al-Mukhorrimi, daerah Babulijaz, Baghdad. Beliau menyuarakan secara lantang semangat zuhud. Madarasah tersebut dipadati jama’ah sampai beliau dipindahkan ke sebuah Musholla diluar Baghdad. Jama’ah yang hadir pada saat itu sangat banyak, sekitar 70 000 orang. Murid-murid yang berguru kepadanya semakin banyak, dari kalangan ahli Fiqih, ahli Hadits, para Ulama serta ahli Sufi yang memiliki derajat keistimewaan dan kemuliaan.
Beliau telah menyusun banyak karya dalam bidang ushul fiqih, tasawuf dan hakikat.

Karya-Karya Syaikh Abdul Qadir Jailany

  1. Ighatsah Al-Arifin wa Ghayah Muna Al-Washilin ( Pertolongan untuk ahli Makrifat dan tujuan ideal para ahli Makrifat ).
  2. Awrad Al-Jailany wa Ad’itatih ( beberapa wirid dan doa-doa Syekh Abdul Qadir Al-Jailany )
  3. Adab Al-Suluk wa Al-Tawashul ila Manazil Al-Muluk ( adab penempuhan Ruhani menuju kerajaan ilahi )
  4. Tuhfat Al-Muttaqin wa Sabil Al-Arifin ( persembahan orang-orang bertaqwa dan jalan para ahli Makrifat )
  5. Jala’ Al-Khathir fi Al-Bathin wa Al-zhahir ( penampakan hati tentang yang batin dan zhahir )
  6. Risalah Al-Ghautsiyah ( Risalah Wali Ghauts – tingkatan wali dibawah kedudukan nabi SAW )
  7. Risalah fi Al-Asma’ Al-Azhim li Al-Thariq ila Allah ( Risalah tentang beberapa nama Allah guna menuju kepadanya )
  8. Al-Gunyah li Al-Thalib Al-Haqq ( Rasa kecukupan bagi para pencari Al-Haq ).
  9. Al-Fathur Rabbani wal Faydur Rahmani
  10. Sittin Majalis
  11. Hizbul Raja’ul Intiha
  12. Al-hizbul Kabir
  13. Ad-Du’aul Awrad Al-fatihah
  14. Ad-Du’a al-Basmalah
  15. Al-Fuyudath Rabbaniyyah
  16. Mi’raj Latif al-Ma’ani
  17. Yawaqit Hikam Sirul Asrar
Masa Syekh Abdul Qadir Al-Jailany yaitu abad ke 5 H, adalah masa yang masyhur dengan cakrawala ilmu pengetahuan dan maju dalam bidang sastra. Pada masa itu muncul para ulama besar dan para penulis yang handal seperti : Abu Ishaq Al-Syairazy, Al-Ghazali, Abu Wafa bin Aqil, Abdul Qadir Al-Jurjany, Abu Zakaria Al-Tabrizy, Abu Qasim Al-Hariry, Al-Zamahsary dll. Mereka itulah yang memenuhi abad tersebut dengan menguasai berbagai aspek rasionalitas dan berbagai orientasi. Mereka juga adalah para tokoh sastra dan intelektual. Tidak seorangpun pada masa tersebut yang bisa mewarnai masyarakatnya, kecuali harus terjun kedalam gelanggang ilmu pengetahuan yang merupakan kehidupan ilmiah dan berbagai sumber disiplin ilmu pengetahuan. Diberbagai daerah penuh dengan tempat belajar dan halaqah pembelajaran seperti kota Baghdad.

Dalam masyarakat berperadaban waktu itu tidak ada seorangpun yang terkenal dan memiliki pengaruh amat luas, kecuali seorang ulama yang sangat tinggi wawasan ilmu pengeetahuannya, kapabel dalam ilmu keagamaan dan ilmu keduniawian, bahkan para ulama selanjutnya mengakui keistimewaan tersebut dan mengklaim dia sebagai seorang ulama yang paling luas wawasan intelektualnya.

Murid-murid Syekh Abdul Qadir Al-Jilany

  • Syekh Abu Ali bin Musallam bin Abi Al-Jud Al-Farisi Al-Iraqi
  • Syekh Abu Abdullah Muhammad bin Abu Ma’ali bin Qayyid Al-Awwani
  • Syekh Abu Qasim Abdul Malik bin Isa bin Dirbas
  • Syekh Abu Muhammad Abdul Ghani bin Abdul Wahid bin Ali As-Surur
  • Syekh Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah bin Miqdam bin Nassar Al-Maqdisi
  • Syekh Abu Ma’ali Ahmad bin Abdul Ghani bin Muhammad bin Hanifah Al-Bajisrani
  • Abul Mahasin Umar bin Ali bin Khidhr Al-Quraisyi

Wafatnya Syekh Abdul Qadir Al-Jailany

Periode pertama dalam hidupnya, diisi dengan menuntut ilmu sekaligus mengumpulkan dan menyusun karya dari ilmu tersebut. Sampai ketika menginjak usia 40 tahun, beliau membuka pengajian mengenai ilmu kalam dan konsultasi keagamaan pada sekolahnya di Babulizaj, Baghdad, yaitu sejak tahun 521-561 H.

Sekian lama beliau mengajar dan memberi fatwa di madrasahnya, yaitu selama 33 tahun, sejak 528 H- 561 H. beliau tidak menyisakan waktu kecuali untuk menginfaqkan ilmu dan semangatnya dari pengajaran sampai memberi teladan zuhud, ibadah dan makrifat. Usia Syekh Abdul Qadir Al-Jailany 91 tahun saat wafat pada tanggal 11 Rabiul Akhir tahun 561 H/ 1166 M, dan dikuburkan di perguruannya di Babulizaj, Baghdad.

Pengelolaan madrasah diteruskan oleh anak-anak beliau; Abdul Wahhab ( 552 H/ 1151 M – 593 H/ 1197 M) dan Abdul Salam ( 548 H/1151 M – 611 H/1213 M). Di masa Abdul Salam, Tareqat Qadariyah berkembang pesat.

Diantara Wasiat dan Nasihat Syekh Abdul Qadir Al-Jailany.

  • Ikutilah Sunnah rasul dengan penuh keimanan, jangan mengerjakan bid’ah, patuhlah selalu kepada Allah swt dan Rasulnya, janganlah melanggar. Junjung tinggi tauhid, jangan menyukutukan Allah swt, selalu sucikan Allah swt, dan jangan berburuk sangka kepadanya. Pertahankanlah kebenarannya, jangan ragu sedikitpun. Bersabarlah selalu, jangan menunjukkan ketidak sabaran. Beristiqomahlah dengan berharap kepadanya; bekerja samalah dalam ketaatan, jangan berpecah belah. Saling mencintailah, dan jangan saling mendendam.
  • Tabir penutup kalbumu tak akan tersibak selama engkau belum lepas dari alam ciptaan; tidak berpaling darinya dalam keadaan hidup selama hawa nafsumu belum pupus; selama engkau melepaskan diri dari kemaujudan dunia dan akhirat; selama jiwamu belum bersatu dengan kehendak Allah swt dan cahayanya. Jika jiwamu bersatu dengan kehendak Allah swt dan mencapai kedekatan denganNya lewat pertolonganNya. Makna hakiki bersatu dengan Allah swt ialah berlepas diri dari makhluq dan kedirian; serta sesuai dengan kehendaknya tanpa gerakmu; yang ada hanya kehendaknya. Inilah keadaan fana dirimu; dan dalam keadaan itulah engkau bersatu denganNya; bukan dengan bersatu dengan ciptaannya. Sesuai Firman Allah swt :”Tak ada sesuatupun yang serupa dengannnya. Dan dialah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat”

Biografi Sunan Giri | Raden Paku

Biografi Sunan Giri | Raden Paku - nama lain dari sunan giri adalah Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudra adalah nama salah seorang Wali Songo yang berkedudukan di desa Giri, Kebomas, Gresik, Jawa Timur. Ia lahir di Blambangan (Banyuwangi) pada tahun Saka Candra Sengkala "Jalmo orek werdaning ratu" (1365 Saka). dan wafat pada tahun Saka Candra Sengkala "Sayu Sirno Sucining Sukmo" (1428 Saka) di desa Giri, Kebomas, Gresik.
Biografi Sunan Giri | Raden Paku

Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW. yaitu melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, Ja’far Ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad Al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Maulana Ishaq, dan 'Ainul Yaqin (Sunan Giri).

Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa Timur, dan catatan nasab Sa'adah BaAlawi Hadramaut.

Sunan Giri merupakan buah pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit. Namun kelahiran Sunan Giri ini dianggap rakyat Blambangan sebagai pembawa kutukan berupa wabah penyakit di kerajaan Blambangan. Kelahiran Sunan Giri disambut Prabu Menak Sembuyu dengan membuatkan peti terbuat dari besi untuk tempat bayi dan memerintahkan kepada para pengawal kerajaan untuk menghanyutkannya ke laut.

Berita itupun tak lama terdengar oleh Dewi Sekardaru. Dewi Sekardadu berlari mengejar bayi yang barusaja dilahirkannya. Siang dan malam menyusuri pantai dengan tidak memikirkan lagi akan nasib dirinya. Dewi Sekardadupun meninggal dalam pencariannya.

Peti besi berisi bayi itu terombang-ambing ombak laut terbawa hinga ke tengah laut. Peti itu bercahaya berkilauan laksana kapal kecil di tengah laut. Tak ayal cahaya itu terlihat oleh sekelompok awak kapal (pelaut) yang hendak berdagang ke pulau Bali. Awak kapal itu kemudian menghampiri, mengambil dan membukanya peti yang bersinar itu. Awak kapal terkejut setelah tahu bahwa isi dari peti itu adalah bayi laki-laki yang molek dan bercahaya. Awak kapalpun memutar haluan kembali pulang ke Gresik untuk memberikan temuannya itu kepada Nyai Gede Pinatih seorang saudagar perempuan di Gresik yang merupakan pemilik kapal. Nyai Gede Pinatih keheranan dan sangat menyukai bayi itu dan mengangkatnya sebagai anak dengan memberikan nama Joko Samudra.

Saat mulai remaja diusianya yang 12 tahun, Joko Samudra dibawa ibunya ke Surabaya untuk berguru ilmu agama kepada Raden Rahmat (Sunan Ampel) atas permintaannya sendiri. Tak berapa lama setelah mengajarnya, Sunan Ampel mengetahui identitas sebenarnya dari murid kesayangannya itu. Sunan Ampel mengirimnya beserta Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di Pasai sebelum menunaikan keinginannya untuk melaksanakan ibadah Haji. Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Di sinilah, Joko Samudra mengetahui cerita mengenai jalan hidup masa kecilnya.

Setelah tiga tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden 'Ainul Yaqin diperintahkan gurunya yang tak lain adalah ayahnya sendiri itu untuk kembali ke Jawa untuk mengembangkan ajaran islam di tanah Jawa. Dengan berbekal segumpal tanah yang diberikan oleh ayahandanya sebagai contoh tempat yang diinginkannya, Raden ‘Ainul Yaqin berkelana untuk mencari dimana letak tanah yang sama dengan tanah yang diberikan oleh ayahanya. Dengan bertafakkur dan meminta pertolongan serta petunjuk dari Allah SWT. maka petunjuk itupun datang dengan adanya bukit yang bercahaya. Maka didatangilah bukit itu dan di lihat kesamaanya dan ternyata memang benar-benar sama dengan tanah yang diberikan oleh ayahnya. Perbukitan itulah yang kemudian ditempati untuk mendirikan sebuah pesantren Giri di sebuah perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas, Gresik pada tahun Saka nuju tahun Jawi Sinong milir (1403 Saka). Pesantren ini merupakan pondok pesantren pertama yang ada di kota Gresik. Dalam bahasa Jawa, giri berarti gunung. Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri.

Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sumbawa, Sumba, Flores, Ternate, Sulawesi dan Maluku. Karena pengaruhnya yang luas saat itu Raden Paku mendapat julukan sebagai Raja dari Bukit Giri. Pengaruh pesantren Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan yang disebut Giri. Kerajaan Giri Kedaton menguasai daerah Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya ditumbangkan oleh Sultan Agung.

Terdapat beberapa karya seni tradisonal. Jawa yang sering dianggap berhubungkan dengan Sunan Giri, di antaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jelungan, Jor, Gula-gantiLir-ilir dan Cublak Suweng; serta beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti Asmaradana dan Pucung.

Biografi Sunan Gunung Jati | Syarief Hidayatullah

Biografi Sunan Gunung Jati | Syarief Hidayatullah - Syeikh Syarief Hidayatullah dilahirkan Tahun 1448 Masehi. Ayahanda Syeikh Syarief Hidayatullah adalah Syarief Abdullah, seorang yang berasal dari Mesir keturunan ke 17 Rasulullah SAW, bergelar Sultan Maulana Muhamad, Ibunda Syeikh Syarief Hidayatullah adalah Nyai Rara Santang dan setelah masuk Islam berganti nama menjadi Syarifah Muda’im adalah Putri Prabu Siliwangi dari kerajaan Padjajaran. Syeikh Syarief Hidayatullah berkelana untuk belajar Agama Islam dan sampai di Cirebon pada tahun 1470 Masehi.
Biografi Sunan Gunung Jati | Syarief Hidayatullah
Syeikh Syarief Hidayatullah dengan didukung uwanya, Tumenggung Cerbon Sri Manggana Cakrabuana alias Pangeran Walangsungsang dan didukung Kerajaan Demak, dinobatkan menjadi Raja Cerbon dengan gelar Maulana Jati pada tahun 1479.

Sejak itu pembangunan insfrastruktur Kerajaan Cirebon kemudian dibangun dengan dibantu oleh Sunan Kalijaga, Arsitek Demak Raden Sepat, yaitu Pembangunan Keraton Pakungwati, Masjid Agung Sang Cipta Rasa, jalan pinggir laut antara Keraajaan Pakungwati dan Amparan Jati serta Pelabuhan Muara Jati.

Syeikh Maulana Jati pada Tahun 1526 Masehi, menyebarkan Islam sampai Banten dan menjadikannya Daerah Kerajaan Cirebon. Dan pada Tahun 1526 Masehi juga tentara Kerajaan Cirebon dibantu oleh Kerajaan Demak dipimpin oleh Panglima Perang bernama Fatahillah merebut Sunda Kelapa dan Portugis, dan diberi nama baru yaitu Jayakarta.

Pada tahun 1533 Masehi, Banten menjadi Kasultanan Banten dengan Sultannya adalah Putra dari Syech Maulana Jati yaitu Sultan Hasanuddin. Syeikh Maulana Jati salah seorang Wali Sanga yang mempekenalkan visi baru bagi masyarakat tentang apa arti menjadi Pemimpin, apa makna Masyarakat, apa Tujuan, Masyarakat, bagaimana seharusnya berkiprah di dalam dunia ini lewat Proses Pemberdyaan.

Syeikh Maulan Jati melakukan tugas dakwah menyebarkan Agama Islam ke berbagai lapisan Masyarakat dengan dukungan personel dan dukungan aspek organisasi kelompok Forum Wali sanga, dimana forum Wali sanga secara efektif dijadikan sebagai organisasi dan alat kepentingan dakwah, merupakan siasat yang tepat untuk mempercepat teresebarnya Agama Islam.

Syeikh Maulana Jati berpulang ke Rahmatullah pada tanggal 26 Rayagung tahun 891 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1568 Masehi. Tanggal Jawanya adalah 11 Krisnapaksa bulan Badramasa tahun 1491 Saka. Meninggal dalam usia 120 tahun, sehingga Putra dan Cucunya tidak sempat memimpin Cirebon karena meninggal terlebih dahulu. Sehingga cicitnya yang memimpin setelah Syech Maulana Jati.

Syeikh Syarief Hidayatullah kemudian dikenal dengan Sunan Gunung Jati karena dimakamkan di Bukit Gunung Jati.

Ref:
- http://lemburkuring2007.wordpress.com/2007/06/21/sunan-gunung-jati
- http://kolom-biografi.blogspot.com/2010/04/biografi-sunan-gunung-jati.html

Biografi Habib umar bin hafidz | Ulama Tanah Yaman


copi paste dari tgk boyblogspot

Biografi Habib umar bin hafidz - Habib Umar bin Hafidz terkenal sebagai pendakwah Islam yang lembut, sehingga tidak heran dakwahnya disengar siapaun dan terkesan meneyentuh. Medan dakwahnya tidak hanya di Yaman tetapi seluruh dunia termasuk Indonesia. Dalam postingan singkat ini mari kita telusuri bagaimana biografi beliau lebih jauh.
Biografi Habib umar bin hafidz | Ulama Tanah Yaman

Melihat Biografi Habib umar bin hafidz

Beliau Habib Umar bin hafidz dilahirkan sebelum fajar hari senin, 4 Muharram 1383 H/27 Mei 1963M di Kota Tarim. Di kota yang penuh berkah inilah beliau tumbuh dan menerima didikan agama serta menghafal kitab suci al-Quran dalam keluarga yang terkenal iman, ilmu dan akhlak yang luhur. Guru pertamanya sudah tentu ayah beliau yaitu Habib Muhammad bin Salim yang juga merupakan Mufti Kota Tarim al-Ghanna itu.

Nasab Habib Umar bin Hafidz

Beliau adalah al-Habib ‘Umar putera dari Muhammad putera dari Salim putera dari Hafiz putera dari Abd-Allah putera dari Abi Bakr putera dari‘Aidarous putera dari al-Hussain putera dari al-Shaikh Abi Bakr putera dari Salim putera dari ‘Abd-Allah putera dari ‘Abd-al-Rahman putera dari ‘Abd-Allah putera dari al-Shaikh ‘Abd-al-Rahman al-Saqqaf putera dari Muhammad Maula al-Daweela putera dari ‘Ali putera dari ‘Alawi putera dari al-Faqih al-Muqaddam Muhammad putera dari ‘Ali putera dari Muhammad Sahib al-Mirbat putera dari ‘Ali Khali‘ Qasam putera dari ‘Alawi putera dari Muhammad putera dari ‘Alawi putera dari ‘Ubaidallah putera dari al-Imam al-Muhajir to Allah Ahmad putera dari ‘Isa putera dari Muhammad putera dari ‘Ali al-‘Uraidi putera dari Ja'far al-Sadiq putera dari Muhammad al-Baqir putera dari ‘Ali Zain al-‘Abidin putera dari Hussain sang cucu laki-laki, putera dari pasangan ‘Ali putera dari Abu Talib dan Fatimah al-Zahra puteri dari Rasul Muhammad s.a.w.
Biografi Habib umar bin hafidz | Ulama Tanah Yaman
Beliau terlahir di Tarim, Hadramaut, salah satu kota tertua di Yaman yang menjadi sangat terkenal di seluruh dunia dengan berlimpahnya para ilmuwan dan para alim ulama yang dihasilkan kota ini selama berabad-abad. Beliau dibesarkan di dalam keluarga yang memiliki tradisi keilmuan Islam dan kejujuran moral dengan ayahnya yang adalah seorang pejuang martir yang terkenal, Sang Intelektual, Sang Da’i Besar, Muhammad bin Salim bin Hafiz bin Shaikh Abu Bakr bin Salim. Ayahnya adalah salah seorang ulama intelektual Islam yang mengabdikan hidup mereka demi penyebaran agama Islam dan pengajaran Hukum Suci serta aturan-aturan mulia dalam Islam. Beliau secara tragis diculik oleh kelompok komunis dan diperkirakan telah meninggal, semoga Allah mengampuni dosa-dosanya. Demikian pula kedua kakek beliau, al-Habib Salim bin Hafiz dan al-Habib Hafiz bin Abd-Allah yang merupakan para intelektual Islam yang sangat dihormati kaum ulama dan intelektual Muslim pada masanya. Allah seakan menyiapkan kondisi-kondisi yang sesuai bagi al-Habib ‘Umar dalam hal hubungannya dengan para intelektual muslim disekitarnya serta kemuliaan yang muncul dari keluarganya sendiri dan dari lingkungan serta masyarakat dimana ia dibesarkan.

Habib umar bin hafidz telah mampu menghafal Al Qur’an pada usia yang sangat muda dan ia juga menghafal berbagai teks inti dalam fiqh, hadith, Bahasa Arab dan berbagai ilmu-ilmu keagamaan yang membuatnya termasuk dalam lingkaran keilmuan yang dipegang teguh oleh begitu banyaknya ulama-ulama tradisional seperti Muhammad bin ‘Alawi bin Shihab dan al-Shaikh Fadl Baa Fadl serta para ulama lain yang mengajar di Ribat, Tarim yang terkenal itu. Maka beliau pun mempelajari berbagai ilmu termasuk ilmu-ilmu spiritual keagamaan dari ayahnya yang meninggal syahid, al-Habib Muhammad bin Salim, yang darinya didapatkan cinta dan perhatiannya yang mendalam pada da'wah dan bimbingan atau tuntunan keagamaan dengan cara Allah s.w.t. Ayahnya begitu memperhatikan sang ‘Umar kecil yang selalu berada di sisi ayahnya di dalam lingkaran ilmu dan dhikr.

Namun secara tragis, ketika al-Habib ‘Umar sedang menemani ayahnya untuk salat Jum‘ah, ayahnya diculik oleh golongan komunis, dan sang ‘Umar kecil sendirian pulang ke rumahnya dengan masih membawa syal milik ayahnya, dan sejak saat itu ayahnya tidak pernah terlihat lagi. Ini menyebabkan ‘Umar muda menganggap bahwa tanggung jawab untuk meneruskan pekerjaan yang dilakukan ayahnya dalam bidang Da‘wah sama seperti seakan-akan syal sang ayah menjadi bendera yang diberikan padanya pada masa kecil sebelum beliau mati syahid. Sejak itu, dengan sang bendera dikibarkannya tinggi-tinggi, ia memulai, secara bersemangat, perjalanan penuh perjuangan, mengumpulkan orang-orang, membentuk Majelis-majelis dan da’wah. Perjuangan dan usahanya yang keras demi melanjutkan pekerjaan ayahnya mulai membuahkan hasil. Kelas-kelas mulai dibuka bagi anak muda maupun orang tua di mesjid-mesjid setempat dimana ditawarkan berbagai kesempatan untuk menghafal Al Qur’an dan untuk belajar ilmu-ilmu tradisional.

Ia sesungguhnya telah benar-benar memahami Kitab Suci sehingga ia telah diberikan sesuatu yang khusus dari Allah meskipun usianya masih muda. Namun hal ini mulai mengakibatkan kekhawatiran akan keselamatannya dan akhirnya diputuskan beliau dikirim ke kota al-Bayda’ yang terletak di tempat yang disebut Yaman Utara yang menjadikannya jauh dari jangkauan mereka yang ingin mencelakai sang sayyid muda.
Biografi Habib umar bin hafidz | Ulama Tanah Yaman
Disana dimulai babak penting baru dalam perkembangan beliau. Masuk sekolah Ribat di al-Bayda’ ia mulai belajar ilmu-ilmu tradisional dibawah bimbingan ahli dari yang Mulia al-Habib Muhammad bin ‘Abd-Allah al-Haddar, semoga Allah mengampuninya, dan juga dibawah bimbingan ulama mazhab Shafi‘i al-Habib Zain bin Sumait, semoga Allah melindunginya. Janji beliau terpenuhi ketika akhirnya ia ditunjuk sebagai seorang guru tak lama sesudahnya. Ia juga terus melanjutkan perjuangannya yang melelahkan dalam bidang Da‘wah.

Kali ini tempatnya adalah al-Bayda’ dan kota-kota serta desa-desa disekitarnya. Tiada satu pun yang terlewat dalam usahanya untuk mengenalkan kembali cinta kasih Allah dan Rasul-Nya s.a.w pada hati mereka seluruhnya. Kelas-kelas dan majelis didirikan, pengajaran dimulai dan orang-orang dibimbing. Usaha beliau yang demikian gigih menyebabkannya kekurangan tidur dan istirahat mulai menunjukkan hasil yang besar bagi mereka tersentuh dengan ajarannya, terutama para pemuda yang sebelumnya telah terjerumus dalam kehidupan yang kosong dan dangkal, namun kini telah mengalami perubahan mendalam hingga mereka sadar bahwa hidup memiliki tujuan, mereka bangga dengan indentitas baru mereka sebagai orang Islam, mengenakan sorban/selendang Islam dan mulai memusatkan perhatian mereka untuk meraih sifat-sifat luhur dan mulia dari Sang Rasul Pesuruh Allah s.a.w.

Sejak saat itu, sekelompok besar orang-orang yang telah dipengaruhi beliau mulai berkumpul mengelilingi beliau dan membantunya dalam perjuangan da‘wah maupun keteguhan beliau dalam mengajar di berbagai kota besar maupun kecil di Yaman Utara. Pada masa ini, beliau mulai mengunjungi banyak kota-kota maupun masyarakat diseluruh Yaman, mulai dari kota Ta'iz di utara, untuk belajar ilmu dari mufti Ta‘iz al-Habib Ibrahim bin Aqil bin Yahya yang mulai menunjukkan pada beliau perhatian dan cinta yang besar sebagaimana ia mendapatkan perlakuan yang sama dari Shaikh al-Habib Muhammad al-Haddar sehingga ia memberikan puterinya untuk dinikahi setelah menyaksikan bahwa dalam diri beliau terdapat sifat-sifat kejujuran dan kepintaran yang agung.

Tak lama setelah itu, beliau melakukan perjalanan melelahkan demi melakukan ibadah Haji di Mekkah dan untuk mengunjungi makam Rasul s.a.w di Madinah. Dalam perjalanannya ke Hijaz, beliau diberkahi kesempatan untuk mempelajari beberapa kitab dari para ulama terkenal disana, terutama dari al-Habib 'Abdul Qadir bin Ahmad al-Saqqaf yang menyaksikan bahwa di dalam diri ‘Umar muda, terdapat semangat pemuda yang penuh cinta kepada Allah dan Rasul-Nya s.a.w dan sungguh-sungguh tenggelam dalam penyebaran ilmu dan keadilan terhadap sesama umat manusia sehingga beliau dicintai al-Habib Abdul Qadir salah seorang guru besarnya. Begitu pula beliau diberkahi untuk menerima ilmu dan bimbingan dari kedua pilar keadilan di Hijaz, yakni al-Habib Ahmed Mashur al-Haddad dan al-Habib 'Attas al-Habashi.

Sejak itulah nama al-Habib Umar bin Hafiz mulai tersebar luas terutama dikarenakan kegigihan usaha beliau dalam menyerukan agama Islam dan memperbaharui ajaran-ajaran awal yang tradisional. Namun kepopuleran dan ketenaran yang besar ini tidak sedikitpun mengurangi usaha pengajaran beliau, bahkan sebaliknya, ini menjadikannya mendapatkan sumber tambahan dimana tujuan-tujuan mulia lainnya dapat dipertahankan. Tiada waktu yang terbuang sia-sia, setiap saat dipenuhi dengan mengingat Allah dalam berbagai manifestasinya, dan dalam berbagai situasi dan lokasi yang berbeda. Perhatiannya yang mendalam terhadap membangun keimanan terutama pada mereka yang berada didekatnya, telah menjadi salah satu dari perilaku beliau yang paling terlihat jelas sehingga membuat nama beliau tersebar luas bahkan hingga sampai ke Dunia Baru.

Negara Oman akan menjadi fase berikutnya dalam pergerakan menuju pembaharuan abad ke-15. Setelah menyambut baik undangan dari sekelompok Muslim yang memiliki hasrat dan keinginan menggebu untuk menerima manfaat dari ajarannya, beliau meninggalkan tanah kelahirannya dan tidak kembali hingga beberapa tahun kemudian. Bibit-bibit pengajaran dan kemuliaan juga ditanamkan di kota Shihr di Yaman timur, kota pertama yang disinggahinya ketika kembali ke Hadramaut, Yaman. Disana ajaran-ajaran beliau mulai tertanam dan diabadikan dengan pembangunan Ribat al-Mustafa. Ini merupakan titik balik utama dan dapat memberi tanda lebih dari satu jalan, dalam hal melengkapi aspek teoritis dari usaha ini dan menciptakan bukti-bukti kongkrit yang dapat mewakili pengajaran-pengajaran pada masa depan.

Kepulangannya ke Tarim menjadi tanda sebuah perubahan mendasar dari tahun-tahun yang ia habiskan untuk belajar, mengajar, membangun mental agamis orang-orang disekelilingnya, menyebarkan seruan dan menyerukan yang benar serta melarang yang salah. Dar-al-Mustafa menjadi hadiah beliau bagi dunia, dan di pesantren itu pulalah dunia diserukan. Dalam waktu yang dapat dikatakan demikian singkat, penduduk Tarim akan menyaksikan berkumpulnya pada murid dari berbagai daerah yang jauh bersatu di satu kota yang hampir terlupakan ketika masih dikuasai para pembangkang komunis. Murid-murid dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Kepulauan Comoro, Tanzania, Kenya, Mesir, Inggris, Pakistan, Amerika Serikat dan Kanada, juga negara-negara Arab lain dan negara bagian di Arab akan diawasi secara langsung oleh Habib Umar. Mereka ini akan menjadi perwakilan dan penerus dari apa yang kini telah menjadi perjuangan asli demi memperbaharui ajaran Islam tradisional di abad ke-15 setelah hari kebangkitan. Berdirinya berbagai institusi Islami serupa di Yaman dan di negara-negara lain dibawah manajemen al-Habib Umar akan menjadi sebuah tonggak utama dalam penyebaran Ilmu dan perilaku mulia serta menyediakan kesempatan bagi orang-orang awam yang kesempatan tersebut dahulunya telah dirampas dari mereka.

Habib umar bin hafidz kini tinggal di Tarim, Yaman dimana beliau mengawasi perkembangan di Dar al-Mustafa dan berbagai sekolah lain yang telah dibangun dibawah manajemen beliau. Beliau masih memegang peran aktif dalam penyebaran agama Islam, sedemikian aktifnya sehingga beliau meluangkan hampir sepanjang tahunnya mengunjungi berbagai negara di seluruh dunia demi melakukan kegiatan-kegiatan dakwah mulianya.

Karya-karya Habib Umar bin Hafidz

  • Is’af tholibi ridho alkhallak bimakarimi alkhallak
  • Taujihat tullab
  • Syarah mandhumah sanad alawiy
  • Khuluquna
  • Dakhirah musyarafah
  • Khulasoh madad an-nabawiy
  • Diyaul lami bidhikri maulidi nabi as-syafi
  • Syarobu althohurfi dhikri siratu badril budur
  • Taujihat nabawiyah
  • Nur al-iman
  • Almukhtar syifa alsaqim
  • Al washatiah
  • Mamlakatul qa’ab wa al ‘adha’
Dari diwan yang berisi syair-syair beliau yang terdiri dari empat juz, disamping rekaman ceramah yang mencapai ribuan cd, vcd dan kaset. Waktu beliau seakan hanya untuk dakwah, tiada menit dan detik kecuali beliau sibuk dengan urusan dakwah, beliau kerap kali melakukan perjalan ke berbagai penjuru dunia, mulai dari Haramain, Syam, Mesir, Afrika, Asia Tenggara, hingga ke daratan Eropa. Kita ketahui sendiri al Habib Umar setiap tahunnya pada bulan Muharram mengunjungi Indonesia.

Dakwah beliau juga sangat dirasakan kesejukannya dan disambut dengan hangat oleh umat Islam di Indonesia. Masyakarat menyambut beliau dengan sangat antusias dan hangat, mengingat bahwa kakek beliau yang kedua, al Habib Hafidz bin Abdullah bin Syekh Abubakar bin Salim, berasal dari Bondowoso, Jawa Timur, Indonesia. Dakwah beliau yang sangat indah dan sejuk itu yang bersumber dari kakek beliau Nabi Muhammad saw, sangatlah diterima oleh berbagai kalangan, baik pemerintah maupun rakyat, kaya ataupun miskin, tua muda.

Ref:
- http://habibunnazar98.wordpress.com/
- http://id.wikipedia.org/wiki/Habib_Umar_bin_Hafidz